Pabrik PKS Tolak Sawit Masyarakat, DPR Desak Pemerintah Cabut Larangan Ekspor CPO

Property Pribadi Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh Ilustrasi doc. Pribadi © Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh: "-Pabrik/PKS Tolak Sawit Masyarakat, DPR Desak Pemerintah Cabut Larangan Ekspor CPO-"
Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh Pabrik/PKS Tolak Sawit Masyarakat, DPR Desak Pemerintah Cabut Larangan Ekspor CPO Harga buah kelapa sawit turun drastis setelah pemerintah melarang kebijakan ekspor crude palm oil (CPO) sejak 28 April 2022.

Beberapa pabrik kini menolak menerima buah sawit dari kebun masyarakat dan memilih hanya mengelola hasil kebun sendiri.

Anggota DPR RI Abdul Wahid saat dikonfirmasi mengaku telah mendapat banyak keluhan dari petani. Dia sudah berkomunikasi dengan petani dan pengurus koperasi sawit.

"Kondisinya petani sawit semakin mengkhawatirkan. Di Riau, saya mendapat pengaduan, banyak koperasi dan pengepul sawit berhenti mengambil buah petani, dikarenakan pabrik tidak membeli," kata Wahid kepada merdeka.com Minggu (15/5).

Dampak Pelarangan Ekspor

Wahid menduga kondisi petani sawit yang semakin memprihatinkan iini akibat dari kebijakan pemerintah yang melarang ekspor Crude Palm Oil (CPO).

"Ini jelas akibat dari pelarangan ekspor CPO, perusahaan tentu mengurangi produksi. Bagi yang punya kebun sendiri tentu kelola yang ada, dan tidak membeli buah sawit masyarakat," tegas Wahid.

Menurut Wahid, kondisi tersebut juga seperti anomali. Sebab, di satu sisi pemerintah mengeluarkan larangan kebijakan untuk menjaga pasokan bahan baku minyak goreng.

"Tapi di sisi lain petani harus terkena imbas, seharusnya kebijakan harus memberikan solusi," kata politisi PKB ini.

Cabut Larangan Ekspor dan Maksimalkan DMO

Karena itu, Wahid meminta pemerintah mencabut kebijakan larangan ekspor yang berdampak terhadap nasib jutaan petani sawit. Selain itu, Wahid juga berharap agar pemerintah memaksimalkan pengawasan terhadap mekanisme Domestik Market Obligation (DMO) atau Domestik Price Obligation (DPO),

"Harus dicabut larangan ekspor, pemerintah cukup maksimalkan pengawasan pelaksanaan kebijakan mekanisme DMO atau DPO, perusahaan harus penuhi bahan baku dalam negri dengan harga khusus," jelasnya.

Wahid juga menegaskan, pengawasan terhadap pasokan dan peredaran minyak goreng harus ketat, perilaku korupsi harus ditindak tegas.

"Harusnya awasi secara ketat pasokan dan peredaran minyak goreng, pejabat yang bermain mata dengan pengusaha nakal harus ditindak tegas. Jangan pula kebijakan yang dibuat malah menyengsarakan petani," pungkas Wahid.


[Sumber: yang diambil Admin Blog Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh Silahkan Lihat Di News Merdeka]

Pabrik Minyak Goreng Tidak Butuh Dana Subsidi Pemerintah

Property Pribadi Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh Ilustrasi doc. Pribadi © Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh: "-Pabrik Minyak Goreng Tidak Butuh Dana Subsidi Pemerintah-"
Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh Pabrik Minyak Goreng Tidak Butuh Dana Subsidi Pemerintah Produksi minyak sawit mentah (CPO) Indonesia pada 2021 tercatat sebanyak 47 juta ton lebih.

Apabila diasumsikan produksi Tandan Buah Segar (TBS) sawit dari Perkebunan Negara (PTPN) mencapai 4% dari total nasional, maka hasil panen TBS sawit bisa digunakan untuk memproduksi minyak goreng nasional. Terlebih menurut praktisi senior Bisnis Minyak Sawit Indonesia, Maruli Gultom, kebutuhan minyak goreng sawit nasional mencapai 200 juta liter atau sekitar 160 ribu ton CPO per bulan.

"Solusi terbaik dari kebutuhan minyak goreng nasional, bisa menggunakan CPO yang dihasilkan dari PTPN sebagai milik negara," ungkap Maruli kepada InfoSAWIT, belum lama ini.

lebih lanjut tutur Maruli, hasil CPO dari perusahaan milik negara ini, seharusnya jadi prioritas pemerintah untuk digunakan seluruhnya demi kepentingan rakyat Indonesia.

"Kalau produksi TBS dan CPO dari PTPN masih kurang untuk memenuhi kebutuhan minyak goreng nasional, maka pemerintah bisa membeli TBS sawit petani yang produksinya sebesar 41% dari total produksi CPO nasional," jelas Maruli menerangkan.

Berdasarkan penelusuran redaksi InfoSAWIT, pemasaran hasil CPO milik PTPN melalui kantor pemasaran bersama milik pemerintah juga (KPBN), yang menjual CPO dengan cara lelang. Sesuai asumsi ketika penerapan Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO) beberapa waktu lalu, seharusnya harga CPO sebesar Rp. 9.000/kg supaya diolah menjadi minyak goreng sawit dengan harga jual Rp. 14.000/liter. Sayangnya, KPBN masih menjual CPO berdasarkan harga patokan ekspor yang besarannya lebih dari Rp. 13.000/kg.

Merujuk perintah Presiden Jokowi dan Menteri BUMN Erik Tohir, Pemerintah lebih mengutamakan kepentingan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat Indonesia demi mendapatkan minyak goreng dengan harga terjangkau.

"Pemerintah mengutamakan kebutuhan pokok masyarakat luas untuk mendapatkan minyak goreng dengan harga terjangkau, " kata Presiden Jokowi saat mengumumkan larangan sementara ekspor CPO dan produk turunannya (27/4/2022).

Berdasarkan informasi dari KPBN, perdagangan CPO, pada 13 Mei 2022, sebagai berikut:

Tender KPBN, (Rp./Kg), Excld PPN

CPO

Belawan & Dumai Rp.13889-INL;

Siak Rp.13839 (WD). Penawaran tertinggi Rp.12260-IBP;

T.Duku Rp.13789 (WD). Penawaran tertinggi Rp.12400-EUP;

T.Bayur Rp.13789 (WD). Penawaran tertinggi Rp.12290-WIRA;

Palopo Rp.13689 (WD). Penawaran tertinggi Rp.11700-EUP;

CPKO

Palembang Rp.18636 (WD). Penawaran tertinggi Rp.17200-UNILEVER;

Lampung Rp.18493 (WD). Penawaran Rp.16000-AMJP

Merujuk ke perdagangan KPBN milik perusahaan negara ini, menurut pengamat sawit nasional, Ignatius Ery Kurniawan, akan berdampak sulitnya harga jual minyak goreng mencapai harga Rp. 14.000/liter. Lantaran harga CPO masih seharga lebih dari Rp. 13.000/kg. Jika Pemerintah Indonesia serius, harusnya penugasan diberikan kepada PTPN untuk menyuplai kebutuhan CPO sesuai dengan harga waktu DMO sekitar Rp. 9.000/kg. Dengan tersedianya CPO murah, maka produksi minyak goreng sawit akan cepat turun dengan harga jual sebesar Rp. 14.000/liter.

"Perusahaan negara khususnya PTPN harus mulai menyediakan kebutuhan CPO untuk pasar domestik sesuai instruksi Presiden Jokowi, jangan malah mencari untung sendiri dan mengorbankan petani kelapa sawit," Kata Ery yang pernah menjabat sebagai Sekretaris III Dewan Minyak Sawit Indonesia periode 2009 lalu.

Pentingnya ketersediaan CPO dengan harga murah, menjadi syarat utama bagi produksi minyak goreng dengan harga murah dan terjangkau seluruh rakyat Indonesia. Lebih jauh, pemerintah bisa memberikan penugasan khusus kepada PTPN sebagai penyedia CPO dan BPDPKS sebagai pendanaan subsidi selisih harganya."Jika masih kurang, bisa membeli TBS milik petani dengan harga yang wajar dan subsidi ditanggung dana BPDPKS juga," Ujar Ery.

Adanya good governance dengan aturan yang bagus dan mengikat, akan mendorong pemenuhan minyak goreng dengan harga terjangkau seperti Instruksi Presiden Jokowi. "Harus ada keinginan kuat dan fokus kepada kebutuhan pokok rakyat Indonesia terlebih dahulu," Kata Ery menyarankan kepada Perusahaan Negara.

Sebab itu, tata kelola perdagangan bersumber dari pasokan minyak goreng yang bisa didapatkan dengan harga murah, baru rantai pasok perdagangan bisa diatur sampai masyarakat luas, sesuai dengan harga Rp. 14.000/liter.

"Jangan menunda-nunda untuk memasok CPO dengan harga murah untuk produksi minyak goreng bagi rakyat Indonesia", ujar Ery, lebih lanjut" Perusahaan negara milik rakyat juga, jadi harus mampu memenuhi kebutuhan rakyat".


[Sumber: yang diambil Admin Blog Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh Silahkan Lihat Di News infosawit]

Sejarah Nanggroe Atjeh Darussalam Part-10

Property Pribadi Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh Ilustrasi doc. Pribadi © Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh: "-Sejarah Nanggroe Atjeh Darussalam Part-10-"
Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh Sejarah Nanggroe Atjeh Darussalam Part-10 Namun di sisi lain, mengutip Bastin & Benda[1], misi itu ternyata memiliki efek samping yang sangat kontraproduktif dan menjadi rintangan bagi dirinya sendiri.

“…kedatangan para misionaris dengan tujuan ekspansif itu sedikit banyak telah mempercepat dan mengintensifkan proses Islamisasi pulau-pulau di bagian Asia itu. Ketika Portugis sebagai saingan pedagang Arab muncul di perairan Hindia, dan di sana meneruskan perang melawan orang Moor dengan tujuan menyebarkan agama (Kristen) dan sekaligus mengejar keuntungan, maka ada beberapa raja yang memilih agama dan pihak pendatang beragama Islam yang sebelum itu  sudah ada di tengah mereka.”

Walau terlihat obyektif, dalam hal ini Bank sebenarnya menutup-nutupi realitas sosial yang sesungguhnya terjadi. Mari kita lihat kondisi ril yang ada pada saat itu: Portugis baru ‘masuk’ ke kancah perdagangan Nusantara pada tahun 1500-an, setelah menguasai Kota Malaka tahun 1511. Sedangkan pedagang Arab sudah biasa mondar-mandir di wilayah tersebut sejak abad ke-6 Masehi. Ada rentang waktu sekitar sembilan abad!

Sudah tentu, saat armada salib Portugis hadir di Selat Malaka sebagai pemain baru, apalagi kedatangannya ditambah dengan membawa tentara dengan persenjataan lengkap, sehingga tidak bisa dipastikan apakah mereka hendak berdagang atau malah berperang, maka yang kemudian timbul pada diri penduduk lokal (banyak pedagang Arab sudah mendirikan kampung di kota-kota pesisir di Nusantara, bahkan sudah ada yang tinggal di situ dari generasi ke generasi, sehingga mereka kemudian sudah dianggap warga lokal atau pribumi) adalah sikap resistensi atau perlawanan.

Islam sebagai identitas penduduk pribumi berhadapan dengan Portugis sebagai pendatang baru yang dengan senjata mencoba memaksakan kehendak dengan penyebaran misi salibnya secara terus-terang. Tentu saja, misi salib gaya begini mengalami hambatan yang sangat besar.

Misi Khatolik Portugis dan Spanyol di Nusantara hanya berhasil di sebagian Indonesia Timur, tapi gagal total di belahan Barat. Pada awal abad 17, hegemoni Portugis dan Spanyol berakhir di kawasan itu dan segera digantikan oleh armada VOC (Perusahaan Dagang Hindia Timur) yang lebih mendukung gereja Kristen Gereformeerd (Protestan).

Banyak wilayah timur Nusantara yang dulu dikuasai Katolik kini diambil-alih oleh VOC yang lebih condong pada Protestan, walau bersikap toleran kepada Katolik. VOC sendiri dikuasai oleh jaringan pejabat Belanda Yahudi. Bentuk bendera VOC jika diamati dengan seksama maka mirip dengan simbol gerakan Yahudi Freemasonry (Jangka Segitiga).

Pada awal kedatangan VOC, ada beberapa rohaniwan Katholik yang meninggalkan Nusantara. Namun pada tahun 1800, banyak rohaniwan Katholik yang kemudian kembali menyebarkan misi di Nusantara, dengan pembagian wilayah misi sesuai kesepakatan dengan Belanda.

Walau Nederlands Zendelinggenootschap atau Dutch Missionary Society yang berafiliasi pada kegiatan misi Kristen Protestan (zending) telah didirikan pada tahun 1797 dan bertugas di Nusantara, namun sampai tahun 1853, di Nusantara belum terjadi upaya penyebaran salib secara massif karena kawasan utara Belanda sendiri saat itu masih dalam status kawasan tujuan misi salib, yang baru berhasil ditundukkan Tahta Suci Vatikan pada tahun 1853.

Cause Célèbre Gereja-Negara

Salah satu hal menarik yang sering menjadi polemik adalah penggunaan strategi kontekstualisme dalam upaya pemurtadan terhadap umat Islam Indonesia. Seperti yang terjadi di Kampung Sawah, Pondok Gede-Bekasi, tahun 2000-an. Di Gereja Katholik Servatius, tiap ada misa atau perayaan keagamaan besar, sering dijumpai adanya jemaat gereja maupun panitia acara dari gereja yang mengenakan baju koko dan peci bagi laki-lakinya, dan kebaya dengan kerudung bagi perempuannya. Kedua model pakaian ini oleh umat Islam setempat sudah lama dianggap identik dengan busana Muslim. Ketika model pakaian ini dikenakan oleh orang di luar Islam, bahkan dipakai untuk melakukan misa di dalam gereja, maka tak sedikit orang yang gempar dan bertanya-tanya.

Sama halnya dengan nama sejumlah penginjil di Indonesia yang kini memiliki nama yang “islami” seperti Muhammad Nurdin, Jusuf Rony, dan sebagainya. Bagi orang awam, nama-nama seperti ini identik dengan keislaman. Juga sama dengan diketemukannya sejumlah Injil yang dicetak dalam bahasa Arab yang disebar ke pelosok-pelosok kampung, atau stiker-stiker berbahasa Arab yang berisi ayat-ayat Injil, dan buku-buku yang seolah-olah islami namun isinya mengajak menuhankan Yesus.

Property Pribadi Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh Ilustrasi doc. Pribadi © Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh: "-Sejarah Nanggroe Atjeh Darussalam Part-10-"
Ini semua merupakan contoh kongkrit penerapan strategi kontektualisme dalam upaya pemurtadan. Bahasa ilmiahnya Strategi Kontekstualisme, tapi bahasa rakyatnya: strategi penipuan atau jebakan.

Strategi ini ternyata sudah memiliki akar sejarah yang panjang di Indonesia. Sebuah kasus yang terkenal (Cause Célèbre) dalam hubungan antara Gereja dan Negara di tahun 1845 bisa dianggap sebagai titik awal penerapan strategi kontekstualisme upaya penyebaran salib di Indonesia.

Saat itu, Congregatio de Propaganda Fide (Departemen Kepausan untuk Urusan Penyebaran Iman) Vatikan untuk pertama kalinya mengirim seorang vikaris apostolik (uskup misi)ke Batavia. Uskup tersebut, Jacob Grooff, setibanya di Batavia langsung mendapati kenyataan yang tidak menyenangkan dirinya. Ketika masih di Vatikan dan Eropa, Grooff melihat para uskup senantiasa patuh mengenakan jubah kebesaran dalam tiap misinya dan selalu menjaga jarak dengan kaum Protestan, maka di Nusantara yang terjadi malah sebaliknya. Sesuatu yang oleh Groff dianggapnya sebagai pelanggaran

Misal, dalam hal perkawinan campuran, Vatikan bersikap sangat ketat, namun di Nusantara yang terjadi adalah toleransi yang kebablasan. Oleh Vatikan ini dianggap sebagai penyelewengan nilai-nilai iman Kristiani. Di Padang, Sumatera Barat, Uskup Groff menemui jemaat Katholik malah mengadakan “oikumene” dengan jemaat Protestan.[2]

Ini sesuatu yang juga tidak bisa dibenarkan.

Dengan penuh kegeraman wali gereja yang baru ini pun segera memerintahkan para rohaniwan Katholik di seluruh Hindia Belanda agar selalu mengenakan jubah, menghindari ‘pesta-pesta, konser-konser, dan pertunjukan teater yang terlalu bersifat duniawi, dan sebagainya’. Oleh Gubernur Jenderal J.J. Rochussen, sikap Uskup Groff dinilai terlalu konservatif dan tidak sesuai dengan kondisi riil yang ada. Gubernur Jenderal ini dengan terbuka menyatakan lebih berpihak kepada para rohaniwan yang tidak suka pakai jubah dalam melakukan misinya. Uskup Groff lalu diusir dan kembali pulang ke negaranya setahun kemudian.

Dalam sebuah debat yang berlangsung di Majelis Rendah bulan Desember 1846, Menteri Daerah Jajahan J.C. Baud membela kebijakan gubernur jenderal tersebut . Dalam pledoinya, Baud menekankan bahwa apa yang disebutnya sebagai ‘fanatisme orang Islam Hindia Belanda’ tidak boleh diabaikan. …Orang itu, ujar Baud, justeru akan resah jika rohaniwan Katholik mengenakan jubah seperti yang diperintahkan Uskup Groff.[3]

Dari berbagai pertemuan antara sejumlah lembaga negara dan gereja di Belanda, maka kemudian diambil jalan tengah bahwa negara dianggap berhak mengatur penyebaran misi di negeri jajahan dengan tujuan menjaga stabilits politik, tentunya dengan kerjasama gereja.

Tahun 1854 diterbitkan peraturan pemerintah yang merumuskan tata pemerintahan Hindia-Belanda dalam bentuk perundang-undangan. Pasal 123 menentukan bahwa para penginjil (Protestan maupun Katholik) harus memiliki izin khusus dari gubernur jenderal untuk bisa melakukan misinya di salah satu wilayah koloni. Izin bisa tidak diberikan karena dua alasan:

Pertama, pemerintah hendak menghindari adanya penginjilan ganda di satu wilayah. Sebab itu pemerintah akan mengatur siapa akan ke mana. Yang kedua, pemerintahan Belanda sangat menjaga stabilitas politik di daerah-daerah yang wilayahnya dikenal sebagai daerah umat tertentu di luar Kristen sejak lama dan memiliki penganut yang fanatik, misal wilayah Islam atau Hindu. Sebab itulah, daerah Banten dan Parahiyangan (Jawa Barat), Sumatera Barat, Aceh, dan Bali lama tertutup untuk upaya misi apa pun, baik Katholik maupun Protestan.[4]

Perundang-undangan Kerajaan Aceh Darussalam yang begitu tegas dan berjalan dengan baik mengakibatkan wilayah ini amat tertutup terhadap aktivitas misionaris.

Awal Perang Kolonial Belanda di Aceh

Walau Malaka telah lama dikuasai VOC Belanda, namun Belanda belum berani secara terbuka menyerang Aceh. Yang dilakukan Belanda adalah upaya-upaya untuk melemahkan Aceh seperti melakukan kegiatan spionase, adu domba antara kubu bangsawan (uleebalang) dan ulama, serta infiltrasi. Namun ketika Terusan Suez dibuka pada tahun 1869, letak Aceh yang sejak lama memang ideal bagi pusat transito laut dan perdagangan dunia, menjadi lebih strategis dan penting sekali. Belanda agaknya tidak tahan untuk menunggu terlalu lama dalam upayanya menaklukkan Aceh.

Sebab itu, dari Malaka dan Batavia, kegiatan spionase Belanda untuk mengacaukan stabilitas Aceh terus ditingkatkan. Belanda pun mempersiapkan armada perangnya secara besar-besaran guna menyerang Aceh. Hal ini tercium oleh Sultan Mahmud yang kala itu memerintah Kerajaan Aceh Darussalam. Oleh Sultan Mahmud, di sepanjang Aceh Besar sebagai pusat pemerintahan dibangun garis pertahanan yang disebut Kuta, seperti Kuta Meugat, Kuta Pohoma, Kuta Mosapi, dan sebagainya.[5]

Di lokasi-lokasi tersebut ditempatkan tentara dengan persenjataan yang kuat. Mulut-mulut meriam berbaris di bukit-bukit karang dan pantai mengarah ke tengah laut menanti kedatangan agresor kafir Belanda.

(Bersambung)

—————————————
[1] Bastin, J & H.Julien Benda; A History of Modern Southeast Asia. Colonialism, Nationalism, and Decolonialization. Engelwood Cliffs N.J.; 1968, hal. 93.
[2] Kleijntjes, J: ‘Mgr. Grooff, apostolisch vicaris van Batavia’, Bijdragen voor de Geschiedenis van het Bisdom van Haarlem, 1931-1932; 47: 389. [3] Eerenbeemt, A.J.J.M van den; De missie-actie in Nederland;1945; 44.
[4] Weitjens, J.A. Th; De vrijheid der katholieke prediking in Nederlands-Indië van 1900 tot 1940. Excerpt uit dissertatie, pauselijke Greoriaanse universiteit. Roma/Djakarta, 1969; 5.
[5] DR. MR. T.H. Moehammad Hasan; Salah Seorang Pendiri Republik Indonesia dan Pemimpin Bangsa; Pustakan Sinar Harapan; Jakarta, 1995; hal. 5

Potret Buram Partai Politik

Property Pribadi Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh Ilustrasi doc. Pribadi © Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh: "-Potret Buram Partai Politik-"
Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh Potret Buram Partai Politik Kondisi Republik kita tidak sedang baik-baik saja. Ragam persoalan mengemuka, dari dampak pandemi covid-19, tekanan kebutuhan sehari-hari masyarakat seperti kelangkaan minyak, naiknya PPN menjadi 11%, naiknya pertamax, hingga isu sangat politis, yakni guliran wacana penundaan Pemilu 2024 dan penambahan periode kekuasaan Jokowi.

Kompleksitas persoalan yang membutuhkan kehadiran dan kerja nyata seluruh elemen bangsa, terutama peran fungsional institusi-institusi demokrasi, seperti partai politik, DPR, DPD, KPK, Polri, Presiden, TNI, dan lain-lain. Pandemi melahirkan era ketidakpastian, dan menghadirkan begitu banyak ketidaknyamanan di berbagai sektor.

Modal Sosial

Dalam menghadapi era semacam ini, seharusnya yang menjadi basis mengurai masalah ialah kuatnya modal sosial, berupa kepercayaan publik (public trust). Hal ini terhubung dengan dukungan warga masyarakat untuk mau bersama-sama menerima, bergandengan tangan mengurai masalah. Bukan justru sebaliknya, para elite di institusi-institusi demokrasi, hanya asyik dengan agenda elitis masing-masing sehingga tak mampu menjembatani empati sekaligus simpati publik.

Sebagai contoh, di tengah kesulitan yang mendera warga dengan langkanya minyak goreng, naiknya BBM, naiknya PPN, dan berdampak luas pada naiknya berbagai komoditas di tengah masyarakat, justru para politikus partai politik dan elite politik lainnya yang duduk di pemerintahan maupun di DPR, sibuk mengorkestrasi wacana penundaan atau penambahan periode kekuasaan. Sebuah jurang komunikasi yang menganga lebar dan berpotensi memudarkan modal sosial kepercayaan. Hal ini memiliki konsekuensi pada semakin lama dan semakin dalamnya persoalan yang mendera bangsa ini untuk bisa dituntaskan.

Salah satu pilar penting dalam institusi demokrasi, yang harus dikritisi ialah partai politik. Data survei persepsi masih jelas, dan tegas menunjukkan potret buram partai politik di Indonesia. Teraktual misalnya temuan hasil survei nasional Indikator Politik Indonesia, 11-21 Februari 2022 yang dirilis Minggu (3/4), menunjukkan data yang sangat percaya pada partai politik hanya 6%, cukup percaya 48%, sedikit percaya 32%, tidak percaya sama sekali 10%, tidak tahu/tidak menjawab 3%.

Jadi, kalau dikumulasikan yang sangat percaya dan cukup percaya, jumlahnya hanya 54,2%. Tingkat kepercayaan publik paling rendah jika dibandingkan dengan kepercayaan pada institusi-institusi lainnya. Kepercayaan publik pada TNI 92,7%; Presiden 85,1%; Mahkamah Agung (MA) 79%; Mahkamah Konstitusi (MK) 78%; Polri 75,2%; Pengadilan 74%; KPK 73,8%; Kejaksaan 73,8%; MPR 67%; DPD 64,7%; DPR 61,2%; dan di posisi paling buncit ialah partai politik dengan 54%.

Sesungguhnya, temuan survei nasional dengan 1.200 responden menggunakan metode stratified multistage random sampling ini, bukanlah temuan baru. Kondisi serupa, selalu hadir dalam temuan survei nasional Indikator Politik Indonesia paling tidak 10 tahun terakhir. Potret buram itu terekam gamblang, dan belum berubah hingga sekarang. Pada survei Januari 2015, tingkat kepercayaan publik pada parpol hanya 49,8%, Agustus 2016 hanya 46,4%, September 2017 angkanya turun menjadi 39,2%, September 2018 menjadi 52,8%, Februari 2019 tidak banyak berubah 53,1%, September 2020 turun lagi menjadi 50,3%, November 2021 52,5%, Desember 2021 52,9% dan yang teraktual Februari 2022 hanya 54,2%. Data-data tersebut menunjukkan kondisi yang stagnan selama 10 tahun terakhir.

Peran dan fungsi partai politik dalam sistem politik kita sangatlah signifikan. Nyaris tidak ada institusi-institusi negara yang tidak dipasok oleh orang-orang dari partai politik. Ini menunjukkan posisi strategis parpol yang seharusnya bisa dioptimalkan untuk membangun kepercayaan publik yang lebih menguat dari waktu ke waktu. Terlebih, saat kondisi demokrasi Indonesia tertatih-tatih didera berbagai masalah. Tahun 2022, Indonesia masih berada dalam kelompok negara flawed democracy, atau demokrasi cacat menurut Indeks Demokrasi 2021 yang dirilis oleh the Economist Intelligence Unit (EIU).

Retrogress Politik

Peran parpol harusnya semakin intens, dekat, dan mengagregasi kepentingan publik secara nyata, terutama ada dua momentum yang strategis bagi parpol dan publik saat ini. Pertama, keluar dari tekanan pandemi yang berdampak luas dan dalam. Kedua, adanya momentum politik lima tahunan di 2024 yang semestinya parpol turut berperan aktif menjaga kualitas demokrasi, melalui regularitas pemilu yang sudah diatur dan ditetapkan konstitusi.

Mengherankan sikap beberapa partai politik, seperti Partai Golkar, Partai Kebangkita Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN) yang menyuarakan penundaan Pemilu 2024. Pernyataan sejumlah elite utama parpol tersebut, seirama dengan suara sejumlah menteri di kabinet Jokowi, seperti Menteri Investasi Bahlil Lahadalia, dan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan.

Hal ini menunjukkan ada proses relasi kuasa yang sesungguhnya mengarah ke fenomena retrogresi politik. Gejala retrogresi ini bisa dimaknai sebagai pemburukan kualitas berpolitik yang diakibatkan oleh hilangnya kepekaan, dan komitmen untuk menghormati hukum dan keadaban.

Pada Pasal 7 UUD 1945, jelas dan tegas dinyatakan bahwa presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.

Ada pihak yang menghendaki kejelasan periodisasi jabatan presiden, dan wakil presiden sebagai hal pasti (fix term) menjadi fleksibel. Tentu saja, wacana ini berpotensi membahayakan proses konsolidasi demokrasi kita karena jika direalisasikan akan menghadirkan ketidakpastian periodisasi kekuasaan. Sekaligus, akan memberi dampak psikologis bagi ketidakpastian yang sama pada periode kekuasaan di level pemerintahan daerah.

Penundaan Pemilu 2024 tidak selaras dengan konsitusi. Jelas dan eksplisit dinyatakan Pasal 22E UUD 1945, pemilihan umum harus dilaksanakan setiap lima tahun. Jika mendengar suara publik, kehendak mayoritas warga di berbagai lembaga survei menunjukkan ketidaksetujuannya pada penundaaan maupun penambahan periode. Melihat gejala ini, parpol harusnya sigap mengagregasi dan mengartikulasikan kehendak publik. Bukan sebaliknya, parpol justru menjadi bagian dari masalah, yakni menguatkan fenomena demokrasi elusif (elusive democracy). Istilah ini, penulis pinjam dari tulisannya Alberto Olvera, The Elusive Democrac-Political Parties, Democratic Institutions and Civil Society in Mexico/ Latin American (2010) saat menggambarkan kondisi demokrasi di Meksiko yang menunjukkan terjadinya resesi demokrasi.

Demokrasi elusif merupakan penurunan kualitas demokrasi sebagai konsekuensi dari lambatnya konsolidasi, baik dari pemantapan kapasitas institusi demokrasi, maupun kematangan budaya politik sehingga demokrasi tidak membawa panji-panji demokrasi. Kita bisa merasakan terjadinya penurunan kualitas demokrasi yang salah satunya disumbang oleh praktik buruk para politikus yang tidak dengan cermat, kuat, konsisten menghormati dan menjalankan amanat konstitusi.

Kekuasaan politik itu kerapkali mengagumkan (fascinosum) dan menggetarkan (tremendum). Kebanyakan orang ingin terus-menerus berkuasa. Oleh karena itu, kekuasaan harus dibatasi, karena jika tidak, secara psikopolitis akan memengaruhi motif orang berkuasa tanpa batasan. Jika diubah menjadi tiga periode, di kemudian hari akan muncul keinginan yang sama untuk terus mengubahnya lagi.

Nilai hakiki pembatasan kekuasaan adalah menjadi cara untuk memagari keinginan orang menjadi penguasa absolut. Jika parpol yang menyuarakan penambahan periode semakin banyak, bukan mustahil ‘operasi’ ini akan bergulir menjadi pembahasan amendemen di MPR. Jika hal tersebut terjadi, partai politik bukan lagi bekerja berbasis penghormatan pada konstitusi yang ajek, melainkan selera individu ataupun kepentingan kekelompokan.

Penguatan Peran

Kritik Thomas Carothers, dalam tulisannya di Jurnal Carnegie Endowment in International Peace (2006), Confronting the Weakest Link: Aiding Political Parties in New Democracies misalnya, mendeskripsikan partai di Indonesia sebagai organisasi yang sangat leader centric, yang didominasi oleh suatu lingkaran kecil elite politisi. Saat elite utama pragmatis dalam ‘mendagangkan’ partai jelang perhelatan kontestasi elektoral, maka partai akan mengalami deinstitusionalisasi.

Saat ini dan ke depan, parpol tak cukup hanya bergantung pada satu atau dua figure utama. Partai perlu bertransformasi menjadi partai modern. Institusi partai modern harus mau, dan mampu menjalankan fungsi-fungsi partai. Di antara fungsi penting itu ialah menjadi saluran agregasi politik, pengendalian konflik dan kontrol. Bagaimanapun partai memiliki posisi penting dalam menstimulasi dan menunjukkan arah kepentingan politik, yang semestinya menjadi perhatian publik.

Partai, dapat menjadi saluran yang tepat saat konflik muncul dan eskalatif sekaligus menjadi pengontrol efektif dalam sistem politik.

Partai modern wajib dibangun melalui tahapan kaderisasi.

Ketiga tahapan tersebut berjalan secara integratif, yakni merekrut orang untuk bergabung, membina kader menjadi loyalis, baru kemudian mendistribusikan kader ke dalam posisi atau jabatan publik. Partai perlu langkah progresif dalam beradaptasi dengan situasi dinamis, bukan terjebak pada rencana pragmatis figur politik tertentu. Terlebih, membahayakan masa depan bangsa dan negara. Partai juga dituntut memiliki kecermatan dalam merumuskan dan mengaplikasikan platform partai, bukan terus-menerus terkungkung dalam jerat kekuasaan yang menyesatkan.

di Tulis Oleh: Gun Gun Heryanto Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta


[Sumber: yang diambil Admin Blog Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh Silahkan Lihat Di News MI]

Membangun Isu, Menguak Fenomena

Property Pribadi Suriyaaceh Ilustrasi doc. Pribadi © Suriyaaceh: "-Membangun Isu, Menguak Fenomena-"

Telaah Kecil Konflik di Srilangka dan Pakistan

Suriyaaceh Membangun Isu, Menguak Fenomena Barat dalam hal ini, entah Inggris, NATO, ataupun Amerika (AS) kini lebih menyukai proxy warfare (perang perwalian) sebagaimana konflik di Ukraina daripada invasi militer secara terbuka seperti halnya serbuan Barat ke Irak, atau ke Afghanistan.

Dari perspektif asymmetric war (perang asimetris) yang berpola isu tema/agenda skema (ITS), melalui Pakistan dan Srilangka, Barat tengah membangun isu (imajiner) baru bahwa “kebangkrutan negara gegara utang Cina”. Ada modus edit dan kontra berita lewat media mainstream.

Tinggal di-break down, entah nanti apa tema alias agendanya yang hendak digulirkan. Kalau skema Barat sudah bisa terbaca, yakni penguasaan Balochistan (provinsi kaya minyak) di Pakistan dan merebut kembali pelabuhan laut (Hambantota) di Srilangka yang kini dalam penguasaan Cina.

Pertanyaan menarik,

“Kenapa Barat kini menyukai proxy war seperti konflik di Myanmar dan Ukraina daripada invasi terbuka sebagaimana di Afghanistan?”

Tak lain, kekalahan AS dan NATO di Afghanistan membuat mereka menjadi ‘trauma’. Kapok. Ada hal yang tidak masuk dalam logika perang modern ketika head to head melawan Taliban. Ada fenomena tidak terbendung. Taliban yang kalah dalam hal jumlah pasukan serta kalah canggih peralatan perang, tetapi toch menang perang. Ya. AS dan sekutu terusir dari Afghanistan.

Tidak boleh dielak, kemungkinan fenomena inilah yang tengah dipantau secara cermat baik oleh CIA, maupun MI-6. Apa yang sesungguhnya tengah terjadi di Afghanistan.

(Mungkin) mereka Barat sudah memiliki asumsi dan jawaban atas fenomena tersebut, maka uji coba pun dilakukan pada kedua negara (Srilangka dan Pakistan), apakah fenomena di Afghanistan bakal muncul kembali dengan pola proxy war di kedua negara di atas? Wait and see.

di Tulis Oleh: M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)


[Sumber: yang diambil oleh Admin Blog Suriya-Aceh Info-Anak-Meulaboh Silahkan Lihat Di News theglobal-review]

Sultan Hamid II Tolak Tawaran Yahudi Menempati Palestina dengan Iming-iming Lunasi Hutang Ottoman

Property Pribadi Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh Ilustrasi doc. Pribadi © Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh: "-Sultan Hamid II Tolak Tawaran Yahudi Menempati Palestina dengan Iming-iming Lunasi Hutang Ottoman-"
Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh Sultan Hamid II Tolak Tawaran Yahudi Menempati Palestina dengan Iming-iming Lunasi Hutang Ottoman Pada 19 Mei 120 tahun lalu, Sultan Abdul Hamid II menolak tawaran tokoh Yahudi Theodor Herzl untuk menerima orang Yahudi sebagai imigran di Palestina dengan imbalan jutaan lira emas untuk melunasi hutang-hutang kekhilafahan Turki Utsmani (Ottoman).

Saya tidak bisa menyerahkan satu inci pun dari tanah Palestina,” kata Sultan Abdul Hamid II yang dianggap sebagai salah satu sultan terpenting Turki Utsmani. Sultan menolak menyerahkan Palestina kepada zionis, karena Palestina adalah tanah wakaf bagi umat Islam.

Hutang Ottoman

Ketika Sultan Abdul Hamid II mengambil alih kekhilafahan, utang luar negeri Turki Utsmani berjumlah sekitar 252 juta keping emas. Jumlah tersebut sangat besar menurut ukuran zaman itu, sehingga Sultan membujuk negara-negara kreditor untuk menurunkannya menjadi 146 juta. Untuk membayar sisanya, beberapa lembaga negara diserahkan kepada lembaga utang publik, dan dengan cara ini ia mampu melunasi utang-utang tersebut. Selama masa jabatannya, sultan sangat berhati-hati untuk tidak meminjam dari luar negeri kecuali dalam batas terkecil.

Para sejarawan mengatakan bahwa Sultan Abdul Hamid II tahu betul apa yang Zionis rencanakan. Pesan yang dikirim oleh kepala Asosiasi Yahudi Theodore Herzl, yang sejak 1882 berusaha keras untuk membuat rencana mendirikan negara Yahudi di Palestina.

Pada tahun 1876, Sultan Abdul Hamid II mengeluarkan nota hukum yang menyatakan bahwa penjualan tanah Ottoman kepada orang Yahudi dilarang keras dengan cara apa pun.

Oleh karena itu, Herzl menganggap Sultan Abdul Hamid II sebagai penghambat dan penghambat utama rencana Yahudi terkait Palestina, sehingga ia berusaha untuk meyakinkan Sultan Abdul Hamid II tentang rencana mereka di Palestina.

Sejarawan juga menceritakan bahwa Herzl mengirim surat kepada Sultan Abdul Hamid II, menawarkan kepadanya pinjaman sebesar dua puluh juta pound sterling, sebagai imbalan untuk mengizinkan orang Yahudi berimigrasi ke Palestina, dan memberi mereka sebidang tanah untuk mendirikan pemerintahan sendiri.

Sultan Abdul Hamid II dan Negara-negara Besar

Sultan secara pribadi tidak disukai oleh negara-negara Eropa; Karena jutaan orang Kristen berada di bawah kekuasaannya, dan sebagai khalifah Muslim, dia memiliki kekuatan dan otoritas spiritual atas rakyat Muslim di negara-negara Eropa.

Tidak mungkin bagi salah satu kekuatan besar untuk menancapkan kekuasaannya di daerah kekuasaan Ottoman di Eropa atau Balkan di hadapan Abdul Hamid II; Jadi ide untuk menjatuhkannya mulai menguat di London dan Paris.

Kebijakannya berkaitan dengan Universitas Islam, Perkeretaapian Hijaz dan Baghdad, dan keberhasilannya membangun Kereta Api Baghdad dengan ibu kota Jerman (sehingga ia dapat memasukkan Jerman ke dalam daftar negara pesaing di kawasan Teluk Basra yang kaya minyak. Sultan pun memastikan bahwa Inggris tidak mendekati dan melindungi perkeretaapian karena Jerman adalah pemegang konsesinya) semua Ini mengkhawatirkan Inggris, membuat Rusia tidak nyaman, dan menciptakan soliditas dalam tekad Eropa tentang perlunya menyingkirkan Sultan yang dengan kecerdasannya mampu menetralkan kekuatan Eropa.

Sultan Abdul Hamid II dan Orang Yahudi Insiden penting yang menggerakkan Eropa melawan Sultan Abdul Hamid adalah mengajukannya untuk menempatkan dan menempatkan para imigran Yahudi di Palestina, karena Eropa Kristen ingin mengekspor masalah orang-orang Yahudi yang menimpanya ke wilayah Ottoman.

Zionis mengadakan Konferensi Basel di Swiss pada 29-31 Agustus 1897 dalam rangka merumuskan strategi baru menghancurkan Kesultanan Turki Usmani.

Karena gencarnya aktivitas Zionis Yahudi, akhirnya pada 1900 Sultan Abdul Hamid II mengeluarkan keputusan pelarangan atas rombongan peziarah Yahudi di Palestina untuk tinggal di sana lebih dari tiga bulan. Paspor Yahudi harus diserahkan kepada petugas khilafah terkait. Dan, pada 1901 Sultan mengeluarkan keputusan yang mengharamkan penjualan tanah kepada Yahudi di Palestina.

Pertemuan pertama antara Herzl, kepala Asosiasi Zionis dengan Sultan Abdul Hamid adalah setelah mediasi oleh duta besar Austria di Istanbul, pada tanggal 19 Mei 1901. Saat itu, Herzl menawarkan kepada Sultan untuk menempatkan orang-orang Yahudi di Palestina, dan sebagai ketidakseimbangannya, uang sebesar 150 juta poundsterling khusus untuk Sultan; membayar semua utang Pemerintah Usmaniyah yang mencapai 33 juta poundsterling; membangun kapal induk untuk pemerintah dengan biaya 120 juta frank; memberi pinjaman 5 juta poundsterling tanpa bunga; dan membangun Universitas Usmaniyyah di Palestina.

Sultan menyadari bahwa Herzl menyuapnya untuk membangun rumah nasional bagi orang-orang Yahudi di Palestina. Begitu mereka menjadi mayoritas di sana, mereka akan menuntut otonomi dengan mengandalkan negara-negara Eropa. Jadi Sultan mengusir Herzl “dengan cara yang kejam” menurut sejarawan.

Dalam buku memoarnya, Sultan Abdul Hamid II mengatakan tentang mengapa dirinya tidak menandatangani keputusan ini, “Aku tidak bisa menjual meskipun sejengkal dari wilayah ini. Sebab tanah-tanah itu bukan milikku melainkan milik rakyatku. Rakyatku telah mendapatkan negeri ini dengan pertumpahan darah, dan kemudian menyiraminya juga dengan darahnya. Aku pun akan menyiraminya. Bahkan kami tidak akan mengizinkan seorang pun merampoknya dari anda. Hendaklah orang-orang Yahudi itu menyimpan jutaan uang mereka. Adapun jika pemerintahan ini runtuh dan terbagi-bagi, maka kaum Yahudi bisa mendapatkan tanah Palestina gratis. Kami sungguh tidak akan pernah membagi pemerintahan negeri ini, kecuali setelah melangkahi mayat-mayat kami. Aku tidak akan membaginya dengan tujuan apapun.”

Bagi Sultan, selama masih hidup, dia lebih rela menusukkan pedang ke tubuhnya sendiri daripada melihat tanah Palestina dikhianati dan dipisahkan dari Khilafah Islamiyah.

Adapun Herzl, setelah pertemuan itu, ia menegaskan bahwa dirinya kehilangan harapan untuk mencapai harapan orang-orang Yahudi di Palestina, dan bahwa orang-orang Yahudi tidak akan memasuki Palestina selama Sultan Abdul Hamid masih berkuasa.

Herzl meninggal pada tahun 1904. Tapi keinginannya untuk mendirikan negara Yahudi di atas tanah Palestina tak ikut mati bersama jasadnya. Dibantu oleh Barat, Zionisme Internasional yang dia dirikan berusaha mendirikan negara Yahudi di Palestina. Bahkan para Zionis bekerja sama dengan gerakan Turki Muda untuk memuluskan rencananya itu.

Ketegasan Sultan Abdul Hamid II adalah alasan utama tertundanya proyek Zionis global untuk membangun rumah nasional bagi orang-orang Yahudi di Palestina. Karena ketegasannya itu, musuh-musuh Islam tak henti-hentinya merongrong kekuasaan Sultan Abdul Hamid II. Pada masa pemerintahannya, ia harus berhadapan dengan manuver orang-orang Yahudi Dunamah yang ingin mendongkel kekuasaanya. Sejarawan telah membuktikan bahwa Sultan Abdul Hamid II dengan tegas menolak tawaran Herzl.

Di tahun 1909, Sultan Abdul Hamid II akhirnya digulingkan melalui Revolusi Turki Muda. “Pencopotanku disebabkan karena aku bersikeras melarang Yahudi, sementara Yahudi bersikeras mendirikan tanah air mereka di atas tanah suci (Palestina),” tulis Sultan dalam catatan hariannya seperti dikutip dalam Buku Memoar Sultan Abdul Hamid II.

Kesempatan bagi para Zionis Internasional akhirnya mulai terbuka. Tahun 1914 Ottoman ikut Perang Dunia ke-1 dan mengalami kekalahan, wilayah Palestina akhirnya jatuh dan dikuasai Inggris.

Lewat lobi politisi Yahudi kepada Inggris, akhirnya di umumkan Deklarasi Balfour. Inggris mempersilahkan bangsa Yahudi dari seluruh dunia untuk bermigrasi ke Palestina dan membuat pemukimannya disana.

Puncaknya ditahun 1948, negara Israel akhirnya resmi didirikan, dan akibat yang ditimbulkan dari berdirinya negara itu adalah konflik yang berkepanjangan hingga hari ini.

Mantan Ratu Crypto Ruja Ignatova Masuk Daftar Paling Dicari

Property Pribadi Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh Ilustrasi doc. Pribadi © Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh: "-Mantan Ratu Crypto Ruja Ignatova Masuk Daftar Paling Dicari-"
Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh Mantan Ratu Crypto Ruja Ignatova Masuk Daftar Paling Dicari Mantan CEO OneCoin dan artis Ponzi terkenal Ruja Ignatova telah dimasukkan ke dalam daftar "Paling Dicari" oleh otoritas Eropa - lima tahun setelah dia menghilang.

Crypto OG akan mengingat OneCoin, salah satu penipuan paling terkenal di industri yang meledak di hadapan investor lima tahun lalu.

Babak baru telah ditambahkan ke kisahnya yang masih belum terselesaikan, karena Badan Kerjasama Penegakan Hukum Uni Eropa, Europol, sekarang menawarkan hadiah hingga € 5.000/Rp.76.262.994,95 ($ 5.200/Rp.76.187.540,00) untuk informasi apa pun yang dapat mengarah pada penangkapan Ruja Ignatova, mantan CEO-nya.

Ignatova menghilang pada musim gugur 2017 setelah memimpin skema Ponzi yang terkenal selama bertahun-tahun. Ignatova yang berpendidikan tinggi, yang memperoleh gelar PhD dalam bidang hukum di Jerman, berada di belakang OneCoin, yang dikatakan telah menyebabkan kerugian lebih dari $10 miliar.

Dia menghilang pada Oktober 2017 setelah gagal muncul di konferensi investor dan menghilang sejak saat itu. Laporan menduga dia mungkin bersembunyi di Jerman, tempat dia dan saudara laki-lakinya dibesarkan, atau Mediterania, tempat keberadaan terakhirnya yang diketahui.

Apa Itu OneCoin? OneCoin terkenal tumbuh menjadi salah satu cryptocurrency terbesar berdasarkan kapitalisasi pasar dan membuat investor memimpikan kekayaan yang tak terduga - hanya untuk meledak secara dahsyat setelah skema itu terungkap.

Diperkenalkan sebagai "pembunuh Bitcoin," OneCoin memimpin cryptocurrency yang akan segera ditambang yang dibeli investor - tetapi tidak pernah dapat diuangkan. Sebagai gantinya, mereka membeli kursus dan token pendidikan kripto yang dijiplak, yang secara nominal menghargai nilainya tetapi tidak pernah diperdagangkan secara bebas di pasar.

Ignatova merancang skema tersebut setelah dia gagal melakukan skema Ponzi serupa sebelum OneCoin. Bersama dengan saudara laki-lakinya Konstantin Ignatov dan Sebastian Greenwood, seniman scam crypto terkenal lainnya, ketiganya menjalankan operasi di luar Bulgaria tetapi segera menjadi terkenal di seluruh dunia. Pada satu titik, Ignatova bahkan menjadi tuan rumah sebuah acara di Stadion Wembley di London di depan 60.000 orang.

Saudara laki-lakinya ditahan di Los Angeles pada tahun 2019 dan didakwa melakukan kejahatan keuangan, seperti halnya Sebastian Greenwood, yang sedang menunggu persidangannya di penjara AS. Keberadaan Ignatova tetap tidak diketahui - itulah sebabnya Europol mengeluarkan surat perintah untuknya.

di Tulis Oleh: Paus Koin


[Sumber: yang diambil Admin Blog Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh Silahkan Lihat Di News CoinMarketcap]

Terra Menghentikan Blockchainnya, Binance Menangguhkan Perdagangan LUNA

Property Pribadi Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh Ilustrasi doc. Pribadi © Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh: "-Terra Menghentikan Blockchainnya, Binance Menangguhkan Perdagangan LUNA-"
Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh Terra Menghentikan Blockchainnya, Binance Menangguhkan Perdagangan LUNA Terra menghentikan blockchainnya, dan Binance menangguhkan perdagangan LUNA menyusul ledakan koin tersebut.

Ledakan LUNA mungkin akan segera berakhir, meskipun sangat tidak menyenangkan.

Terra menghentikan blockchainnya untuk memberi waktu kepada jaringan untuk membuat rencana untuk menyusunnya kembali, menurut akun Twitter resmi Terra:

Property Pribadi Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh Ilustrasi doc. Pribadi © Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh: "-Terra Menghentikan Blockchainnya, Binance Menangguhkan Perdagangan LUNA-"
Apakah penangguhan itu bersifat sementara atau permanen masih harus dilihat. Tweet itu diikuti oleh tsunami investor LUNA yang putus asa yang mengharapkan resolusi (positif) dari peristiwa tersebut. Langkah-langkah sebelumnya untuk menyelamatkan LUNA dan UST tidak memberikan kelegaan, dan LUNA telah mengalami hiperinflasi hingga sepersekian sen, sementara TerraUSD diperdagangkan jauh di bawah pasaknya ($0,17 pada saat penulisan).

Akibatnya, Binance menangguhkan perdagangan spot LUNA dan UST pada dini hari tanggal 13 Mei. Sesuai pengumuman, kontrak berjangka LUNA-USDT juga dihapus, karena LUNA anjlok ke posisi terendah yang biasanya hanya dialami oleh koin meme.

Pertukaran lain seperti FTX dan Gate.io melanjutkan perdagangan LUNA dan UST, dengan FTX mengumpulkan volume lebih dari $300 juta pada kontrak berjangka LUNA selama 24 jam terakhir. Apakah LUNA akan dihentikan atau dihapus secara permanen oleh pertukaran ini setelah hiperinflasinya tidak jelas pada saat penulisan.

Meskipun proposal tata kelola berulang kali dan upaya terakhir untuk menyelamatkan blockchain, Terra Foundation tidak dapat membalikkan nasibnya. Apakah LUNA akan pernah pulih - atau setidaknya ada dalam bentuk yang berbeda - tampaknya masih dipertanyakan.

Terra Foundation telah mengumumkan bahwa blockchain telah melanjutkan produksi blok - meskipun dengan penghentian pertukaran on-chain dan penutupan saluran IBC.

di Tulisan Oleh: Paus Koin


[Sumber: yang diambil Admin Blog Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh Silahkan Lihat Di News CoinMarketcap]