Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh→ Diskriminasi Tenaga Kerja dan Hijabophobia-» Viralnya ujaran diskriminatif pada wanita berhijab baru-baru ini di kalangan akademisi menunjukkan bahwa hijabophobia masih menjadi ancaman bagi demokrasi kita.
Hijabophobia muncul murni karena ketidaksukaan yang tidak berdasar dan tanpa alasan pada hijab dan simbol keagamaan lainnya. Paradigma yang berkembang menempatkan hijab sebagai hambatan dalam kebebasan sosial, ekonomi, dan ideologis bagi seorang wanita muslimah. Stereotip negatif inilah yang harus diluruskan.
Lebih dari sekadar perintah agama, hijab merupakan preferensi wanita muslimah untuk mengaktualisasikan diri sebagai wanita yang merdeka dan memiliki hak asasi yang sama. Kini, bukan sekadar simbol agama, hijab sudah menjadi konstruksi sosial yang merepresentasikan sisi politik, ekonomi, spiritual, visual, spasial, dan etika, tergantung pada konteks di mana ia dikenakan, maka tak heran hijab sering dipolitisasi demi kepentingan tertentu.
Sikap diskriminatif dan bias terhadap muslim semakin terlihat jelas dalam berbagai aspek, termasuk di dunia kerja. Studi yang dilakukan Carnegie Mellon mengungkapkan bahwa calon pekerja muslim mengalami lebih banyak diskriminasi daripada calon pekerja lainnya selama proses perekrutan. Untuk kandidat pekerjaan muslim, probabilitas untuk dipanggil wawancara 13% lebih rendah dibandingkan dengan kandidat lainnya.
Hasil jajak pendapat media sosial yang dilakukan World Hijab Day juga menunjukkan bahwa 71 persen wanita muslimah mengalami diskriminasi karena alasan memakai hijab. Menariknya, di tengah maraknya diskriminasi, keberadaan wanita berhijab masih sangat dihargai di tengah komunitas multikultur, tanpa penindasan atau pemaksaan secara fisik. Namun, stereotip negatif masih melekat kuat pada muslimah yang berhijab, sehingga mereka sering dianggap tidak cakap dalam bekerja dan tidak memiliki kapasitas seperti wanita pada umunya jika mereka berpegang teguh pada prinsip-prinsip agama. Jika seorang wanita memutuskan untuk melepas hijab, tiba-tiba mereka dianggap sangat modern, cerdas, dan beradab.
Wanita muslimah memiliki risiko diskriminasi tiga kali lipat hingga empat kali lipat lebih besar dibanding wanita yang tidak menggunakan simbol keagamaan apapun. Banyak studi empiris menyimpulkan bahwa wanita yang mengenakan hijab dirugikan baik dalam proses kerja dibandingkan dengan rekan-rekan mereka yang tidak mengenakan hijab. Bahkan, satu studi menemukan bahwa kandidat dengan nama yang terdengar seperti bahasa Inggris tiga kali lebih mungkin untuk diwawancarai daripada kandidat dengan nama yang terdengar seperti muslim.
Fenomena ini merupakan bentuk diskriminasi yang dialami pekerja muslimah berhijab. Ketika perusahaan menerapkan larangan penggunaan hijab, perusahaan tersebut dapat dikategorikan melakukan diskriminasi terhadap pekerja berdasarkan agama. Hal ini tercantum dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menjamin setiap pekerja mempunyai kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk mendapatkan pekerjaan dan berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dengan alasan apapun.
Larangan memakai hijab di tempat kerja belum banyak mendapat perhatian masyarakat Indonesia. Ketika dihadapkan pada pilihan antara menunaikan kewajiban agama secara penuh atau untuk mendapatkan kesempatan atau perlakuan yang layak atas pekerjaan yang diinginkan, kebanyakan dari mereka akan memilih untuk memprioritaskan pekerjaan yang mereka inginkan karena mereka ingin menghasilkan uang untuk hidup mereka.
Hal-hal seperti ini dalam praktiknya akan sulit. Ketika seseorang diposisikan dalam kondisi untuk memilih antara memilih pekerjaan atau menjalankan agamanya dengan sempurna, mereka mungkin memilih pekerjaan daripada agamanya karena sangat membutuhkan penghasilan agar tidak menjadi menganggur.
Perusahaan terkadang tidak mengizinkan karyawannya mengenakan hijab dengan alasan melanggar kebijakan aturan penampilan di lingkungan kerja. Pimpinan perusahaan berdalih, larangan memakai hijab diberlakukan agar tidak menonjolkan agama tertentu. Terlalu banyak definisi dan interpretasi tentang hijab yang membuat para pengusaha khawatir membiarkan hijab di tempat kerja. Di samping itu semua, tenaga kerja Indonesia harus mendapat perlindungan penuh, karena mereka merupakan instrumen penting bagi pembangunan.
Hal ini menuntut kita untuk melindungi eksistensi wanita berhijab dengan berbagai upaya. Pertama, mendukung tren fashion hijab yang bisa menjadi wadah promosi meredam stereotipe negatif tentang hijab. Dukungan konsisten pemerintah untuk menjadikan Indonesia sebagai pusat mode hijab global baru bisa menghambat berkembangnya paham hijabophobia.
Kedua, pemberdayaan ekonomi dan memperluas akses finansial bagi wanita muslimah perlu ditingkatkan. Kemampanan dan kemandirian ekonomi muslimah akan mematahkan stigma negatif yang menganggap wanita berhijab tidak memiliki kapasitas dan kapabilitas. Kemandirian ekonomi tidak akan membuat mereka rendah diri dan tetap percaya diri dengan identitas muslimah.
Ketiga, peningkatan literasi tentang diskriminasi keagamaan penting untuk mengakhiri Islamofobia dan hijabophobia. Sebagian besar sentimen anti-hijab berasal dari misinformasi dan kesalahpahaman publik tentang agama. Sejalan dengan itu, penguatan perlindungan hukum perlu diperkuat agar seluruh masyarakat merasa aman menjalankan ajaran agama di manapun tanpa terbebani perlakuan diskriminatif.
Keempat, jika menggunakan hijab dianggap berbahaya untuk pekerjaan tertentu, maka perlu mendorong perkembangan industri fashion hijab untuk melakukan diversifikasi model dan disain hijab yang ramah bagi semua jenis pekerjaan, sehingga bisa digunakan dalam keadaan apapun dan memperlebar ruang gerak publik bagi mereka yang berhijab.
Mengakhiri hijabophobia akan menciptakan rasa aman bagi wanita muslimah berhijab agar mereka tidak malu dengan identitas Islam mereka. Kita tidak bisa membiarkan wanita muslimah kehilangan harapan menggapai cita-cita mereka hanya karena hijab. Ini akan memberi mereka merasa dihargai di ruang publik sehingga mereka dapat beribadah dengan leluasa dan tetap berkarya untuk bangsa.
Hijabophobia muncul murni karena ketidaksukaan yang tidak berdasar dan tanpa alasan pada hijab dan simbol keagamaan lainnya. Paradigma yang berkembang menempatkan hijab sebagai hambatan dalam kebebasan sosial, ekonomi, dan ideologis bagi seorang wanita muslimah. Stereotip negatif inilah yang harus diluruskan.
Lebih dari sekadar perintah agama, hijab merupakan preferensi wanita muslimah untuk mengaktualisasikan diri sebagai wanita yang merdeka dan memiliki hak asasi yang sama. Kini, bukan sekadar simbol agama, hijab sudah menjadi konstruksi sosial yang merepresentasikan sisi politik, ekonomi, spiritual, visual, spasial, dan etika, tergantung pada konteks di mana ia dikenakan, maka tak heran hijab sering dipolitisasi demi kepentingan tertentu.
Sikap diskriminatif dan bias terhadap muslim semakin terlihat jelas dalam berbagai aspek, termasuk di dunia kerja. Studi yang dilakukan Carnegie Mellon mengungkapkan bahwa calon pekerja muslim mengalami lebih banyak diskriminasi daripada calon pekerja lainnya selama proses perekrutan. Untuk kandidat pekerjaan muslim, probabilitas untuk dipanggil wawancara 13% lebih rendah dibandingkan dengan kandidat lainnya.
Hasil jajak pendapat media sosial yang dilakukan World Hijab Day juga menunjukkan bahwa 71 persen wanita muslimah mengalami diskriminasi karena alasan memakai hijab. Menariknya, di tengah maraknya diskriminasi, keberadaan wanita berhijab masih sangat dihargai di tengah komunitas multikultur, tanpa penindasan atau pemaksaan secara fisik. Namun, stereotip negatif masih melekat kuat pada muslimah yang berhijab, sehingga mereka sering dianggap tidak cakap dalam bekerja dan tidak memiliki kapasitas seperti wanita pada umunya jika mereka berpegang teguh pada prinsip-prinsip agama. Jika seorang wanita memutuskan untuk melepas hijab, tiba-tiba mereka dianggap sangat modern, cerdas, dan beradab.
Wanita muslimah memiliki risiko diskriminasi tiga kali lipat hingga empat kali lipat lebih besar dibanding wanita yang tidak menggunakan simbol keagamaan apapun. Banyak studi empiris menyimpulkan bahwa wanita yang mengenakan hijab dirugikan baik dalam proses kerja dibandingkan dengan rekan-rekan mereka yang tidak mengenakan hijab. Bahkan, satu studi menemukan bahwa kandidat dengan nama yang terdengar seperti bahasa Inggris tiga kali lebih mungkin untuk diwawancarai daripada kandidat dengan nama yang terdengar seperti muslim.
Fenomena ini merupakan bentuk diskriminasi yang dialami pekerja muslimah berhijab. Ketika perusahaan menerapkan larangan penggunaan hijab, perusahaan tersebut dapat dikategorikan melakukan diskriminasi terhadap pekerja berdasarkan agama. Hal ini tercantum dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menjamin setiap pekerja mempunyai kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk mendapatkan pekerjaan dan berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dengan alasan apapun.
Larangan memakai hijab di tempat kerja belum banyak mendapat perhatian masyarakat Indonesia. Ketika dihadapkan pada pilihan antara menunaikan kewajiban agama secara penuh atau untuk mendapatkan kesempatan atau perlakuan yang layak atas pekerjaan yang diinginkan, kebanyakan dari mereka akan memilih untuk memprioritaskan pekerjaan yang mereka inginkan karena mereka ingin menghasilkan uang untuk hidup mereka.
Hal-hal seperti ini dalam praktiknya akan sulit. Ketika seseorang diposisikan dalam kondisi untuk memilih antara memilih pekerjaan atau menjalankan agamanya dengan sempurna, mereka mungkin memilih pekerjaan daripada agamanya karena sangat membutuhkan penghasilan agar tidak menjadi menganggur.
Perusahaan terkadang tidak mengizinkan karyawannya mengenakan hijab dengan alasan melanggar kebijakan aturan penampilan di lingkungan kerja. Pimpinan perusahaan berdalih, larangan memakai hijab diberlakukan agar tidak menonjolkan agama tertentu. Terlalu banyak definisi dan interpretasi tentang hijab yang membuat para pengusaha khawatir membiarkan hijab di tempat kerja. Di samping itu semua, tenaga kerja Indonesia harus mendapat perlindungan penuh, karena mereka merupakan instrumen penting bagi pembangunan.
Mengakhiri Diskriminasi
Untuk menghapuskan diskriminasi, Indonesia telah meratifikasi Konvensi ILO No. 111 tentang Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan, yang diwujudkan dalam bentuk Undang-Undang No. 21 Tahun 1999. Dengan demikian, karena Indonesia telah meratifikasi konvensi ILO, ratifikasi ini seharusnya mendukung kebijakan pelarangan perempuan berhijab termasuk dalam kategori diskriminasi kerja.Hal ini menuntut kita untuk melindungi eksistensi wanita berhijab dengan berbagai upaya. Pertama, mendukung tren fashion hijab yang bisa menjadi wadah promosi meredam stereotipe negatif tentang hijab. Dukungan konsisten pemerintah untuk menjadikan Indonesia sebagai pusat mode hijab global baru bisa menghambat berkembangnya paham hijabophobia.
Kedua, pemberdayaan ekonomi dan memperluas akses finansial bagi wanita muslimah perlu ditingkatkan. Kemampanan dan kemandirian ekonomi muslimah akan mematahkan stigma negatif yang menganggap wanita berhijab tidak memiliki kapasitas dan kapabilitas. Kemandirian ekonomi tidak akan membuat mereka rendah diri dan tetap percaya diri dengan identitas muslimah.
Ketiga, peningkatan literasi tentang diskriminasi keagamaan penting untuk mengakhiri Islamofobia dan hijabophobia. Sebagian besar sentimen anti-hijab berasal dari misinformasi dan kesalahpahaman publik tentang agama. Sejalan dengan itu, penguatan perlindungan hukum perlu diperkuat agar seluruh masyarakat merasa aman menjalankan ajaran agama di manapun tanpa terbebani perlakuan diskriminatif.
Keempat, jika menggunakan hijab dianggap berbahaya untuk pekerjaan tertentu, maka perlu mendorong perkembangan industri fashion hijab untuk melakukan diversifikasi model dan disain hijab yang ramah bagi semua jenis pekerjaan, sehingga bisa digunakan dalam keadaan apapun dan memperlebar ruang gerak publik bagi mereka yang berhijab.
Mengakhiri hijabophobia akan menciptakan rasa aman bagi wanita muslimah berhijab agar mereka tidak malu dengan identitas Islam mereka. Kita tidak bisa membiarkan wanita muslimah kehilangan harapan menggapai cita-cita mereka hanya karena hijab. Ini akan memberi mereka merasa dihargai di ruang publik sehingga mereka dapat beribadah dengan leluasa dan tetap berkarya untuk bangsa.
Irvan Maulana Anggota Masyarakat Ekonomi Syariah DKI Jakarta, Alumni Awardee LPDP