Apa Yang Menghalangimu Untuk Belum Berhijab Wahai Saudariku

Property Pribadi Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh Ilustrasi doc. Pribadi © Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh: "-Apa Yang Menghalangimu Untuk Belum Berhijab Wahai Saudariku-"
Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh Apa Yang Menghalangimu Untuk Belum Berhijab Wahai Saudariku Hijab adalah pakaian wanita muslim yang menutup bagian kepala sampai dengan kaki (termasuk didalamnya jilbab/tudung dan pakaian yang longgar tidak memperlihatkan lekuk tubuh).

Bagi orang awam, masalah hijab mungkin dianggap masalah sederhana. Padahal sesungguhnya, ia adalah masalah besar. Karena ia adalah perintah Allah SWT yang tentu didalamnya mengandung hikmah yang banyak dan sangat besar.

Ketika Allah SWT memerintahkan kita suatu perintah, Dia Maha Mengetahui bahwa perintah itu adalah untuk kebaikan kita dan salah satu sebab tercapainya kebahagiaan, kemuliaan dan keagungan wanita.

Seperti firman Allah SWT:

"Hai Nabi, katakan kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin untuk mengulurkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka, yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu”. (QS. Al Ahzab:59)

Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam pernah bersabda:

"Akan ada di akhir umatku kaum lelaki yang menunggang pelana seperti layaknya kaum lelaki, mereka turun di depan pintu masjid, wanita-wanita mereka berpakaian (tetapi) telanjang, diatas kepala mereka (terdapat suatu) seperti punuk onta yg lemah gemulai. Laknatlah mereka! Sesunggunya mereka adalah wanita -wanita terlaknat."(Diriwayatkan oleh Imam Ahmad(2/33))

Sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam juga pernah bersabda:

“Dua kelompok termasuk penghuni Neraka, Aku (sendiri) belum pernah melihat mereka, yaitu seperti orang yg membawa cemeti seperti ekor sapi, dengannya mereka mencambuki manusia dan para wanita yg berpakaian (tetapi ) telanjang, bergoyang berlenggak lenggok, kepala mereka (ada suatu) seperti punuk unta yg bergoyang goyang. Mereka tentu tidak akan masuk Surga, bahkan tidak mendapat baunya. Dan sesungguhnya bau Surga itu tercium dari jarak perjalanan sekian dan sekian." (HR. Muslim, hadits no. 2128).

Dimasa kini banyak alasan atau sebab yang sering dijadikan alasan mengapa para wanita enggan untuk berhijab, diantaranya:

1. Belum mantap

Bila ukhti/saudari berdalih dengan syubhat ini hendaknya bisa membedakan antara dua hal. Yakni antara perintah Tuhan dengan perintah manusia. Selagi masih dalam perintah manusia, maka seseorang tidak bisa dipaksa untuk menerimanya.

Tapi bila perintah itu dari Allah SWT tidak ada alasan bagi manusia untuk mengatakan saya belum mantap, karena bisa menyeret manusia pada bahaya besar yaitu keluar dari agama Allah SWT sebab dengan begitu ia tidak percaya dan meragukan kebenaran perintah tersebut.

Allah SWT berfirman Allah:

"Dan tidak patut bagi lelaki mukmin dan wanita mukminah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah SWT dan Rasul-Nya maka sesungguhnya dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. Al-Ahzab: 36)

2. Iman itu letaknya di hati bukan dalam penampilan luar

Para ukhti/saudari yang belum berhijab berusaha menafsirkan hadist, tetapi tidak sesuai dengan yang dimaksudkan, seperti sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasalam:

“Sesungguhnya Allah SWT tidak melihat pada bentuk-bentuk (lahiriah) dan harta kekayaanmu tapi Dia melihat pada hati dan amalmu sekalian.” (HR. Muslim, Hadist no. 2564 dari Abu Hurairah).

Tampaknya mereka menggugurkan makna sebenarnya yang dibelokkan pada kebathilan. Memang benar Iman itu letaknya dihati tapi Iman itu tidak sempurna bila dalam hati saja. Iman dalam hati semata tidak cukup menyelamatkan diri dari Neraka dan mendapat Surga.

Karena definisi Iman Menurut jumhur ulama Ahlus Sunnah wal Jama'ah:

"keyakinan dalam hati, pengucapan dengan lisan, dan pelaksanaan dengan anggota badan".

Dan juga tercantum dalam Al-Quran setiap kali disebut kata Iman, selalu disertai dengan amal, seperti:

"Orang yg beriman dan beramal shalih....".

Karena amal selalu beriringan dengan iman, keduanya tidak dapat dipisah-pisahkan.

3. Allah belum memberiku hidayah

Ukhti/saudari yang seperti ini terperosok dalam kekeliruan yang nyata. Karena bila orang yang menginginkan hidayah, serta menghendaki agar orang lain mendo'akan dirinya agar mendapatkannya, ia harus berusaha keras dengan sebab-sebab yang bisa mengantarkannya sehingga mendapatkan hidayah tersebut.

Seperti firman Allah SWT:

"Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra'd: 11).

Karena itu wahai uhkti/saudari, berusahalah mendapatkan sebab-sebab hidayah, niscaya Anda mendapatkan hidayah tersebut dengan izin Allah SWT. Diatara usaha itu adalah berdo'a agar mendapat hidayah, memilih kawan yang shalihah, selalu membaca, mempelajari dan merenungkan Kitab Allah, mengikuti majelis dzikir dan ceramah agama dan lainnya.

4.Takut tidak laku nikah

Syubhat ini dibisikkan oleh setan dalam jiwa karena perasaan bahwa para pemuda tidak akan mau memutuskan untuk menikah kecuali jika dia telah melihat badan, rambut, kulit, kecantikan dan perhiasan sang gadis. Meskipun kecantikan merupakan salah satu sebab paling pokok dalam pernikahan, tetapi ia bukan satu-satunya sebab dinikahinya wanita.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:

"Wanita itu dinikahi karena empat hal; yaitu karena harta, keturunan, kecantikan dan agamanya. Dapatkanlah wanita yg berpegang teguh dengan agama,(jika tidak) niscaya kedua tanganmu berlumur debu".(HR. Al Bukhari, kitaabun nikah,9/115).

5. Ia masih belum Dewasa

Sesungguhnya para wali, baik ayah atau ibu yang mencegah anak puterinya berhijab, dengan dalih karena masih belum dewasa, mereka mempunyai tanggung jawab yang besar dihadapan Allah SWT pada hari Kiamat. Karena menurut syariat ketika seorang gadis mendapatkan Haidh, seketika itu pula ia wajib untuk berhijab.

6. Orang tuaku dan suamiku melarang berhijab

Dasar permasalahan ini adalah bahwa ketaatan kepada Allah SWT harus didahulukan daripada keta’atan kepada mahluk siapa pun dia. Seperti dalam hadits shahih disebutkan:

"Sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam kebaikan." (HR. Al Bukhari dan Muslim).

Dan sabda Rasul dalam hadist lainnya:

"Dan tidak boleh ta'at kepada mahluk dengan mendurhakai (bermaksiat) kepada Al-Khaliq." (HR. Imam Ahmad, hadits ini shahih).

Maka dari itu wahai ukhti yang belum berhijab, semoga tulisan ini mejadi pembuka hati yang terkunci, menggetarkan perasaan yg tertidur, sehingga bisa mengembalikan segenap akhwat yang belum menta’ati perintah berhijab, kepada fitrah yang telah diperintahkan Allah SWT.

(Dikutip dari buku terjemahan yg berjudul asli Ila Ukhti Ghairil Muhajjabah Mal Maani'u Minal Hijab? oleh Syaikh Abdul Hamid Al Bilaly).

Wallahu A’lam.

Pertarungan Bitcoin untuk Tetap Di Atas $30.000 dan Menghindari Kejutan Jatuh ke Harga yang Tidak Terlihat Sejak Akhir 2020

Property Pribadi Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh Ilustrasi doc. Pribadi © Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh: "-Pertarungan Bitcoin untuk Tetap Di Atas $30.000 dan Menghindari Kejutan Jatuh ke Harga yang Tidak Terlihat Sejak Akhir 2020-"
Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh Pertarungan Bitcoin untuk Tetap Di Atas $30.000 dan Menghindari Kejutan Jatuh ke Harga yang Tidak Terlihat Sejak Akhir 2020 Korelasi yang erat dengan Wall Street bisa berarti ujian lebih lanjut dari penghalang ini di hari-hari mendatang - terutama jika pasar saham terus jatuh.

Bitcoin berjuang untuk tetap di atas $30.000 setelah seharian bergejolak untuk pasar crypto.

Data CoinMarketCap menunjukkan cryptocurrency terbesar di dunia turun ke $29.944,80 pada dini hari Selasa.

Itu adalah harga terendah yang dicatat Bitcoin sejak Juli 2021 - dan saat itu, bulls berhasil mendapatkan kembali kendali dan mendorong BTC ke level tertinggi baru sepanjang masa.

Bitcoin telah berhasil menghindari jatuh secara signifikan di bawah $30.000 sejauh ini - dan beberapa jam kemudian, harga memantul kembali ke titik tertinggi $32.500.

Tetapi korelasi yang erat dengan Wall Street dapat berarti ujian lebih lanjut dari penghalang ini di hari-hari mendatang - terutama jika pasar saham terus jatuh - dan ada bahaya BTC dapat kembali ke level yang tidak terlihat sejak akhir 2020.

Semua ini berarti sangat penting untuk melihat bagaimana nasib saham berjangka - berpotensi memberi investor tanda tentang apa yang ada di depan ketika New York dibuka pada hari Selasa.

Pada pukul 9 pagi waktu London, S&P 500 berjangka naik 0,86%, sementara Dow berjangka naik 0,65%. Sementara itu, Nasdaq 100 berjangka teknologi tinggi naik 1,42%.

Kemerosotan pasar saham Senin meninggalkan S&P pada level terlemah sejak Maret 2021 - dan tampaknya tidak ada akhir yang terlihat karena ketidakpastian suku bunga, inflasi, harga energi, dan penguncian COVID di China berlanjut.

Kesuraman dapat lebih diperburuk ketika Coinbase melangkah untuk memberikan hasil keuangan kuartal pertama pada hari Selasa.

Rasa Sakit Menyebar Di Pasar Crypto

Crypto Fear and Greed Index terbaru menunjukkan skor 10 - menunjukkan ada Ketakutan Ekstrim di pasar saat ini.

Paling buruk, penurunan puncak ke palung berarti BTC telah merosot 12,5% dalam 24 jam pada satu titik - tetapi kerugian selama jangka waktu ini sekarang mencapai 5%.

Memperkecil ke tujuh hari terakhir, dan Bitcoin telah turun 17,5%.

Ada juga lautan merah di pasar altcoin - dengan kinerja LUNA yang sangat buruk karena perannya dalam kegagalan stablecoin UST.

Hanya segelintir kecil altcoin di 100 teratas berdasarkan kapitalisasi pasar yang benar-benar berada di wilayah positif - Maker, Elrond, FTX, Arweave, Qtum, Polygon, dan Zilliqa di antaranya.

Sementara "membeli penurunan" telah menjadi moto yang dicoba dan diuji untuk Bitcoiner dalam beberapa tahun terakhir, pasar crypto jarang harus bersaing dengan iklim ekonomi di mana suku bunga meningkat.

Ketua Federal Reserve Jerome Powell sangat menyarankan bahwa kenaikan setengah poin lebih lanjut ada di meja untuk Juni dan Juli - kenaikan yang dapat membuat BTC kurang menarik karena investor mencari pengembalian dalam aset yang kurang berisiko.

Tetapi beberapa analis percaya The Fed mungkin perlu menaikkan suku bunga lebih agresif dalam upaya untuk membawa inflasi kembali terkendali. Seperti yang dikatakan COO Stack Funds Matt Dibb kepada Reuters:

"Rasio risiko-hadiah untuk mengambil Bitcoin di sini sangat bagus dalam satu tahun terakhir ini, tetapi kami melihat latar belakang makro yang berbeda."

Pakar lain bersusah payah untuk menunjukkan bahwa semuanya terjun bebas sekarang - yang berarti bahwa kehancuran saat ini bukan tentang Bitcoin secara khusus.

di Tulis Oleh: Connor Sephton


[Sumber: yang diambil Admin Blog Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh Silahkan Lihat Di News CoinMarketcap]

Harga Jual CPO Turun US$ 183/Ton, Pasokan Minyak Goreng Sawit Sudah Terpenuhi

Property Pribadi Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh Ilustrasi doc. Pribadi © Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh: "-Harga Jual CPO Turun US$ 183/Ton, Pasokan Minyak Goreng Sawit Sudah Terpenuhi-"
Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh Harga Jual CPO Turun US$ 183/Ton, Pasokan Minyak Goreng Sawit Sudah Terpenuhi Paska larangan sementara ekspor minyak sawit mentah (CPO) dan produk turunannya, oleh Presiden Jokowi pada akhir April 2022 lalu, telah mendorong harga CPO di Bursa Malaysia sempat melonjak tinggi hingga RM 7.104/Ton.

Lonjakan harga CPO tersebut, merupakan respon pasar yang terkejut adanya keputusan tersebut.

Hasilnya, masyarakat luas di Indonesia bisa menikmati Hari Raya Idul Fitri 1443H dengan aman dan lancar. Pasalnya, ketersediaan pasokan minyak goreng sawit curah dan kemasan kini tersedia di sekitar masyarakat luas.

Sebab itu, kebijakan larangan sementara ekspor CPO harus ditinjau kembali, guna memberikan rasa keadilan pada masyarakat, terutama petani kelapa sawit. Dari hasil pantauan redaksi InfoSAWIT, beberapa daerah sentra perkebunan kelapa sawit, harga jual TBS mengalami penurunan besar-besaran, hingga mencapai 40% dari ketetapan harga disbun setempat. Minimnya harga yang diterima petani kelapa sawit itu, sebagai akibat stok CPO yang menumpuk di tangki penyimpanan sementara Pabrik Kelapa Sawit (PKS).

Sumber InfoSAWIT dari perusahaan perkebunan kelapa sawit juga mengonfirmasikan kesulitan menjual hasil olah Tandan Buah Segar (TBS) sawit yakni CPO ke pasar, "Alasan utama yang dikatakan pembeli CPO kami, karena mereka juga kesulitan menjual CPO yang mereka miliki. Lantaran pasokan minyak goreng domestik sudah berlimpah, sedangkan pasar ekspor masih dilarang" ujar pihak perusahaan yang tak mau disebutkan namanya kepada Info SAWIT menjelaskan.

Sebab itu, dibutuhkan bantuan Presiden Jokowi untuk mencabut larangan sementara ekspor CPO dan produk turunannya secepatnya. Lantaran, apabila tidak segera dicabut, beberapa PKS sedang berencana menghentikan produksinya akibat tangki penampungan (storage tank) milik PKS sudah penuh, sehingga tidak mungkin lagi bisa melakukan produksi sebab tidak ada tangki penyimpanannya.

Selain tangki penyimpanan yang penuh, Pabrik Kelapa Sawit (PKS) juga khawatir kualitas CPO akan rusak karena disimpan di tangki terlalu lama.

"Kualitas CPO akan rusak, bila terlalu lama disimpan dalam tangki penyimpanan" ujarnya menjelaskan.

Di sisi lain, PKS yang menurunkan produksi, juga sudah mulai berhenti melakukan pembelian hasil panen (Tandan Buah Segar/TBS) milik petani kelapa sawit. Padahal, hasil TBS yang dipanen petani, juga menjadi sandaran utama mata pencaharian masyarakat luas. Jika hal ini berlangsung lama, PKS juga khawatir akan terjadi boikot petani kelapa sawit dalam jangka waktu dekat.

"Jangan sampai petani sawit lagi yang jadi korban," kata dia menjelaskan, "Apabila sampai tidak mau panen dan tidak merawat serta melakukan pemupukan, maka di masa depan, kebun sawit petani akan bermasalah besar karena produksi mereka akan anjlok".

Sebab itu, kebijakan pemerintah sangat diharapkan dapat memihak petani kelapa sawit yang hingga dewasa ini masih terus berjuang merawat pokok tanamannya.

"Jangan sampai pula, PKS ikutan tutup dan berhenti produksi, karena sudah tidak ada tempat penyimpanan CPO lagi" Kata dia menegaskan.

Sementara merujuk harga Bursa Malaysia (6/5/2022), harga jual CPO telah menyentuh harga RM 6.400/ton atau sebesar US$ 1.460/ton. Harga ini menurun cukup signifikan, bila dibandingkan akhir bulan lalu yang mampu mencapai US$ 1.643/Ton.

Turunnya harga CPO sebesar US$ 183/ton, menjadi sinyal kuat bagi pelaku usaha minyak sawit akan terjadinya penurunan harga jual CPO di masa mendatang. Sebab itu, Presiden Jokowi harus segera mencabut regulasi larangan sementara ekspor CPO dan produk turunannya.

"Petani juga sudah mulai mengalami kesulitan hidup,  lantaran harga jual pupuk sudah tidak terjangkau", pungkasnya.


[Sumber: yang diambil Admin Blog Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh Silahkan Lihat Di News Infosawit]

Idul Fitri Telah Usai, Harga Kelapa Sawit Riau di Tingkat Petani Sekarang Rp 2.100 - Rp 2.300 per Kg

Property Pribadi Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh Ilustrasi doc. Pribadi © Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh: "-Idul Fitri Telah Usai, Harga Kelapa Sawit Riau di Tingkat Petani Sekarang Rp 2.100 - Rp 2.300 per Kg-"
Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh Idul Fitri Telah Usai, Harga Kelapa Sawit Riau di Tingkat Petani Sekarang Rp 2.100 - Rp 2.300 per Kg Petani sawit di Provinsi Riau meminta kepada pemerintah agar kebijakan larangan ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng ke luar negeri bisa segera dicabut, agar harga beli sawit petani bisa kembali membaik.

Sekretaris Apkasindo Riau Djono Albar Burhan mengatakan saat ini harga rata-rata sawit yang diterima petani dari pabrik masih sama dengan kondisi sebelum Lebaran atau akhir April 2022 lalu, yaitu di harga Rp2.100 sampai Rp2.300 per kg.

"Harga jual sawit petani di Riau masih belum pulih ke kondisi sebelum larangan ekspor, masih jauh dari harga sebelumnya yang bisa Rp3.800 per kg. Karena itu kami minta larangan ekspor minyak goreng dan bahan baku minyak goreng ini dicabut oleh pemerintah," ujarnya, Senin (9/5/2022).

Dia mengakui hanya itu satu-satunya solusi agar harga jual sawit yang diterima petani bisa kembali membaik, seiring dengan masih tingginya harga CPO di pasar dunia.

Menurutnya saat ini petani sawit harus menanggung kerugian akibat harga jual sawit yang rendah, dan bahkan dinilai hanya bisa menahan kondisi tersebut dalam sepekan kedepan.

Karena apabila harga jual bertahan di angka rendah seperti saat ini, petani sawit disebut tidak mampu membeli pupuk untuk menjaga produktivitas hasil sawit kedepannya, karena memang harga pupuk juga masih tinggi.

"Untuk harga pupuk tidak ikut turun di saat harga sawit sedang turun, dan pupuk masih dijual dengan harga lama, misalnya NPK tahun lalu masih Rp450.000, sekarang sudah Rp700.000, kemudian pupuk urea yang tahun lalu Rp300.000, sekarang sudah Rp600.000," ujarnya.

Dia menyebutkan apabila kondisi harga rendah tidak bisa diselesaikan pemerintah, akan berdampak pada turunnya produktivitas sawit petani rakyat di tahun depan, yang tentu berimbas terhadap aktivitas pengolahan kelapa sawit di Provinsi Riau dan nasional.

Setelah keluarnya pelarangan ekspor sawit oleh Presiden Jokowi pada akhir pekan lalu, dampaknya langsung dirasakan oleh masyarakat khususnya petani kelapa sawit. Sebelumnya Gubernur Riau Syamsuar mengatakan saat ini ada dua daerah yang sudah melaporkan kondisi lapangan di sekitar operasional pabrik kelapa sawit, salah satunya dari Rokan Hilir.

"Setelah adanya kebijakan larangan ekspor sawit, tadi ada dua daerah yang melaporkan kondisi lapangan seperti ada kemungkinan pabrik kelapa sawit atau PKS menutup operasional. Karena beberapa alasan seperti menyesuaikan stok bahan baku sawit dengan kapasitas penampungan yang ada," ujarnya, Senin (25/4/2022).

Dia menjelaskan saat ini terjadi penumpukan truk pembawa sawit hasil petani, dan menurutnya kondisi ini akan dikoordinasikan dengan Kapolda, Danrem, dan Kabinda untuk kemudian hasil pantauan tersebut dilaporkan kepada pemerintah pusat.

Menurutnya kondisi penumpukan truk sawit ini tentu menyulitkan bagi para petani karena sudah mendekati Lebaran yang tinggal sepekan lagi, dimana semua orang membutuhkan uang belanja.

Karena itu pihaknya berharap agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diharapkan di tengah masyarakat akibat kondisi tersebut.

"Kami juga harap ada kebijakan nasional yang tidak mengganggu petani sawit, dan menjadi solusi agar semua produksi sawit bisa diterima kembali oleh pabrik yang ada di Riau, karena memang apabila buah sawit ada banyak menyebabkan pabrik tidak bisa menerima dan menampung akibat tidak sesuai dengan kapasitas daya tampungnya."

di Tulis Oleh: Arif Gunawan


[Sumber: yang diambil Admin Blog Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh Silahkan Lihat Di News Sumatra.Bisnis]

Elon Musk Mencuri Gambar, Gucci Menerima SHIB, Markets Mayhem

Property Pribadi Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh Ilustrasi doc. Pribadi © Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh: "-Elon Musk Mencuri Gambar, Gucci Menerima SHIB, Markets Mayhem-"
Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh Elon Musk Mencuri Gambar, Gucci Menerima SHIB, Markets Mayhem Selain itu, Starbucks percaya NFT memiliki kasus penggunaan yang menarik di luar perdagangan "sangat spekulatif"... benarkah?

Connor Sephton dan Molly Jane Zuckerman membahas berita utama crypto minggu ini di CoinMarketRecap edisi akhir pekan.

Di acara itu, kami menganalisis penurunan dramatis di pasar crypto.

Plus - Elon Musk dituduh mencuri kolase dari Bored Apes untuk foto profilnya di Twitter... apakah ini menunjukkan masalah yang lebih besar dengan token yang tidak dapat dipertukarkan?

Sementara itu, Starbucks meluncurkan NFT-nya sendiri - dapatkah koleksi kripto menyeret program loyalitas ke abad ke-21... atau akankah rantai kopi menghadapi serangan balasan?

Dan Gucci akan mulai menerima kripto sebagai metode pembayaran - termasuk Dogecoin dan Shiba Inu. Kami akan bertanya apakah itu ide yang bagus.

Anda dapat mengikuti kami di Twitter - @MollyJZuckerman @ConnorSephton dan @CoinMarketCap.

Dan jika Anda ingin menghadiri konferensi pertama CoinMarketCap di metaverse pada tanggal 26 dan 27 Mei, dapatkan tiketnya di https://conference.coinmarketcap.com.

di Tulis Oleh: Connor Sephton


[Sumber: yang diambil Admin Blog Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh Silahkan Lihat Di News CoinMarketcap]

Dengarkan Candi-Candi Bicara

Property Pribadi Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh Ilustrasi doc. Pribadi © Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh: "-Dengarkan Candi-candi Bicara-"
Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh Dengarkan Candi-candi Bicara Biarkan candi-candi itu bicara. Maka mereka tidak sekadar menjadi panji-panji yang membawa kita pada mitos dan mistisisme. Ada kebijaksanaan yang akan mereka bisikkan dari sana.

Candi-candi itu bertutur tentang tata ruang. Melihat sebagian candi di Jawa Tengah seperti Gedongsongo, Cetho, Sukuh, Ratu Boko, dan Dieng, jangan kaget kalau ada keteraturan dalam ruang di situ. Batu-batu itu tidak tersusun begitu saja di lokasi yang dipilih asal-asalan, tetapi merupakan hasil dari keteraturan yang tersebar. ”Kalau dari konsep arsitektur modern, ordering system itu membuktikan kalau ada religi dari pelakunya,” kata arsitek Andy Siswanto.

Sistem keteraturan yang dipegang teguh ini berhubungan dengan kepercayaan tentang pencapaian nirwana. Nilai-nilai religi tersebut dimanifestasikan dalam candi. Seakan hendak meniru perjalanan ritual manusia menuju kesempurnaan, candi adalah hasil imajinasi kreatif tentang nirwana. Dan memang, ketika kabut turun, undak-undakan candi itu pun seperti menjadi sebuah negeri di awan.

Hasil dari kebijaksanaan masa lalu ini hadir dalam karya-karya estetis yang terintegrasi dengan alam. Candi Gedongsongo, misalnya, terdiri dari lima kelompok candi yang dibangun mengikuti kontur lereng Gunung Ungaran dan menghasilkan jalur berbentuk tapal kuda pada ketinggian 1.300 meter. Masing-masing kelompok terdiri dari satu hingga tiga candi kecil yang konon dibangun pada abad ke-7 ketika wangsa Syailendra berkuasa.

Berjalan kaki dari kelompok candi yang satu, walau harus ngos-ngosan karena menanjak, hati tenang karena ditemani hutan pinus dan ladang penduduk. Di tengah perjalanan yang mendadak menurun, ada kawah yang menurut kepercayaan penduduk setempat mengeluarkan napas Rahwana serta sumber air. Setelah itu, jalan kembali menanjak menuju akhir perjalanan, yaitu kelompok candi kelima yang duduk di pangkuan Gunung Ungaran.

Semakin Sepi

Rasanya, perjalanan dengan jalan setapak Candi Gedongsongo membawa kita semakin ke atas, semakin sepi, dan semakin sendiri. ”Ada rangkaian ritual perjalanan untuk menangkap fenomena jagat raya,” kata Niken Wirasanti, staf pengajar Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (UGM).

Pola serupa terjadi di Candi Dieng. Kompleks candi yang terletak di basin cekungan sisa kawah ini merupakan kompleks bangunan Hindu tertua di Jawa Tengah. Percandian Dieng yang terdiri dari Candi Semar, Arjuna, Srikandi, Gatotkaca, Puntadewa, dan Bima ini tersebar di dalam cekungan pada ketinggian 2.100 meter. Kompleks candi yang terpencar-pencar ini dikelilingi perbukitan yang membuat kita merasa berdiri di dasar sebuah mangkok. Padang rumput yang luas diselingi ladang kentang dan perkebunan penduduk, berpusat pada Candi Arjuna yang terletak di tengah-tengah, dan menjadi pusat perjalanan spiritual yang dilingkari bukit.

Walau sekilas terlihat acak, ada pola yang berhubungan dengan kondisi tanah di basin Dieng ini. Konon, pihak pembangun developer kalau mengikuti istilah saat ini kala itu harus melakukan uji kelayakan tanah dulu sebelum membuat sebuah bangunan yang dirancang berusia ratusan tahun. Caranya dengan membuat sebuah lobang, lalu diisi dengan air. Selang beberapa saat, dilihat bagaimana rembesan airnya. Semakin sempit rembesannya, berarti semakin padat tanah tersebut.

Candi Dieng dibangun dengan sebelumnya diteliti seperti itu. Bayangkan bagaimana orang pada waktu itu mencari lokasi yang sangat spesifik sesuai rangkaian ritual dan syarat-syaratnya,” kata Gutomo, staf Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Tengah. Belakangan, baru ditemukan bahwa tanah tempat candi-candi itu berdiri, terutama di kompleks candi utama di tengah basin, yaitu Candi Arjuna, adalah golongan tanah breksi vulkanik yang sangat keras, berbeda dengan jenis tanah di sekitarnya.

Prinsip keteraturan memang menjadi dasar sejak titik awal, yaitu pemilihan lokasi. Ketinggian dan ketersediaan air menjadi salah satu syarat utama pembangunan candi-candi penyembahan. Keberadaan candi-candi itu di tempat yang tinggi, didasarkan pada kepercayaan pra-Hindu yang menganggap roh-roh leluhur tinggal di gunung.

Sementara kedekatan dengan sumber air juga merupakan keharusan karena air adalah salah satu elemen terpenting dari sebuah upacara. Bahwa kebanyakan candi menghadap ke timur dan barat juga berkaitan dengan perjalanan hidup yang dimulai dari kelahiran dan kematian. ”Candi itu sangat struktural, lihat saja sumbu-sumbunya yang berhubungan dengan kosmik,” kata Andy.

Pemilihan tempat juga mempertimbangkan gejala alam, seperti suhu, nuansa pagi dan malam, kabut dan kawah gunung berapi yang membawa manusia ke sebuah penjelmaan dari nirwana itu sendiri. Sebut saja misalnya Candi Sukuh (970 meter) dan Candi Cetho (1.400 meter), keduanya di lereng Gunung Lawu, Kabupaten Karanganyar. Jalan menanjak dan berkelok-kelok harus ditempuh sebelum tiba di kedua candi ini. Efek matahari terbit dan tenggelam pada candi yang terbentang searah timur-barat ini, ditambah dengan latar tubuh gunung yang menjulang di belakangnya, menciptakan suasana yang magis dan misterius.

Undakan-undakan yang merupakan bangunan utama candi membawa peziarah naik ke ”atas”. ”Itulah lambang langit sebagai dunia atas yang dihuni zat spiritual yang dipahami sebagai tujuan hidup manusia,” kata Niken.

Selain tata ruangnya, masing-masing ornamen pada tiap candi dengan terperinci merujuk pada makna tertentu. Setiap simbol, sekecil apa pun, adalah bagian dari sebuah narasi besar yang dirancang sejak awal untuk menjadi ”jiwa” candi tersebut. Candi Sukuh dan Candi Cetho, misalnya, banyak memiliki beragam hiasan yang menggambarkan kesuburan manusia. Hadirnya lingga dan yoni, rahim, hingga alat kelamin dibuat sebagai ornamen yang merujuk pada proses hidup manusia.

Kecanggihan lainnya, struktur candi juga mengakomodasi kondisi alam Indonesia yang beriklim tropis dan banyak gempa. Struktur batuan candi yang disusun tanpa perekat menggunakan hukum gravitasi, yaitu menggunakan sistem batu pengunci. Salah satu keunggulannya, karena sambungannya tidak solid, bangunan ini elastis dan relatif tahan gempa. Gutomo dari BP3 juga bercerita, telah diteliti bahwa pencahayaan yang sengaja minim dan sirkulasi udara dari empat penjuru lubang di atap menjadikan candi sebagai tempat semadi.

Pola Alam

Apa yang terlihat acak dalam konsep ruang candi sebenarnya membentuk pola keteraturan yang mengikuti pola alam. Ruang sekitar menjadi unsur figuratif dari sebuah bangunan. Ini yang dalam perspektif arsitektur modern disebut dengan environmental design, yang dengan rasional mempertimbangkan aspek lingkungan.

Setidaknya ini bisa menjadi cermin tata ruang perkotaan, yang tentunya tidak bisa langsung diperbandingkan karena memiliki religi yang berbeda. Ketika nirwana digantikan oleh kebutuhan ekonomi sebuah rancangan, menjadi pertanyaan besar apakah rencana ruang kota dapat menjawab kebutuhan yang baru tersebut.

Banyak unsur utama arsitektur modern kota besar seperti estetika dan efisiensi yang tidak mampu terpenuhi,” kata Andy merujuk pada contoh kasus kawasan Sudirman-Thamrin. Ruang sekadar menjadi sisa yang tidak terdefinisi dari beton-beton yang dihunjamkan sebagai gedung. Inilah wajah ”candi-candi modern” paling gampangnya bisa dilihat di ”pusat peradaban mutakhir Indonesia”, yaitu sepanjang Jalan Sudirman-Thamrin.

Arsitek Marco Kusumawijaya bercerita tentang proyek ”Membayangkan Jakarta”, yang menemukan bahwa daerah Sudirman-Thamrin itu tidak memiliki fungsi hunian yang menimbulkan kehidupan. Yang ada hanya kantor dan kantor lagi. Sementara sebuah contoh kasus menyebutkan, dari 91 orang yang bekerja di sebuah gedung di Jalan Sudirman, hanya satu orang yang tinggal di sana. Yang lain, ya selamat terjebak kemacetan.

Ketika masyarakat modern mengalami kegagapan dalam mendefinisikan kebutuhan lewat kecanggihan ilmu pengetahuan modern, dengarlah sebentar, ada bisikan dari masa lalu...

di Tulis Oleh: Edna C Pattisina & dahono fitrianto


[Sumber: yang diambil Admin Blog Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh Silahkan Lihat Di News Kompas]

Pentas Antropologi di Indonesia

Property Pribadi Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh Ilustrasi doc. Pribadi © Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh: "-Pentas Antropologi di Indonesia-"
Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh Pentas Antropologi di Indonesia Waktu istirahat saat makan siang dalam sebuah seminar, sambil minum kopi di luar ruang, saya iseng tanya kepada seorang mahasiswa peserta, "Apa tujuan adik belajar antropologi?" "Nanti kalau tamat, saya kepingin jadi guide," jawabnya dengan polos.

"Turis-turis itu kan bayar mahal untuk melihat kebudayaan kita dan mereka butuh penjelasan tentang obyek-obyek yang mereka kunjungi."

Saya sangat terkesima mendengar jawaban si mahasiswa. Sebelumnya ada dugaan terlintas, dia pasti ingin jadi pengajar, peneliti, aktivis, atau mungkin juga konsultan. Jawabannya menggelikan, tetapi siapa tega menertawakan? Bagaimanapun, cita-citanya bisa memberi suatu jalan keluar yang baik di tengah-tengah barisan sarjana penganggur di Indonesia.

Tujuan mahasiswa yang menggelitik itu memang tidak bisa dilecehkan begitu saja atau dilupakan sebagai pendapat "orang yang belum mengerti" apa itu antropologi. Sebaliknya, pendapat semacam ini, senaif apa pun, harus dilihat sebagai cermin keterkaitan ilmu, kekuasaan, dan ketidakadilan.

Di Indonesia ilmu modern sangat terkait dengan "nilai guna". Di bawah rezim pembangunan, ruang untuk berfilsafat sangat sempit. Kalau pengetahuan tidak punya aplikasi langsung, dianggap tidak penting, malahan membingungkan atau membahayakan masyarakat yang seharusnya "berpembangunan-ria". Kewarganegaraan seseorang didefinisikan dengan penilaian sejauh mana intelektualitas, maupun subyektivitas, bisa ditujukan pada pengabdian negara dan modal. Demikian pula status antropologi yang berfungsi sebagai abdi-dalem pemerintah dan jarang memberi kesempatan kepada pemikir tandingan.

Namun, kecenderungan antropologi di Indonesia mendukungi status quo tidak bisa dibebankan hanya pada dosa Orde Baru. Asal-usul antropologi, di Barat maupun di Indonesia, terkait intim dengan sejarah kolonialisme. Para pejabat kompeni pada zaman dulu wajib menulis laporan bukan hanya tentang daerah yang akan diambil atau sumber daya alam yang akan dieksploitasi, tetapi tentang karakter masyarakat yang sedang dijajah.

Catatan semacam ini diberi nama etnologi, menawarkan penggambaran watak khas suatu masyarakat. Informasi ini digunakan untuk mempermudah penguasaan kaum pribumi. Antropologi menjadi sebuah teknologi utama guna menjalankan kontrol sosial serta memungkinkan pola penjajahan dengan sistem indirect rule: penundukan dilaksanakan melalui institusi lokal dan pemimpin setempat dengan kodifikasi hegemoni lokal atas nama adat.

Penekanan pada katalog perbedaan budaya memunculkan apa yang pernah diidentifikasikan oleh kritikus sastra, Homi Bhabha, sebagai paradoks kolonialisme: yang dijajah disuruh menjadi white but not quite, atau diajak berpartisipasi dalam struktur penjajahan lewat perbedaan mereka. Dari satu sisi, keaslian masyarakat dianggap, menurut "kebijakan etis" Belanda, sebagai sesuatu yang harus dijaga untuk mencegah yang lemah dari pencemaran gelombang "baratisasi". Tetapi, dari sisi lain, sistem ketidakadilan sosial diperkuat dengan melestarikan kelemahan tersebut. Dengan mengklasifikasikan dan memelihara diferensiasi budaya, antropologi Belanda bukan hanya mengizinkan kolonialisme berfungsi, tetapi menyelimuti kekuasaan dalam bungkus yang indah, moral dan ilmiah.

Setelah Pemerintah Belanda angkat kaki dari Tanah Air, Indonesia memproklamasikan kemerdekaan lalu menyandang status sebagai negara yang sedang berkembang. Namun, antropologi masih terus dibayangkan sebagai ilmu yang bisa digunakan merapatkan kontrol sosial daripada ilmu yang benar-benar untuk pembebasan.

Melalui tangan Koentjaraningrat, salah seorang pendekar ilmu kebudayaan Indonesia, antropologi Indonesia menjadi alat penting untuk proyek nasionalisme. Praktik-praktik kultural yang sangat variatif dilihat menurut sebuah skala implisit yang mengukur sejauh mana kehidupan seseorang cocok dengan sebuah "kultur nasional" yang ideal.

Antropologi diberi tugas menggali "mentalitas budaya Indonesia" yang akan dijadikan modal sosial untuk menyokong pembangunan. Mahasiswa antropologi dikirim ke daerah-daerah "terpencil" untuk meneliti perilaku menabung, pola makan, sikap terhadap kebersihan, urusan mengisi waktu luang, nilai anak, budaya berlalu lintas, sampai pada konsep sehat dan sakit-informasi yang bisa dipakai untuk "memerdayakan" yang "belum berbudaya". Sedangkan di pusat kekuasaan nasional di Jawa dan Bali, antropolog-antropolog dikerahkan mengumpulkan informasi tentang "puncak-puncak kebudayaan" daerah yang mampu mempromosikan keberadaban Indonesia.

Meskipun antropologi di Barat dan antropologi di Indonesia lahir dari colonial encounter yang sama, di zaman pascakolonial mereka mengikuti jalur yang sangat berbeda. Di negara-negara Barat, dewasa ini antropologi, di antara semua cabang ilmu sosial, mungkin mempunyai status sosial yang paling marginal. Di antara semua ilmuwan sosial, antropolog rata-rata digaji paling rendah, sama dengan para "ahli marginalitas" lain di jurusan kajian perempuan, studi Afrika-Amerika, atau pusat kajian lesbian dan gay.

Antropologi sering dianggap sebagai disiplin yang "kurang ilmiah" sebab memakai metode berbicara langsung dengan masyarakat, dan memberi perhatian terhadap orang yang "tidak penting" di dunia ketiga atau kelompok pinggir dunia pertama. Status antropologi adalah cermin dari dekatnya cabang ilmu ini dengan mereka yang terpinggirkan akibat ketimpangan struktural yang terjadi pada masyarakat industri-kapitalis dengan aneka ragam masalah, seperti diskriminasi ras, ketaksetaraan gender, dan kemiskinan. Keakraban sang antropolog dengan kehidupan ghetto di perkotaan, pecandu minuman keras, penyalah guna narkoba, siasat hidup buruh, korban HIV, para migran, penghuni panti jompo, dan pengemis telantar menggeser kedudukan pengetahuan ini semakin ke "garis tepi".

Namun, di Indonesia, antropologi menempati posisi ganda. Meskipun antropologi dihargai sebagai ilmu yang berguna untuk "pencerahan", sebagian besar antropolog Indonesia melakoni hidup prihatin sebagai dosen atau pengajar dengan gaji yang serba pas- pasan dibandingkan dengan para ahli kedokteran atau ilmu politik-atau tentu saja politisi. Salah seorang teman dosen perguruan tinggi dengan tiga orang anak, ditambah tuntunan kredit rumah dan biaya SPP, mengakui dengan jujur bahwa jangankan mengajar, membaca buku kuliah saja tidak sempat karena sibuk mencari uang tambahan sebagai calo jual-beli mobil.

Dengan kesal dia mengeluh, "Karena masalah keuangan, beli buku anak- anak saya prioritaskan lebih dulu daripada beli publikasi baru." Antropolog-antropolog di dunia universitas juga menghadapi fasilitas minim dan ketiadaan perpustakaan yang memadai sebagai denyut jantung kehidupan universitas. Di sinilah salah satu dilema antropologi di Indonesia: punya posisi hegemonis karena memainkan peranan sentral dalam pembangunan sebagai peracik resep modernitas, tetapi dari sisi lain dianggap marginal karena bergumal dengan subkultur kehidupan mereka yang tak beruntung.

Dengan pendidikan dan harga diri yang begitu tinggi, banyak antropolog Indonesia sangat gampang ditarik dari kampus untuk mengabdi pada kapital. Begitu Pemerintah Indonesia berkeinginan menarik modal asing, antropolog menaruh minat pada jasa komersial. Mereka mengambil proyek penelitian yang disponsori oleh sektor swasta seperti perbankan, perusahan detergen, jaringan waralaba pramusaji, industri farmasi, maupun biro iklan yang ingin mengerti bagaimana menjual mi instan kepada suku-suku Papua yang lebih suka ketela dan sagu, atau bagaimana memasyarakatkan kondom, IUD, padi unggul, dan pupuk kimia.

Di Bali, antropologi juga bisa diuangkan lewat industri pariwisata. Kalau di zaman kolonial orang asing datang ke Bali untuk transaksi rempah-rempah dan budak, di zaman modern mereka datang membeli komoditas yang disebut kebudayaan dan para antropolog bisa berfungsi sebagai juragannya. Di Bali, untuk menyambut kedatangan sang pembawa devisa, berjamurlah sekolah pariwisata maupun perguruan tinggi yang menawarkan kurikulum "kebudayaan" yang dibidani oleh insan-insan akademis. Di sinilah terletak benang kusut diskursif antara pengetahuan, takhta, dan uang.

Penjajahan Teori

Keterkaitan antropologi di Indonesia dengan ideologi nasionalisme dan perjalanan kapitalisme global berpengaruh besar terhadap teori sosial yang berkembang di antara para ilmuwan lokal. Di Indonesia, dunia perguruan tinggi memang kental dengan iklim konservatisme, salah satu warisan yang terburuk dari rezim Orde Baru. Pembantaian 1965 menghapus ribuan pemikir kritis dari peta intelektual Indonesia, diikuti oleh program normalisasi kehidupan kampus yang bertujuan mensterilkan universitas dari ingar-bingar kehidupan politik.

Hubungan dunia akademik dan kekuasaan negara diresmikan lewat kebijakan bahwa semua dosen harus memunyai surat "bersih lingkungan" dan membuktikan kesetiaan mereka terhadap Pancasila dan P4. Kebanyakan posisi berkuasa di universitas-universitas di Indonesia masih ditempati oleh generasi pemikir yang bersedia berkompromi dengan syarat yang telah ditentukan.

Konservatisme teori juga diwarisi oleh rezim penjajahan. Sampai sekarang antropologi di Indonesia masih dipengaruhi oleh pemikiran kuno Belanda yang berusaha mencari struktur sosial dasar atau structural core di mana semua masyarakat Indonesia dibayangkan mempunyai persamaan dalil regularitas. Beberapa antropolog Indonesia saat ini masih sibuk mencari model klasifikasi dualisme, perputaran emas kawin dan persekutuan antarklan dan sistem kekerabatan yang "selesai" dan abadi daripada melihat perubahan sosial yang terjadi di depan mata mereka.

Orientasi teoretis yang lamban ini mempersulit antropologi melihat masalah genting yang dihadapi masyarakat sekarang. Seorang mahasiswa yang cukup cerdas pernah bertutur, bagaimana suatu hari dia dibentak oleh sang dosen ketika mengajukan proposal penelitian skripsinya tentang "politik ritual kekerasan 1965". Rancangan idenya ditolak mentah-mentah karena dianggap oleh bapak mahaguru tidak sesuai dengan bidang kajian antropologi. "Kekerasan itu urusan ilmu politik, bukan antropologi," kata sang pembimbing dengan singkat dan gamblang.

Sikap ini mungkin bisa dipahami sebagai internalisasi ketakutan: di negara yang begitu opresif, ilmuwan sosial dilarang turun ke lapangan untuk meneliti dan mencari dalang "ekonomi kekerasan." Namun, ini mungkin juga bisa dilihat sebagai operasi kekuasaan yang jauh lebih berbahaya daripada represi: semacam productive power, meminjam kata dari Foucault, yang bekerja lewat pemikiran orang.

Di Indonesia, kebudayaan dan kekerasan dibayangkan menempati dua ruang yang terpisah, yang tidak berhubungan sama sekali. Kebudayaan dilihat secara hierarkis sebagai sesuatu yang ada di "dunia atas" seperti di kerajaan, istana, dan departemen. Sedangkan kekerasan dianggap berada "di luar" atau di "dunia bawah," biasanya dilakukan oleh orang kebanyakan yang berkeliaran di pasar, kampong, dan jalan raya di daerah yang jauh dari pusat kebudayaan Jawa dan Bali, seperti Aceh, Papua, Poso, Ambon, dan Sampit. Potret kekerasan di Indonesia biasanya menggambarkan kekerasan "wong cilik" dari pembakaran pencuri, pembunuhan dukun santet, tawuran antarkampung, kerusuhan ulah para preman, pertengkaran etnis, sampai perselisihan agama dengan menyensasikan kekerasan sebagai sebuah gejala deformasi kebudayaan.

Dengan kesibukan antropolog mencari rumusan suatu tatanan, serta prinsip stabilitas suatu masyarakat, struktur sosial yang membuahkan ketidakadilan dan kekerasan sehari-hari masih bisa dibiarkan terbungkus rapi. Kalaupun disinggung, kerusuhan yang meletup dianggap sebagai sekadar "kelainan" yang bersifat sesaat, yang tidak berpengaruh terhadap model yang sedang dicari.

Di satu sisi, teori semacam ini merupakan satu bentuk "pengingkaran kemanusiaan" yang disebut oleh Fabian dengan istilah denial of coevalness. Di sisi lain, antropologi berkelit dengan "relativitas budaya" dengan argumentasi bahwa masing-masing kebudayaan memiliki logika internal sendiri. Inilah yang membuat kesan antropologi seolah-olah sekadar pengintip sosial yang sia-sia, seperti provokasinya Philippe Bourgois, seorang pakar "antropologi publik," yang menulis etnografi berjudul In Search of Respect dan menyebut antropologi cenderung menjadi "an upper class exercise of voyeurism."

Massa rakyat yang terjebak dalam kekerasan jarang tersuarakan oleh antropolog dibandingkan dengan suara para tokoh seperti kepala desa, ketua RT, ketua RW, kepala suku, atau kepala kepolisian. Orang-orang "lemah" dianggap kurang mampu mengartikulasikan apa yang menimpa mereka. Namun, seperti kebisuan seorang korban perkosaan, bukan mereka tidak mampu membicarakan apa yang telah dialami. Sebaliknya, antropologi kekurangan bahasa yang bisa mewakili kepedihan dan penderitaan orang.

Kecenderungan ini membuat antropologi seakan-akan pengetahuan yang berurusan dengan "kepala", tidak jauh beda dengan praktik di kalangan suku primitif yang berburu penggalan kepala manusia. Tanpa menciptakan praktik "mendengar" yang baru, ilmu sosial di Indonesia berisiko jadi semacam modern-day headhunting.

Sekarang di Indonesia memang ada manuver untuk meninggalkan apa yang disebut "aliran struktural-fungsional" menuju teori sosial yang lebih "modern" seperti pendekatan dekontrukstif dengan pembongkaran makna melalui tafsir hermenutis, post-modernisme yang memberi ruang pada pluralitas dan keterpecahan realitas, sampai pada apa yang disebut cultural studies yang membedah politik representasi, media massa, konsumtivisme, dan kelas sosial.

Sebagai praktik intelektual, cultural studies membedakan dirinya dengan arus "pemikiran utama", seperti kritik sastra, sejarah seni, atau antropologi melalui fokus terhadap teks yang diciptakan oleh kelompok pinggiran, seperti komik, seni rakyat, plesetan, musik alternatif, parodi, media alternatif, dan bentuk-bentuk ekspresi tandingan yang ada di luar jalur hegemonik. Sumber inspirasi berasal dari kritikus marxist Stuart Hall dari mazhab Birmingham School dan mencoba memberi suara pada perlawanan sehari-hari "kaum lemah" terhadap diskursus dominan.

Namun, usaha ini belum juga mampu keluar dari hubungan kekuasaan yang melilit antropologi di Indonesia untuk mengangkat suara mereka yang terbungkam. Di sini pemahaman seorang sosiolog pasca-marxis, Pierre Bourdieu, memang penting. Menurut Bourdieu, kekuasaan bekerja bukan hanya lewat kelas dalam arti hubungan yang tidak adil dengan means of production di dunia ekonomi, tetapi lewat produksi dan reproduksi "modal simbolis". 

Di Indonesia wacana kebudayaan dipakai untuk meminggirkan penciptaan budaya kaum lemah dan melihat perjuangan sehari-hari mereka sebagai sesuatu yang tidak punya nilai, sebagai cermin peradaban. Cultural studies bisa mencoba menyulap sistem penilaian tersebut dan menciptakan definisi baru "kebudayaan". Namun, menurut Bourdieu, kekuasaan juga berfungsi lewat habitus orang, praktik-praktik yang terbadankan yang mengandung trace of structural violence atau jejak kekerasan struktural yang melekat dalam hubungan sosial sehari-hari.

Kalau Bourdieu benar, tidak ada subyek yang bebas dari kekuasaan dan tidak ada ruang sosial yang steril dari power. Kalau begitu, untuk mengerti kekuasaan, tak cukup mengambil suara mereka yang terpinggir sebagai "suara alamiah perlawanan" yang murni dan tak terkorupsi. Teks yang diproduksi oleh mereka yang disebut massa marginal masih diciptakan oleh segelintir "brahmana" di antara ribuan massa paria. 

Dunia sosial berhierarki di antara para pengemis, pelacur, ekstapol, narapidana, pemadat, preman, dan buruh bukan hanya membuahkan solidaritas di antara mereka, tetapi juga saling hantam, saling jegal, bahkan saling bunuh karena struktur kehidupan yang membelenggunya.

Di sinilah penting menghidupkan antropologi sebagai ilmu pembebasan di Indonesia. Metodologi antropologi partisipasi-observasi yang mendekati masyarakat dengan memakai bahasa mereka, mendengar, dan melihat bagaimana mereka memaknai kehidupan sehari-hari dan melihat lebih akrab lagi struktur kekuasaan yang beroperasi dalam keseharian di antara mereka yang terpuruk. 

Daripada membaca "teks pinggiran" di kantor, dengan metode observasi-partisipasi si antropolog bisa meretakkan tembok tebal yang memisahkan dunia peneliti dan dunia yang diteliti untuk merasakan konflik, ketidakadilan, baku-tipu dan "ekonomi moral" yang meracuni dunia mereka. Hanya etnografi yang bisa mendeskripsikan "habitus" yang membelenggu kehidupan mereka yang tersisihkan.

Praktik cultural studies juga memunculkan sebuah bahaya baru: kalau di dunia Barat antropologi sering dikritik sebagai ilmu yang terpukau berat dengan kebudayaan lain yang eksotik, di Indonesia keterpukauan terbalik, memberi pemujaan yang berlebihan pada teoretikus impor pascakolonial sebagai ikon. Nama-nama empu kritikus keren seperti Baudrillard, Habermas, atau Derrida masuk dalam sebuah dunia ekonomi budaya pop, layaknya kegandrungan remaja ABG yang ngefans berat dengan grup rok alternatif yang menjadi idola mereka.

Untuk ilmuwan Indonesia, nama-nama teoretikus dan kutipan singkat mereka ditempelkan dalam teks seperti tempelan stiker nama pentolan para roker yang dipajang di helm, sepeda motor, mobil, dan pintu kamar kos. Mungkin ini sebuah taktik konpensasi dengan harapan-siapa tahu-kesaktiannya nanti bisa menular secara magis. Setidak-tidaknya ini membuat PD sang ilmuwan yang berasal dari negeri bekas jajahan menjadi terdongkrak, walaupun membuat wujud baru kolonialisasi, yang mengambil pengalaman orang marginal untuk membuat teks yang berwibawa daripada merealisasikan solidaritas yang nyata.

Mendiagnosis "Patologi Kekerasan"

Yang menjadi persoalan sekarang: bagaimana antropologi di Indonesia seharusnya memosisikan diri dalam menyikapi ketidakadilan? Apakah penelitian jalan terus dengan mengedarkan kuesioner yang terangkai indah tanpa kepekaan sosial pada perjuangan keseharian mereka yang tersisihkan? Menurut salah seorang dokter humanis, yang juga aktivis dan antropolog, Paul Farmer, yang dipertaruhkan oleh antropologi bukan hanya perdebatan akademis dengan adu kecanggihan teori, tetapi sebuah sikap pemihakan terhadap korban stuktural sebuah "patologi kekuasaan". Apakah antropologi tetap harus berpartisipasi dalam penyebaran virus opresi? Atau, bisakah antropolog di Indonesia memakai kemampuan mereka membangun komitmen baru serta mendiagnosis dan menyembuhkan patologi kekerasan?

Di era reformasi akhir-akhir ini budayawan berteriak lantang ketika seni etnik dilarang manggung, sistem kepercayaan yang dianut tak diakui, atau kurikulum tak bermuatan lokal, tetapi mereka tak terusik ketika masyarakat yang diteliti tak makan. Antropolog bekerja asyik mengumpulkan data untuk publikasi seru tentang ritus, kepercayaan, dan mitos lokal tanpa menghitung beberapa anak bangsa tidak bisa membaca sama sekali.

Haruskah ilmuwan sosial Indonesia hanya mementingkan tanggung jawab atas "karya besar" mereka sendiri, atau juga atas ekonomi moral di mana produksi intelektual terjadi? Antropologi berutang banyak dari kaum papa. Pengalaman yang didapat dari bergumul hidup dengan mereka yang terpinggirkan bisa menghasilkan karier, tetapi juga bisa menghasilkan senjata untuk menyerang mereka. Namun, antropologi bukan hanya sebagai pilihan profesi, tetapi juga "saksi" di mana tubuh korban kekerasan disiksa, disekap, dihancurkan, dibuang, diculik, bahkan dilenyapkan.

di Tulis Oleh: Degung Santikarma Pengamat Budaya, Tinggal di Denpasa


[Sumber: yang diambil Admin Blog Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh Silahkan Lihat Di News kompas]