Blong yang terbaik di kelasnya, Membahas tentang berita terkini lokal, nasional, dan global, keuangan, ekonomi, alkoin, crypto dan currency, blockchain, mobil, dan motor, olahraga, musik, film, pasar crypto, pasar saham, indonesia, dan eropa, ilmu sain, dan teknologi, dan lainnya…
Suriya-Aceh InfoAnakMeulaboh→Menelisik Jejak-Jejak Keterlibatan Pentagon Dalam Proyek-Proyek Biomiliter di Ukraina-»Sebagaimana dilansir Kantor Berita Antara pada 9 Maret 2022 lalu, 30 biomiliter Ukraina yang didanai oleh Pentagon AS, telah membuat sejumlah patogen berbahaya seperti pes, antraks, tularemia, kolera dan penyakit-penyakit mematikan lainnya. Sebagai laboratorium biomiliter yang didanai Pentagon atau kementerian pertahanan AS, nampaknya merupakan bagian integral dari program pembuatan senjata biologis.
Beberapa indikasi sepertinya semakin diperkuat dengan keterlibatan salah seorang pemain kunci dari Pentagon yaitu Robert Pope, Direktur Kementerian Pertahanan AS Bidang Kerjasama Program Pengurangan Ancaman/ US Departemen’s Cooperative Threat Reduction Program yang berada di bawah naungan The Defense Reduction Agency atau kerap populer dengan sebutan the Nunn-Lugar Program.
Adapun peran yang dimainkan oleh Robert Pope adalah menyediakan para ahli dari AS yang punya akses terhadap fasilitas-fasilitas bahan-bahan biologis/bio-materials maupun dalam membangun tempat-tempat penyimpanan mikro-organisme/micro-organism.
Yang lebih mencurigakan lagi, seperti dilansir Kantor Berita Antara, sejumlah patogen berbahaya tersebut di atas telah dimusnahkan oleh otoritas politik dan keamanan di Kiev. Sepertinya indikasi adanya “tangan-tangan AS” di balik keberadaan laboratorium biomiliter Ukraina nampaknya bukan isapan jempol belaka.
Seturut dengan temuan 30 Lab biomiliter Ukaina, Pemerintah Cina, dalam hal ini kementerian luar negeri Cina, telah mendesak AS untuk segera merilis informasi secara lebih rinci laboratorium-laboratorium biologisnya di Ukraina. Termasuk jenis virus apa yang disimpan maupun penelitian-penelitian apa saja yang sudah dilakukan.
Desakan pihak Cina kiranya memang sangat penting, apalagi berkembang informasi bahwa bahan-bahan biologis seperti sejumlah patogen berbahaya sebagaimana disebut di atas, pada Februari 2022 lalu telah dipindahkan dari tempat penyimpanan pada awal Februari 2022 lalu. Lantas kemudian dibawa oleh pesawat militer ke AS melalui Odessa.
Selain itu, kantor Defense Threat Reduction atau Badan Pengurangan Ancaman Pertahanan (DTRA) yang berkantor di Ukraina, nampaknya juga perlu sorotan khusus. Lantaran Kepala DTRA yang berkantor Ukaina, Joanna Wintrall, merupakan pemain utama dalam mengkoordinasikan proyek biomiliter maupun seleksi para personil yang dilibatkan dalam proyek biomiliter yang beroperasi di Ukraina.
Adalah Joanna Wintrall yang juga telah memberikan arahan-arahan strategis pelaksanaan beberapa proyek biomiliter Ukraina seperti UP-4, UP-6, dan UP-8. Selain itu menurut dokumen, AS telah melakukan eksperimen di Ukraina dengan virus dalam kerangka proyek P-382, P-444 dan P-568 yang juga berada di bawah pengawasan kepala Badan Pengurangan Ancaman Pertahanan ( DTRA) di kedutaan AS di Kyiv, Joanna Wintrall.
Dengan begitu sejumlah patogen berbahaya selain antraks, juga meliputi apa yang disebut Crimean-Congo hemorrhagic fewer dan leptospirosis.
Yang juga perlu dicermati adalah keterlibatan sebuah perusahaan bernama the Black and Veatch cabang Ukraina, berikut peran dari kepala cabangnya, Lance Lippencott, sebagai contact person dengan pihak kementerian kesehatan dan pertahanan Ukraina.
Perusahaan itu terindikasi telah bekerja untuk kepentingan Pentagon sejak 2008 dalam Proyek Penelitian tentang potensi bahan-bahan biologis, termasuk terlibat dalam Proyek UP-1 untuk mengkaji infeksi Rickettsia di sebelah Barat Laut Ukraina. Rickettsia adalah genus bakteri gram-negatif. Rickettsia bersifat parasit intraselular obligat, dan dapat menyebabkan penyakit Rickettsia.
Riketsia atau tipus adalah infeksi bakteri yang disebarkan melalui kutu dan tungau. Penyakit ini sering disamakan dengan tipes (tifus atau demam tifoid). Masuk akal jika kemudian muncul dugaan bahwa Proyek UP-1 yang diarahkan untuk mengkaji infeksi Rickettsia, pada kenyataannya ditujukan untuk meneliti bahan-bahan patogen berbahaya, khususnya yang bisa membuat penyakit-penyakit berbahaya yang timbul akibat infeksi.
Untuk mengamankan Proyek UP-2 seraya memegang kendali kontrol terkait proyek-proyek biomiliter lainnya, Black and Veatch membuat sistem monitoring terhadap Tularemia dan Antraks pada beberapa fasilitas biomiliter Ukraina.
Sehingga kantor DTRA kemudian menggunakan the Black and Veatch untuk membuat sistem pengawasan dan pengamanan aktivitas-aktivitas laboratorium-laboratorium biomiliter Ukraina dalam meneliti bahan-bahan patogen berbahaya yang bisa menimbulkan penyakit-penyakit epidemic akibat infeksi.
Sekadar informasi, tularemia adalah penyakit menular yang langka yang dapat menginfeksi hewan dan manusia. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Francisella tularensis dan sering menyerang kulit, mata, kelenjar getah bening dan paru-paru.
Black and Veatch Company nampaknya bukan satu-satunya yang bekerja untuk Pentagon. Metabiota, juga merupakan kontraktor yang bekerja untuk Pentagon. David Mustra dari DTRA yang berwenang dalam Pengawasan dan Monitoring proyek-proyek biomiliter di Ukraina, selain mengkoordinasikan kerjasama DTRA dan Metabiota, juga berwenang sebagai koordinator proyek-proyek biomiliter di Ukraina maupun Eropa Timur.
Nampaknya Metabiota sangat diandalkan oleh Pentagon maupun DTRA karena reputasinya dalam penelitian ihwal masa depan wabah penyakit yang diakibatkan infeksi. Menariknya lagi, perwakilan Metabiota di Ukraina adalah Mary Gutierez, yang menjabat sebagai wakil presiden Metabiota, dan salah seorang kepercayaan Presiden AS Joe Biden. Adapun Scott Thornton, bertanggungjawab terkait kinerja laboratorium maupun pelatihan para staf serta karyawan laboratorium.
Yang lebih mengerikan lagi, Thornton juga diberi wewenang untuk memberikan nasehat kepada para staf lokal dalam menangani bahan-bahan patogen yang masuk kategori sangat berbahaya dari proyek-proyek biomiliter yang berada dalam pengawasan DTRA. Hal ini tentu saja merupakan fakta yang tak terbantahkan adanya keterlibatan Pentagon maupun para kontraktor kementerian pertahanan AS baik dalam perencanaan maupun pelaksanaan proyek-proyek yang berada dalam kendali dan pengawasan Pentagon di Ukraina.
di Tulis Oleh: Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)
Ruang NFT terus menerima berita yang bercita-cita tinggi. Jumlah koleksi yang dicetak meningkat dan NFT terus mencapai rekor harga jual baru. Artikel ini berusaha menganalisis peningkatan jumlah koleksi dibandingkan dengan sedikit yang mampu mempertahankan nilainya, menggunakan koleksi Moonbirds yang baru diluncurkan sebagai contoh.
Pada pertengahan 2021, aktivitas di seluruh ruang NFT mulai meningkat secara drastis. Jumlah koleksi NFT yang dicetak mulai tumbuh secara eksponensial dari 12,3 ribu pada Januari 2021 menjadi 72,8 ribu pada April 2022.
Indikator mengukur jumlah koleksi on-chain, saat ini menjadi 83.6k. Yang lebih mengesankan adalah jumlah koleksi yang dicetak setiap hari, rata-rata 505 koleksi per hari dalam 7 hari terakhir.
Pertumbuhan dan permintaan yang tinggi untuk koleksi NFT memicu peningkatan pasokan koleksi. Metrik utama seperti total volume yang diperdagangkan mencapai tertinggi $55,38 miliar/Rp.804.400.038.000,00. Selain itu, beberapa penjualan unik untuk potongan mencapai puluhan juta dolar, meskipun hanya 4,7% dari total alamat Ethereum yang saat ini memegang NFT.
Meskipun ruang NFT terlihat menjanjikan dan terus mencapai level tertinggi baru, kenyataan yang menyedihkan adalah banyak dari koleksi yang dicetak ini tidak menghasilkan nilai yang diharapkan oleh penerbitnya. Analisis yang lebih rinci dari semua koleksi mengungkapkan bahwa sangat sedikit yang berhasil melampaui dan mempertahankan ambang batas yang diharapkan ini.
Lebih jauh lagi, saat ini sebagian besar nilai terkonsentrasi pada beberapa koleksi daripada tersebar di seluruh ruang. Indikator Koleksi Trending di bawah ini membantu untuk menemukan yang dengan permintaan tinggi dan aktivitas perdagangan.
Indikator ini menunjukkan koleksi yang paling banyak diperdagangkan selama 24 jam terakhir. Meskipun beberapa yang paling terkenal cenderung muncul di sini, yang lain yang mendapatkan momentum dan sering diperdagangkan juga muncul. Dari sudut pandang nilai, keterlibatan perdagangan yang tinggi dari koleksi menandakan permintaan yang terus berlanjut untuk potongan koleksi. Oleh karena itu, volume tinggi cenderung menjadi indikasi nilai yang diperoleh dari koleksi yang akan datang.
Saat ini di antara "Koleksi Tren" teratas adalah Moonbirds, diluncurkan pada 16 April. Koleksi tersebut berhasil mencapai volume harian yang belum pernah terjadi sebelumnya: $280 juta/Rp.4.067.028.000,00 dicapai antara perdagangan primer dan sekunder, hanya dua hari setelah peluncurannya. Menempatkannya di antara koleksi NFT peringkat teratas yang pernah diluncurkan.
Selain itu, penerbitnya, PROOF Collective memberikan kekuatan komunitas koleksi. Anggota memiliki kemampuan untuk mengklaim 2 Moonbirds secara gratis, ditambah kesempatan untuk mengikuti undian untuk kesempatan membeli satu di 2.5 Eth. Hal ini mendorong koleksi baru tersebut ke urutan ke-5 untuk “Koleksi NFT Paling Berharga” berdasarkan kapitalisasi pasar, melampaui proyek lama dan terkenal lainnya seperti Doodles dan Meebits.
Indikator ini menunjukkan 20 koleksi paling berharga, diurutkan berdasarkan kapitalisasi pasarnya. Pemilih kerangka waktu memungkinkan Anda melihat variasi metrik selama jangka waktu yang dipilih. Dalam kasus Moonbirds, tidak ada perubahan yang ditampilkan, karena diluncurkan kurang dari 30 hari yang lalu.
Sebagai outlier dari ratusan koleksi yang diluncurkan setiap hari, Moonbirds telah berhasil mencapai kapitalisasi pasar sebesar $799,27 juta dalam waktu kurang dari 30 hari. Pencetak utama dapat memperoleh untung puluhan ribu dolar untuk barang mereka, termasuk alamat ini yang memenangkan 50+ keping dengan membuat 400+ akun untuk memainkan undian Moonbirds.
Ruang NFT menunjukkan ruang untuk melanjutkan pertumbuhan. Baru-baru ini Meta, perusahaan induk Instagram, mengumumkan bahwa NFT akan datang ke platform. Selain Coinbase, salah satu pertukaran crypto terbesar meluncurkan versi beta dari pasar NFT mereka sendiri. Meskipun ruang tersebut terus menerima kabar baik, penting untuk mengetahui faktanya - kesuksesan mengesankan dari koleksi Moonbirds mewakili outlier untuk 500 plus koleksi yang dicetak setiap hari. Ruang NFT membutuhkan pengetahuan yang luas, pelacakan berkelanjutan, dan metrik utama untuk membuat model yang akurat dengan harga koleksi yang sesuai.
Suriya-Aceh InfoAnakMeulaboh→Arti Perbedaan-»Bila saya bercermin, maka saya berkeyakinan bahwa orang yang benar-benar menyerupai saya adalah orang yang berada di balik cermin tersebut. Orang itu memiliki apa yang saya miliki. Mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki.
Lebih dari itu warna dan bentuknya disetiap bagian tubuh saya sama dengan yang dia miliki. Bahkan ketika saya memakai pakaian, bentuk dan warna pakaian yang saya kenakan juga sama dengan yang dia kenakan.
Tetapi saya tidak hanya hidup di dalam sebuah kamar. Saya juga tidak hanya berinteraksi dengan bayangan saya di dalam cermin. Karena begitu keluar, akan saya temukan banyak orang-orang yang jauh berbeda dengan saya. Mulai dari jenis kelamin, usia, bentuk tubuh dan anggotanya, tinggi dan berat badan, warna kulit, warna dan bentuk ranmbut, pekerjaan, pendidikan, latar belakang budaya, pola pikir, karakter, serta entah apa lagi perbedaan yang ada. Rasanya saya tidak bisa menyebutkan semua perbedaan tersebut.
Namun demikian, di antara perbedaan yang ada, tentu saja ada kesamaan yang juga dimiliki saya dengan orang-orang di sekitar saya, juga dengan orang-orang yang berinteraksi dengan saya. Sebagai contoh, di ruangan kerja saya, ada kesamaan di antara orang-orangnya, kesamaan dalam hal tujuan yang akan diraih bersama, kesamaan bahwa kami bekerja di bawah departemen yang sama, kesamaan bahwa kami pernah mengikuti sebuah diklat yang sama, dan kesamaan-kesamaan lainnya.
Lantas apa ada yang salah dengan perbedaan tersebut? Bukankah Allah jua yang menciptakan manusia itu bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, lengkap dengan aneka perbedaannya?
Mungkin Anda pernah melihat sebuah pemandangan di gunung, di danau, di pantai atau tempat wisata lainnya, baik secara langsung mauapun melalui layar kaca. Anda bisa menyaksikan bahwa keindahan itu terjadi karena sekian banyak flora dan fauna yang ada. Sekian jenis flora dan fauna itu, dengan berbagai jenis, bentuk dan ukuran, membentuk suatu ekosistem yang indah. Kalau saja, setiap jenis flora dan fauna itu dipisahkan pada tempat yang berbeda-beda, mungkin saja nilai keindahannya akan berkurang, atau bahkan tak akan lagi menyimpan keindahan.
Pelangi. Fenomena alam yang akan dapat kita lihat tatkala hujan mulai reda. Indah bukan? Saya berpikir bahwa keindahan pelangi itu karena adanya warna-warna yang berbeda yang mau berdampingan satu sama lain. Bila saja hanya ada satu warna yang ada, tidak akan indah, dan namanya tentu saja bukan pelangi lagi. Entah apa namanya, saya pun tidak tahu.
Dari sekian banyak perbedaan tentu saja akan ada persamaan. Sayangnya kita sering terlalu membesar-besarkan pebedaan yang kecil. Mungkin karena sekarang sudah ada alat yang canggih, seperti mikroskop yang mampu melihat benda-benda renik terlihat besar, maka kita juga ikut-ikutan latah. Lantas kita melihat perbedaan yang kecil itu dengan sebuah miksroskop, terlihatlah perbedaan itu berukuran raksasa, dan pada akhirnya perbedaan itu terus-menerus dipersoalkan dengan mengesampingkan berbagai kesamaan yang memang sudah jelas di depan mata.
Perbedaan itu merupakan suatu keniscayaan
Dari 'sananya' ia dilahirkan
Semuanya tergantung cara kita memberikan pandangan
Bila ia sebagai suatu masalah, maka ia takan pernah terpecahkan
Bila ia sebagai suatu anugerah, maka niscaya ia hadir dalam keindahan
Suriya-Aceh InfoAnakMeulaboh→Sebuah Wacana tentang Identitas Kebersamaan Bahasa dan Dinamika Masyarakat-»Etnik atau ethnic groups secara umum dipahami sebagai masyarakat suku, atau masyarakat yang secara tradisi memiliki persamaan identitas. Wujud identitas itu misalnya bahasa, tempat tinggal, pola kekerabatan, pola perkawinan, religi, arsitektur rumah, pola tempat tinggal, dan lain-lain. Mengenai bahasa, maka makalah ini berusaha mengkaji fungsi bahasa baik secara konseptual maupun secara praksis.
Bahasa sebagai salah satu identitas, di mana bahasa bisa menjadi identitas kolektif etnik, tetapi bahasa bisa juga menjadi identitas yang lebih luas dari etnik yaitu bangsa. Ciri yang menonjol dari identitas bangsa Indonesia tercermin dari adanya bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia.
Walaupun dalam perkembangannya secara historis bahasa Indonesia yang baru muncul pada tahun 1928 dalam peristiwa Sumpah Pemuda kemudian mendapat beragam pengaruh kosa kata dari berbagai bahasa, akan tetapi bahasa Indonesia memiliki akar tradisi etnik yaitu bahasa Melayu.
Fenomena ini berbeda misalnya dengan Philipina yang memiliki 2 bahasa nasional yaitu bahasa Tagalog dan bahasa Inggris (Amerika), atau India yang bahasa nasionalnya adalah bahasa Inggris, atau Negara Aljazair yang bahasa nasionalnya bahasa Prancis, atau Singapura yang bahasa nasionalnya bahasa Inggris dan meninggalkan bahasa nenek moyangnya yaitu bahasa Melayu.
Akar budaya kaum kolonial yang tercermin di dalam bahasanya itulah kemudian yang menjiwai negara-negara tersebut di muka yang telah mengadopsi bahasa bekas negara penjajahnya untuk dijadikan bahasa persatuan sebagai perekat etnik.
Bahasa Indonesia tentu saja memiliki karakter khusus karena dia berakar dari tradisi etnik lokal yang kemudian dimodifikasi dan diadopsi menjadi bahasa persatuan yang berfungsi sebagai perekat keberagaman etnik. Bahasa Indonesia bersifat fleksibel dan ini tampak dalam berbagai dialek misalnya bahasa Indonesia dialek Betawi, dialek Sulawesi Selatan, dialek Palembang, dialek Papua dll, dan menurut Ferdinand de Saussure (1996: 80) hal ini adalah aspek parole dari bahasa.
Bahasa Indonesia baku (ejaan yang disempurnakan / EYD) dalam konteks Saussurian disebut sebagai aspek langue. Langue-lah yang menjadi titik tekan kajian ilmu linguistik, langue merupakan fakta sosial yang artinya dia menjadi milik kolektif sistem dan berada di atas fakta individu. Parole adalah fakta individu. Sosialisasi Bahasa Indonesia baku secara massal dan berkesinambungan misalnya dilakukan oleh TVRI atau TV-TVswasta yang menggunakan bahasa baku dalam siarannya. Untuk itu maka makalah ini akan mencoba mengkaji kasus pemanfaatan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar pada siaran televisi-televisi yang siarannya berjangkauan nasional.
Fungsi Bahasa
Lebih dahulu marilah kita berdiskusi tentang fungsi atau peranan. Di dalam ilmu sosial-budaya apabila mengkaji fenomena sosial dengan perspektif fungsi maka mau tidak mau akan menyandarkan pijakan paradigma pada pendekatan fungsionalisme.
"Fungsionalisme sebagai perspektif teoritik dalam antropologi bertumpu pada analogi dengan organisme/makhluk hidup. Artinya, sistem sosial-budaya dianalogikan sebagai sistem organisme, yang bagian-bagiannya atau unsur-unsurnya tidak hanya saling berhubungan melainkan juga memberikan peranan bagi pemeliharaan, stabilitas, integrasi, dan kelestarian hidup organisme itu. Dengan analogi seperti itu maka semua sistem budaya memiliki syarat-syarat fungsional, atau sistem budaya memiliki kebutuhan sosial yang harus dipenuhi agar sistem sosial-budaya dapat bertahan hidup. Apabila kebutuhan itu tidak terpenuhi maka sistem sosial-budaya itu akan mengalami disintegrasi dan mati, atau dia akan berubah menjadi sistem lain tetapi beda jenis" (David Kaplan & Albert Manners, 2000: 77-78).
Pendekatan fungsional ini dikembangkan oleh dua orang antropolog Inggris yaitu Bronislaw Malinowski dan Radcliffe Brown (Adam Kuper, 1996; 40). Dengan mengacu pada pendekatan fungsional itu maka stabilitas dan integrasi sistem sosial-budaya sangat tergantung pada fungsi dari unsur-unsur yang menjadi bagian dari sistem.
Kalau suatu sistem organisme/makhluk hidup itu unsur-unsurnya adalah kaki, mata, telinga, tangan, mulut, atau hidung maka sistem sosial-budaya yang bernama negara (sebagai contoh) unsur-unsurnya akan terdiri dari pemerintah, birokrasi, aparat keamanan, wilayah, bahasa, mata uang, atau penduduk. Semua unsur tersebut tidak hanya saling berhubungan akan tetapi juga saling menyumbangkan fungsinya masing-masing agar integrasi sistem tetap terjaga. Apabila salah satu unsur mengalami disfungsi atau tidak mampu menyumbangkan peran sesuai kapasitasnya, maka akibatnya akan dirasakan oleh unsur-unsur yang lain. Pada akhirnya integrasi sistem akan goncang.
Salah satu kelemahan dari pendekatan fungsionalisme ini adalah pada asumsinya bahwa kondisi sistem sosial-budaya itu selalu dalam keadaan stabil dan terintegrasi. Maka pendekatan fungsional tidak mampu menjelaskan adanya perubahan sistem sosial budaya secara menyeluruh. Hal ini wajar karena semua pendekatan teoritik selalu memiliki kelebihan dan kekuarangan. Kita kembali pada sistem sosial-budaya yang bernama negara, yaitu negara Indonesia, yang unsur-unsurnya akan terdiri dari pemerintah, bangsa, wilayah, bahasa, atau penduduk. Dalam hal ini kita ambil salah satu unsur negara yaitu bahasa.
Bahasa Indonesia berfungsi sebagai bahasa resmi kenegaraan, bahasa persatuan, sekaligus menjadi identitas bangsa Indonesia. Apabila Bahasa Indonesia sebagai unsur dari sistem negara pada suatu saat tidak mampu memberikan fungsinya sebagai bahasa resmi kenegaraan, bahasa persatuan, atau identitas bangsa maka akan terbayangkan adanya kegoncangan sistem sosial-budaya. Dalam peristiwa kenegaraan pasti akan terjadi kekacauan karena tidak ada bahasa kenegaraan.
Semua orang akan membenarkan bahasa yang mereka gunakan sesuai etnisnya walau masing-masing berbeda bahasa. Tidak akan ada bahasa persatuan yang menjadi bahasa pengantar bagi masyarakat Indonesia yang memiliki latar belakang etnis dan bahasa beraneka macam. Tidak akan ada bahasa yang dijadikan identitas kebersamaan bahwa semua unsur itu menjadi bagian dari sistem yang bernama negara Indonesia. Inilah yang disebut sebagai disintegrasi atau distabilitas sistem negara.
Sebagai identitas bangsa atau negara maka bahasa Indonesia menjadi ciri atau tanda yang membedakan dengan bangsa lain atau negara lain. Identitas ini bisa saja menjadi salah satu faktor kebanggaan pada sebuah bangsa, yang kadang-kadang diiringi dengan sikap merendahkan atau menganggap aneh identitas bangsa lain. Identitas ini tidak stabil atau baku akan tetapi selalu berproses lewat wacana untuk berkomunikasi, sehingga identitas selalu terjaga, dinamis, berubah, atau malah musnah.
Berawal dari merosotnya atau musnahnya kebanggaan akan identitas yang berupa Bahasa Indonesia maka bisa jadi ini adalah awal dari disintegrasi negara Indonesia. Tidak ada lagi alat komunikasi sesama warga Indonesia yang menjadi kebanggaan bersama, masing-masing merasa bangga dengan bahasa daerahnya atau bangga dengan bahasa manca negara sehingga bahasa Indonesia akan ditinggalkan.
Bahasa Indonesia dan Siaran Televisi Nasional
Apabila Bahasa Indonesia masih tetap diperlukan sebagai salah satu identitas kebersamaan bagi warga negara Indonesia maupun bahasa persatuan yang bisa menjaga integrasi negara Indonesia, maka tentu saja harus ada sosialisasi dan pewarisan (transmission).
Beberapa cara bisa dilakukan untuk hal itu, dan salah satu cara yang diungkapkan di sini adalah peranan stasiun televisi bersiaran nasional baik milik pemerintah (TVRI) maupun milik swasta (RCTI, SCTV, TPI, ANTV, Indosiar, dll). Tidak semua materi siaran televisi itu selalu menggunakan bahasa Indonesia baku, yang oleh Ferdinand de Saussure (1996:360-361) disebut sebagai aspek langue dari bahasa. Bahasa dalam siaran televisi ini menarik untuk dikaji karena dia menjadi bagian dari dinamika masyarakat di Indonesia.
Teknologi canggih bernama televisi yang berbasis pada media satelit palapa ini mulai muncul di Indonesia pada tahun 1960-an. Fenomena sosial-budaya yang begitu banyak dan begitu luas kemudian "bisa dilipat-lipat" untuk dihadirkan di dalam ruang-ruang yang sempit sekalipun seperti ruang keluarga di dalam rumah. Teknologi televisi-lah beserta hard ware-nya yang bisa menjadi salah satu media transformasi dari dunia yang luas kemudian bisa hadir di tengah-tengah ruang keluarga.
"Dunia yang begitu luas dan besar kini bisa 'dilipat-lipat' dalam bentuk televisi, surat kabar, majalah, internet, dan radio sehingga bisa hadir di tengah-tengah keluarga dan di ruang yang sempit sekalipun" (Yasraf Amir Piliang, 1999).
TVRI selama puluhan tahun menjadi pemain tunggal stasiun penyiaran televisi di Indonesia yang telah menjangkau berbagai pelosok Indonesia. Baru pada paruh ke-dua tahun 1980-an mulai muncul stasiun televisi swasta di Jakarta dengan siaran lokal yaitu RCTI. Setelah itu kemudian muncul stasiun TPI, SCTV, Indoesiar dan lain-lain yang jangkauan siarannya berskala nasional seperti halnya TVRI.
Walaupun begitu dalam hal misi, tentu saja TVRI lebih terlihat sebagai stasiun televisi yang lebih mengedepankan aspek non-komersial dengan meniadakan siaran iklan, yang kemudian disusul dengan membatasi siaran iklan. Sumber operasional TVRI berasal dari dana pemerintah dan hak siar iklan dari televisi-televisi swasta. Slogan "TVRI menjalin persatuan dan kesatuan" bukanlah sekedar jargon yang tanpa arti.
Di balik slogan ini terkandung semangat untuk menjadi agen atau media perekat bagi berbagai etnis di Indonesia agar tetap dalam kondisi terintegrasi, tidak terpecah-belah. Slogan TVRI itu hampir mirip dengan slogan "sekali di udara tetap di udara" milik Radio Republik Indonesia (RRI) yang menyimpan semangat untuk terus mengudara melakukan siaran walau segenting apa pun keadaan negara. Kalau masyarakat Indonesia dalam kondisi selalu terpisahkan oleh ruang dan waktu dengan saudara-saudaranya sesama warga Indonesia yang lain, maka siaran berita televisi berusaha menjadi media pemersatu ke dalam "waktu yang sama", dan seolah-olah para pemirsa televisi berada di dalam "satu ruang yang sama".
Ada kelebihan pada siaran TV jika dibanding dengan siaran radio. Siaran radio hanya menyuguhkan aspek audio sehingga masyarakat hanya bisa mendengar tanpa bisa melihat wajah dan ekspresi penyiar radio. Siaran televisi selain bersifat audio juga ada aspek visual, sehingga masyarakat bisa mendengar sekaligus bisa melihat wajah dan ekspresi sang penyiar televisi.
Dari hal ini muncul kesan seolah-olah antara penyiar televisi dengan masyarakat pemirsa berada di dalam suatu "ruang dan waktu" yang sama. Pada hal-hal tertentu TVRI bisa dianggap sebagai sebagai salah satu simbol pemersatu bagi masyarakat Indonesia melalui siaran-siarannya yang ditujukan kepada seluruh masyarakat Indonesia, atau masyarakat Indonesia di negara tetangga yang masih bisa menangkap siaran TVRI.
Mengenai apa itu simbol maka bisa kita rujuk pendapat dari William A. Folley (1997: 26); "A simbol is a sign in which the relationship between its form and meaning is stricly conventional, neither due to physical similarity or contextual constraints". Jadi sebuah simbol adalah sesuatu yang akan memiliki makna apabila sesuatu itu dihubungkan dengan hal yang lain.
Pemberian makna ini tentu saja mengacu kepada konteks sosial-budaya masyarakat si pemilik simbol. Mungkin saja sesuatu itu oleh sekelompok masyarakat dianggap sebagai simbol yang penuh makna, akan tetapi bisa saja objek yang sama itu oleh masyarakat yang lain dianggap tidak memiliki makna apa-apa atau hampa makna.
TVRI bisa jadi dianggap sebagai salah satu simbol pemersatu bagi masyarakat Indonesia karena dia mampu menyebarkan informasi dengan bahasa Indonesia ke seluruh pelosok negara. Sedangkan bahasa Indonesia adalah bahasa pengantar bagi masyarakat Indonesia yang berbeda etnis maupun bahasa ibu, sebagai bahasa resmi kenegaraan termasuk bahasa dokumen atau arsip maupun buku-buku pelajaran di sekolah, dan bahasa resmi bagi penyebaran informasi di media massa.
TVRI memiliki makna mendalam karena dia dihubungkan dengan keberadaan bahasa Indonesia maupun keberadaan bangsa Indonesia. TVRI menjadi simbol jembatan bagi masyarakat Indonesia yang secara geografis maupun kultural adalah masyarakat majemuk.
Media televisi, terutama dalam siaran berita misalnya TVRI (siaran Dunia dalam Berita, Berita Malam), RCTI (siaran Nuansa Pagi, Buletin Siang), Indosiar (siaran Fokus), SCTV (siaran Liputan 6 pagi, Liputan 6 Siang) dan lain-lain, kalau diamati maka pasti para penyiarnya menggunakan bahasa Indonesia baku. Akan tetapi dalam berbagai siaran yang lain misalnya berbagai siaran iklan, pertunjukan musik, siaran kuis, atau siaran kesenian maka akan terlihat bahasa pop atau "bahasa gaul" dengan berbagai varian menjadi bahasa pengantar.
Di sini bisa dilihat adanya aspek langue (pada bahasa berita) sekaligus adanya aspek parole (pada berbagai siaran yang lain) dalam siaran televisi di Indonesia. Yang kemudian menjadi pertanyaan adalah mengapa dalam siaran berita menggunakan bahasa Indonesia baku, sedangkan dalam siaran yang lain menggunakan bahasa pop ? Tentu tidak akan mudah untuk menjawabnya secara rasional, sistematis, dan jernih.
Fenomena bahasa berita di media televisi ini menarik untuk dikaji karena pada tingkatan tertentu bahasa berita bisa meng-hegemoni sebagian masyarakat pemirsa televisi sehingga mereka harus mengikutinya (melihat, mendengar, membenarkan dan memperbincangkan). Hegemoni sendiri sering diartikan sebagai kekuasaan yang dicapai melalui kesepakatan dan bukan paksaan. Daya jangkau hegemoni sangat dalam, mencakup pikiran dan perasaan masyarakat, beroperasi di wilayah publik serta wilayah domestik.
Hegemoni sering dibedakan dengan dominasi, di mana dominasi diartikan sebagai kekuasaan yang dicapai melalui paksaan dan kekerasan, daya jangkau kekuasaan dominasi hanya sampai permukaan. Hegemoni secara halus menuntun orang untuk bersikap atau berperilaku sesuai dengan pemegang kekuasaan hegemoni bahkan kadang-kadang orang tidak merasa terpaksa atau melakukan sesuatu dengan suka rela. Sedangkan kekuasaan dominasi itu dilakukan secara paksaan, orang sanggup bersikap atau berperilaku sesuai dengan pemegang kekuasaan dominasi karena daya resistensi orang tersebut kalah kuat dari daya paksa pemegang dominasi.
Bahasa siaran berita televisi beroperasi pada wilayah hegemoni, akan tetapi pada saat tertentu juga beroperasi pada wilayah dominasi. Contoh dari dominasi ini adalah saat sang pembaca berita memerintahkan kepada pemirsa, "Jangan kemana-mana dulu karena kami akan hadir lagi setelah jeda iklan berikut ini" atau "Tetaplah bersama saluran kami". Kalimat-kalimat imperatif dan "tembak langsung" ini sering kita jumpai pada siaran berita di televisi. Di dalam membacakan berita maupun format penghadiran berita maka juga bisa dilihat adanya aspek seni. Sentuhan seni ini juga menjadi daya tarik khalayak untuk menyaksikan siaran berita televisi.
Dari sini terlihat, seni telah dimanfaatkan oleh para pembaca berita pada siaran televisi untuk mengkomunikasikan berbagai hal yang berhubungan dengan informasi kepada khalayak pemirsa televisi. Mengenai makna seni, maka dapat diperhatikan pendapat dari Taufik Abdullah, "…pada tahap awal seni adalah suatu pilihan dari berbagai cara untuk melukiskan dan mengkomunikasikan sesuatu. Tentu saja setiap bentuk seni sesungguhnya adalah perkembangan dari cara-cara yang biasa dilakukan dalam hidup manusia--sajak tentu berawal dari ucapan, dan tarian tentu berawal dari gerakan" (Analisis Kebudayaan, tahun I; No.2 1980/1981: 11). Keinginan para pembaca berita di televisi untuk mendapat perhatian dan tawaran ketertarikan menyaksikan berita, dikomunikasikan kepada masyarakat pemirsa melalui seni membaca berita. Seni menjadi media yang dimanfaatkan untuk menghadirkan pesona siaran berita.
Integrasi Sosial
Dengan mengutip pandangan dari de Saussure, Ernst Cassirer (1987: 186) mengatakan bahwa, "de Saussure menarik garis tajam antara la langue dengan la parole. Bahasa (la langue) bersifat universal, sedangkan proses tuturan (la parole) sebagai proses temporal dan bersifat individual. Setiap individu memiliki gaya bahasa sendiri. Akan tetapi dalam analisis ilmiah tentang bahasa, kita mengabaikan perbedaan-perbedaan individual itu, kita menelaah fakta sosial yang mengikuti kaidah-kaidah umum yaitu kaidah-kaidah yang tidak tergantung kepada si penutur individual. Tanpa kaidah-kaidah umum seperti itu maka bahasa tidak akan dapat menunaikan tugas utamanya; bahasa tidak dapat dipakai sebagai media komunikasi di antara anggota-anggota masyarakatnya".
Dari kutipan ini terlihat bahwa langue yang memiliki kaidah-kaidah umum adalah fakta sosial, yang posisinya lebih tinggi dari fakta individu.
Fakta sosial ini beroperasinya adalah lintas individu dan bersandar pada kaidah-kaidah umum bahasa, agar bahasa bisa menjadi media komunikasi sosial. Langue yang memiliki sifat sebagai media komunikasi sosial bahkan pada tataran tertentu mampu menjadi media integrasi sosial lewat siaran berita televisi. Bahkan pada fenomena kehidupan bernegara langue juga bisa bersifat politis.
Seperti yang ditulis oleh Eriyanto, "Pada tahun 1974 pemerintah melalui Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA II) juga mencakup sasaran khusus untuk pengembangan bahasa, sastra, dan kebudayaan. Pada tahun 1974 dibentuk proyek Pengembangan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah. Pada tahun 1984 proyek ini dibagi menjadi dua bagian yaitu Proyek Pengembangan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Proyek Pengembangan Bahasa dan Sastra Daerah.
Salah satu perhatian utama dari kebijakan bahasa oleh pemerintah adalah mengadakan pembakuan bahasa Indonesia dan menerapkan serta menghimbau 'pemakaian bahasa yang baik dan benar'. Perundangan kebijakan ini dituangkan di dalam Ketetapan MPR No.II/MPR/1983 yang menyatakan bahwa bahasa harus dibina dan dikembangkan serta digunakan secara baik dan benar" (Eriyanto, 2000; 74-75).
Langkah pemerintah itu bisa jadi adalah usaha untuk menjaga integrasi bangsa Indonesia lewat kebijakan bahasa Indonesia. Kebijakan ini tentu berdampak terhadap berbagai segi kehidupan masyarakat karena bahasa Indonesia yang dibakukan kemudian menjadi referensi tentang penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Penulisan dalam berbagai surat keputusan, surat- menyurat resmi, arsip-arsip birokrasi, acara protokoler, bahasa pengantar di lembaga-lembaga pendidikan, siaran-siaran resmi di televisi atau di radio adalah realitas sosial yang secara langsung akan mengikuti kebijakan bahasa oleh pemerintah. Kebijakan pemerintah ini bukannya berjalan mulus tanpa hambatan.
Sebagian kaum akademisi secara kritis dan tajam mengoreksi kebijakan bahasa dari pemerintah ini. Contoh dari mereka ini adalah Virginia Matheson Hooker dan Ariel Heryanto, yang mengatakan bahwa penggunaan bahasa yang baik dan benar adalah salah satu bentuk manipulasi pemerintah untuk mengukuhkan kekuasaan terhadap rakyat.
Bahasa yang baik dan benar bisa dianggap sebagai simbol adanya pusat kebenaran yang harus memiliki kewibawaan, di mana semua kebijakannya harus ditaati oleh masyarakat. Bahasa yang baik dan benar adalah yang digunakan oleh pemerintah, sedangkan yang digunakan oleh masyarakat adalah sebaliknya, sehingga masyarakat harus mengikuti pusat kebenaran yaitu pemerintah.
Pembakuan bahasa, oleh kalangan pengritik juga dianggap sebagai pengingkaran terhadap dinamika sosial-masyarakat sebab bahasa adalah bagian dari sebuah dinamika sosial-masyarakat yang sifatnya natural (alamiah). Dari hal ini kita bisa melihat bahwa fenomena bahasa Indonesia juga tidak bisa dipisahkan dari nuansa politik dalam kehidupan bernegara.
Bahasa Indonesia yang diposisikan sebagai bahasa persatuan bagi masyarakat Indonesia secara otomatis telah menciptakan fenomena bahasa berdampingan dengan fenomena politik, dalam hal ini adalah politik kebahasaan. Mengenai bahasa yang identik dengan dinamika sosial-masyarakat ini juga bisa kita telah dari pandangannya de Saussure (1996; 361) bahwa "Di antara etnis dan langue terjadi hubungan timbal balik. Hubungan sosial cenderung menciptakan adanya masyarakat bahasa dan kemungkinan mencetak ciri-ciri tertentu pada langue yang dipakai.
Sebaliknya, masyarakat bahasalah yang dalam batas-batas tertentu juga bisa membentuk satuan etnis. Pada umumnya satuan etnis cukup menjelaskan tentang masyarakat bahasa". Dari kutipan tersebut, terlihat bahwa bahasa adalah ciri yang menonjol dan mudah diamati dari suatu masyarakat.
Bahasa tertentu identik dengan masyarakat tertentu, misalnya bahasa Bali identik dengan etnis Bali atau bahasa Bugis akan identik dengan etnis Bugis. Jadi bahasa mampu menciptakan etnis. Begitu juga sebaliknya ternyata bahasa itu menjadi ada karena diciptakan oleh suatu etnis. Misalnya bahasa Indonesia itu menjadi ada karena diciptakan oleh masyarakat Indonesia, walau fondasinya adalah bahasa Melayu akan tetapi dua bahasa itu kemudian memiliki perbedaan-perbedaan.
Fenomena inilah yang biasa disebut sebagai bahasa dan dinamika masyarakat. Bisa juga dikatakan bahwa bahasa sebenarnya adalah dinamika masyarakat itu sendiri. Karena adanya suatu dinamika masyarakat di Indonesia, maka bahasa Indonesia yang digunakan pada masa perjuangan tahun 1945-1949 memiliki karakter heroik, sedangkan pada masa pemerintahan Orde Baru bahasa Indonesia karakternya sarat dengan eufemisme atau penghalusan kata untuk menyembunyikan makna yang sesungguhnya.
Lain lagi karakter bahasa Indonesia pada masa puncak reformasi tahun 1998 hingga 1999 yang syarat dengan hujatan, caci-maki, dan pembongkaran aib mantan penguasa. Fenomena kebahasaan pada tahun 1998-1999 itu bisa disaksikan pada berbagai liputan berita (bukan pembacaan siaran berita--pen) stasiun-stasiun televisi tentang peristiwa yang terjadi di lapangan. Begitu cepatnya berita-berita tentang kerusuhan sebagai ekses proses peralihan kekuasaan di Jakarta dan beberapa kota di Jawa kemudian menyebar ke seluruh pelosok Indonesia.
Pada sisi kecepatan penyampaian berita sehingga menyebar kepada masyarakat Indonesia, juga bisa dilihat bahwa siaran berita televisi bisa menjadi media pembangun integrasi sosial karena masyarakat luas tidak tersekat atau terpisahkan oleh ruang dan waktu. E. Kesimpulan Pada bagian ini dengan memperhatikan uraian di muka dapatlah ditarik sebuah benang merah yang berupa kesimpulan. Dengan mengambil kasus siaran berita yang menggunakan bahasa Indonesia baku pada stasiun televisi milik pemerintah yaitu TVRI maupun stasiun televisi swasta seperti RCTI, SCTV, Indonesiar, TPI, ANTV, Metro TV dan lain-lain maka tulisan ini telah berusaha mengkaji fenomena bahasa dan dinamika masyarakat di Indonesia.
Bahasa Indonesia baku yang digunakan dalam siaran berita berbagai stasiun televisi tersebut telah menjadi salah satu media integrasi sosial bangsa Indonesia. Siaran berita dengan bahasa Indonesia baku ini merupakan aspek langue dari kajian tentang siaran televisi. Langue beroperasi pada wilayah sosial dan bukannya pada wilayah individual, sehingga langue bisa disebut sebagai fakta sosial. Bahasa dan dinamika masyarakat adalah fenomena yang bersifat natural, akan tetapi bisa juga berubah menjadi fenomena politis karena adanya campur tangan dari penguasa.
Bahasa kemudian dijadikan sebagai alat untuk mengontrol masyarakat dan lebih jauh lagi adalah untuk mengokohkan kekuasaan atau malah untuk mewujudkan integrasi sosial. Integrasi sosial bisa juga terjadi karena adanya identitas kebersamaan yang bisa menjadi pembeda dengan entitas sosial yang lain, yang kadang-kadang diikuti oleh kebanggaan terhadap entitas sendiri dan tidak jarang mengganggap remeh entitas sosial yang lain. Bahasa adalah salah satu simbol identitas kebersamaan yang bisa berfungsi untuk mewujudkan integrasi sosial.
Daftar Pustaka:
Abdullah, Taufik. "Analisis Kebudayaan, tahun I; No.2 1980/1981: 11".
Ahimsa-Putra, Heddy Shri (1997). "Claude Levi-Strauss: Butir-Butir Pemikiran Antropologi" dalam Levi-Strauss Empu Antropologi Struktural. Yogyakarta: LKiS.
Cassirer, Ernst (1987). "An Essay on Man" diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Alois A. Nugroho. Jakarta: PT Gramedia.
de Saussure, Ferdinand (1996). "Cours de Linguistique Generale" diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Rahayu S. Hidayat dan disunting oleh Harimurti Kridalaksana. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Eriyanto (2000). "Kekuasaan Otoriter dari Gerakan Penindasan menuju Politik Hegemoni, Studi atas Pidato-Pidato Politik Soeharto". Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Foley, William A. (1997). "Anthropological Linguistics An Introduction". Malden USA: Balckwell Publishers Inc.
Kaplan, David & Albert A. Manners (2000). "The Theory of Culture" diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Landung Simatupang. Yogyakarta: Pustakan Pelajar.
Kuper, Adam (1996). "Anthropology and Anthropologists" diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Achmad Fedyani Saifuddin. Jakarta: Bhratara Karya Aksara.
Levi-Strauss, Claude (1997). "Mitos, Dukun & Sihir" diterjemahkan dari karya-karya penting Claude Levi-Strauss ke dalam Bahasa Indonesia oleh Agus Cremers dan De Santo Johanes. Yogyakarta: Kanisius.
Piliang, Yasraf Amir (1999). "Hiper-Realitas Kebudayaan". Yogyakarta: LKiS.
di Tulis Oleh: Nugroho Trisnu Brata S Sos., M.Hum.
Salah satu manfaat utama pers yang bebas dalam sistem demokrasi sering dinyatakan dengan kewajiban untuk menyediakan informasi pada masyarakat mengenai kinerja pemerintah.
Tetapi, sukar ditemukan alasan yang mendasari pers sebagai "anjing penjaga" kinerja pemerintah. Istilah tersebut mengesankan bahwa pers telah menjadi perwakilan dari rakyat untuk 'menjaga' dan 'memerhatikan' kinerja pemerintah. Dengan asumsi itu, pemerintah terkesan selalu salah, sementara pers selalu benar. Pers pun memandang bahwa institusinya berdedikasi tinggi apabila sukses memperlihatkan 'kegagalan' pemerintah. Dengan senang hati, pers memublikasikan informasi yang bisa meningkatkan oplah, mengisi komersial slot tanpa khawatir bahwa yang dipublikasikan dapat berdampak buruk pada masyarakat. Kenyataannya, pers pada umumnya adalah institusi swasta yang berorientasi pada laba.
Pers itu bebas, termasuk untuk berpihak. Contohnya, sebuah media massa dapat mendukung semua kebijakan pemerintah atau mungkin menentang kebijakan lainnya. Atau bisa saja bersikap mendua terhadap suatu kebijakan, kadang bersikap pro dan kadang bersikap kontra. Sebuah media massa bisa menentukan diri sebagai lawan pemerintah, atau sebagai 'pengawal' kebijakan pemerintah. Sebuah media massa dapat mengritisi dan menentukan bagaimana suatu kebijakan menjadi kesalahan. Media massa dapat bertindak sebagai "anjing penjaga" atau "senjata" untuk mendukung atau sebaliknya menyerang pemerintah.
Suara pemerintah bisa menjadi bahan perbincangan, perdebatan dan interpretasi oleh figur-figur media. Pernyataan pemerintah segera ditanggapi dalam tajuk rencana yang menginterpretasikan apa yang 'sebenarnya' dikatakan oleh pejabat tersebut dan apa yang 'sebenarnya' dimaksudkan. Sayangnya, kadang interpretasi tersebut cenderung premature dan instant. Analisis instan segera menjadi bias instan. Distorsi kerap terjadi hingga menyesatkan masyarakat. Hal-hal demikian berdampak negatif pada pemberitaan mengenai pemerintah.
Benarkah pemerintah membutuhkan pers sebagai kanal informasi untuk masyarakat? Benarkah pemerintah tanpa pers benar-benar tidak berdaya untuk menyosialisasikan kebijakan dan pelayanan publik? Benarkah hubungan yang terjalin antara media massa swasta dan pemerintah layak dijalankan meskipun ada kemungkinan besar terjadi pengemasan berita yang bias hingga mengarah pada runtuhnya kepercayaan masyarakat?
Kenyataannya, banyak jurnalis bergantung pada aparat pemerintah untuk pemberitaan. Faktanya, semua informasi yang diberitakan oleh media massa tentang pemerintah didapat dari (bahkan divalidasi oleh) pejabat pemerintah, termasuk mengenai event-event nasional, kecuali bila mereka mendapat informasi dari sumber berita otoritas berwenang. Secara tradisional, jurnalis tergantung serta harus bekerja sama dangan sumber resmi pemerintah.
Pemerintah memberikan respons dengan menyediakan informasi yang padat dan seimbang, undangan untuk berpartisipasi pada berbagai kegiatan, bahkan menyediakan 'tunjangan' demi menghindari publikasi negatif. Ungkapan "WTS" (Wartawan Tanpa Surat Kabar), Wartawan CNN (Wartawan Cuma Nanya-nanya) pun tetap populer di kalangan jurnalis yang sering mencari berita di instansi-instansi pemerintah.
Agar masyarakat menerima informasi yang jernih dan berimbang, pemerintah harus lebih melibatkan diri dalam dunia media massa.
Peran Humas
Pemerintah saat ini telah memiliki kapasitas untuk mengungkapkan informasi secara langsung. Kembalinya Departemen Penerangan dengan kemasan baru, kehadiran beragam situs resmi instansi pemerintah yang telah menghabiskan anggaran miliaran rupiah, kehadiran puluhan media massa internal pemerintah serta beragam jurnal menunjukkan kemampuan pemerintah menyediakan informasi yang dibutuhkan masyarakat. Dhus, pemerintah sebaiknya mulai mengurangi peran instansi swasta dalam pemberian informasi.
Hampir seluruh instansi pemerintah memiliki kantor humas, divisi yang melakukan manajemen media massa, pembangun citra, jembatan pemerintah dengan masyarakat, serta penghubung pemerintah dengan pers. Kantor humas telah melakukan publikasi internal, memberdayakan kantor-kantor wilayah serta unit pelayanan teknis agar berperan sebagai outlet informasi. Pejabat humas pemerintah sebenarnya memiliki kemampuan bersaing dengan editor institusi swasta, khususnya dalam uji kompetensi. Tetapi, citra pegawai negeri sipil selama ini selalu dianggap korup dan terlalu santai. Kesan negatif pun telanjur menancap di benak masyarakat kita. Citra warisan yang telah berumur puluhan tahun yang semestinya diubah.
Sebelum bola reformasi bergulir, pemerintah memiliki imej sebagai manipulator informasi. Bahkan setelah reformasi, imej ini tidak banyak berubah. Pemerintah seolah dianggap 'musuh' yang harus dilawan. Dengan bergulirnya reformasi, pemerintah menransformasikan diri agar menjadi pemerintahan yang bersih dan benar.
Masyarakat telah memahami hak-haknya yang sekaligus juga menjadi kewajiban pemerintah. Dalam bidang pelayanan publik, masyarakat menuntut sistem pemerintahan yang bersih dan transparan. Masyarakat berhak atas akses informasi, sebaliknya pemerintah wajib menjamin akses tersebut terjaga dan terkontrol agar tidak menimbulkan ekses negatif akibat eksploitasi pemberitaan yang bombastis. Karena, pada akhirnya rakyat juga yang dirugikan.
Wajah aparat birokrasi kita yang memang carut-marut sudah saatnya diperhatikan melalui perbaikan gaji sekaligus perbaikan kinerja dengan terus meningkatkan citra pegawai negeri dan membangun sistem yang transparan. Tentu implementasinya tidaklah mudah karena tradisi yang tercipta selama puluhan tahun.
Seiring dengan perubahan menuju tatanan baru demokrasi, reformasi segala bidang termasuk di dalamnya reformasi performa pegawai negeri, sistem kehumasan serta sistem hubungan dengan media massa, maka memberdayakan divisi humas untuk mengubah citra aparat birokrasi agar lebih tanggap menyikapi fenomena masyarakat, sangat penting. Perkembangan teknologi informasi menuntut divisi humas dituntut lebih responsif terhadap keluhan masyarakat.
Bahwa institusi pemerintah tidaklah seburuk yang disangka dan pegawai negeri adalah juga rakyat Indonesia. Seyogianya kantor-kantor humas memang harus diberdayakan untuk menjaga nama baik aparat pemerintah serta menjalin kerja sama dengan pers agar tercipta pemberitaan yang berimbang, bermanfaat, dan bertanggung jawab.
di Tulis Oleh: Fatma Puspita Sari, pegawai negeri sipil, alumnus Jurusan Ilmu Komunikasi Massa,
Fakultas Sospol Universitas Sebelas Maret Solo.
"A boundary is not that at which something stops but, as the Greeks recognized, the boundary is that from which something begins its presencing"
"Batas bukanlah di mana sesuatu berhenti tetapi, seperti yang diakui orang Yunani, batasnya adalah dari mana sesuatu memulai presencing-nya" (Martin Heidegger).
Suriya-Aceh InfoAnakMeulaboh→Virtual Cosmology-»Fenomena pasar global dan liputan perang (invasi) Amerika Serikat dan sekutunya dengan (ke) Irak kian menegaskan datangnya fajar baru era kehidupan manusia, era virtual cosmology (kosmologi virtual).
Betapa tidak? Wawasan tradisional kita tentang kosmos, baik yang tercipta melalui lensa nilai-nilai dan keyakinan tradisi agama monoteistik, kerangka pikir Yunani-abad pertengahan-maupun lensa modernitas-aufklarung-digeser lensa fenomenologis-intensional-virtual.
Dalam era pasar global, kosmos tidak lagi kita lihat pertama-tama sebagai ciptaan Tuhan yang teratur, bukan pula struktur teratur (cosmos) dari berbagai entitas (tanah, air, api, tumbuhan, binatang, cakrawala, manusia, dll), atau sebagai ens yang merupakan emanasi dari the ultimate ens (atau perwujudan dari Substance), tetapi merupakan sebuah pasar, komunitas penjual dan pembeli dan aneka variabel yang menyokong relasi jual-beli itu (produksi-distribusi-advertasi), yang eksistensinya dicipta dan ditopang jaringan informasi dan komunikasi virtual.
DI era pasar global, kosmos terbangun dari aneka fenomena nyata keseharian dan interaksi manusia yang dibidik melalui lensa "dagang" dan disuguhkan secara virtual melalui internet, TV, dan media massa sejenis. Karena yang dibidik merupakan fenomena aktual keseharian, maka kosmologi baru ini bernuansa fenomenologis; karena disuguhkan melalui media virtual maka kosmologi ini bersifat virtual; dan karena pemegang lensa-pembidik-penyuguh fenomena itu punya agenda tertentu maka kosmologi baru ini juga bersifat intensional (fenomenologis-virtual-intensional).
Hal senada bisa disimak saat kita menyaksikan suguhan perang (invasi) AS dan sekutunya ke Irak. Liputan perang di Irak, yang dilakukan media dengan memotret kisah-kisah tragis-bengis dan kepahlawanan tiap hari, yang disuguhkan secara virtual, dan dibidik-disuguhkan dengan intensi (agenda) tertentu, juga menandakan geneology (kosmogoni) dan definisi baru dari kosmos. Persaingan tayangan antara media barat dan media timur mengisyaratkan sifat intensionalitas setiap bidikan dan suguhan.
Ke mana kamera dibidikkan, tergantung mereka yang mempunyai dan membawa kamera. Memang tayangan-tayangan virtual perang di Irak mencipta gugusan kosmos yang lebih plural. Gugusan kosmos itu bisa merupakan horizon yang mencipta AS dan sekutunya sebagai pahlawan demokrasi dan kebebasan yang memerangi bentuk totalitarianisme a la Saddam Hussein, atau bisa juga menciptakan horizon yang melukiskan AS dan sekutunya sebagai wajah neokolonialisme yang berhadapan dengan Saddam Hussein sebagai pahlawan pembela kedaulatan sebuah negara.
Biarpun plural sosok kosmologi yang terbentuk, tayangan perang Irak menorehkan gambaran-gambaran virtual di dinding-dinding imaji dan kesadaran manusia, yang pada gilirannya menancapkan patok-patok demarkasi atau horizon atau kosmologi seseorang, yang akhirnya membatasi ruang imajinasi.
Karena itu tepat yang dikatakan filsof fenomenologis, Martin Heidegger, "a boundary is not that at which something stops but, as the Greeks recognized, the boundary is that from which something begins its presencing."
Kosmos tidak lagi dibatasi bentangan spasial yang mengakhiri atau menjadi batas kita bergerak, tetapi dibatasi atau dipigura horizon-horizon yang tercipta dari aneka suguhan virtual yang mengepung kita, yang dibidik dan disuguhkan dengan agenda tertentu. Kemampuan kita menakar siapa AS atau Irak, terbatasi perspektif kita yang terbentuk dari imaji-imaji virtual itu.
MENGINGAT kosmologi selalu dicipta berdasar perspektif atau lensa tradisi tertentu, maka ia tidak pernah netral. Lensa atau perspektif itu selalu intensional. Karena itu pemahaman akan kosmogoni, akan bagaimana kosmos tercipta (geneologi kosmos), dan defenisi kosmologis yang diproduksi, serta ciri-ciri khas "lensa" yang menciptanya, akan membantu kita untuk mampu mengambil jarak atas "intensionalitas" lensa itu dan membuat kita mampu mentransendensi diri dan imajinasi kita dari kelopak bangunan kosmos tertentu.
Merunut sejenak ke belakang, kita akan menemukan kembali beberapa ciri khas lensa pembidik dan penyuguh realitas yang menggugus menjadi bangunan kosmos: era mitologis yang lebih ditandai pemanfaatan peran imajinasi dalam mencipta kosmos; era tradisi agama, yang menggabungkan imajinasi dan rasionalitas yang dilandasi keyakinan (faith); era modern, yang ditandai pemanfaatkan peran rasionalitas dan materialisme; dan era "postmodern" yang ditandai ciri-ciri fenomenologis dan virtualitas, atau pemanfaatan kemampuan perception dalam menancapkan image-image virtual dari fenomen-fenomena keseharian.
Kosmogoni (geneologi tentang kosmos) mencipta dan menentukan macam kosmologi, sedangkan macam kosmologi menentukan bentuk antropologi, yakni bagaimana manusia memahami dirinya, menempatkan dirinya dalam kosmos, dan meletakkan dasar-dasar prinsip sosial dalam berelasi dengan orang lain.
Kosmologi, yang dibangun berdasar fenomena-fenomena keseharian, yang dibidik dan disuguhkan secara virtual dengan intensionalitas tertentu, yang akhirnya mengandalkan peran kehidupan mental untuk menancapkan jangkar-jangkar imajinasi-persepsi, dengan demikian, membutuhkan perumusan kembali filsafat antropologi yang bisa memberi dasar-dasar etis bagi relasi sosial.
Dalam tataran lebih konkret, membiarkan diri ignoran terhadap kosmogoni dan kosmologi modern, yang berciri fenomenologis-virtual-intensional, akan membuat kita sekadar menjadi "bidak-bidak catur" yang berkutat dalam jaringan-jaringan mekanis aksi-reaksi yang dicipta oleh media virtual. Kapasitas kita sebagai subjek dan agen dari tindakan pun tereduksi ke tingkat tertentu sehingga kita sekadar sebuah unsur/emblem dari jaringan/lalu lintas aksi-reaksi yang rumit dan kompleks.
Karena subjek tereduksi sebagai unsur atau sekadar bagian sebuah sistem atau jaringan tindakan, maka kerangka moralitas yang menjadi dasar penilaian tindakan, yang mengandaikan adanya subjek yang menentukan dan menguasai tindakannya, menjadi kabur dan tidak punya dasar. Dan kita tidak pernah mampu mentransendensi diri dari kelopak dan kepungan kosmologi yang tercipta dari image-image virtual itu. Kita tidak akan pernah menjadi subjek!
di Tulis Oleh: Robertus Wijanarko Rohaniwan, mahasiswa S-3 Filsafat DePaul University, Chicago
Suriya-Aceh InfoAnakMeulaboh→Arkeologi Konflik Sosial di Indonesia-»Kehidupan bangsa Indonesia dewasa ini tengah menghadapi ancaman serius berkaitan dengan mengerasnya konflik-konflik dalam masyarakat, baik yang bersifat vertikal maupun horizontal. Konflik-konflik itu pada dasarnya merupakan produk dari sistem kekuasaan Orde Baru yang militeristik, sentralistik, dominatif, dan hegemonik. Sistem tersebut telah menumpas kemerdekaan masyarakat untuk mengaktualisasikan dirinya dalam wilayah sosial, ekonomi, politik, maupun kultural.
Kemajemukan bangsa yang seharusnya dapat kondusif bagi pengembangan demokrasi ditenggelamkan oleh ideologi harmoni sosial yang serba semu, yang tidak lain adalah ideologi keseragaman. Bagi negara kala itu, kemajemukan dianggap sebagai potensi yang dapat mengganggu stabilitas politik. Karena itu negara perlu menyeragamkan setiap elemen kemajemukan dalam masyarakat sesuai dengan karsanya, tanpa harus merasa telah mengingkari prinsip dasar hidup bersama dalam kepelbagaian. Dengan segala kekuasaan yang ada padanya negara tidak segan-segan untuk menggunakan cara-cara koersif agar masyarakat tunduk pada ideologi negara yang maunya serba seragam, serba tunggal.
Perlakuan negara yang demikian itu kemudian diapresiasi dan diinternalisasi oleh masyarakat dalam kesadaran sosial politiknya. Pada gilirannya kesadaran yang bias state itu mengarahkan sikap dan perilaku sosial masyarakat kepada hal-hal yang bersifat diskriminatif, kekerasan, dan dehumanisasi.
Hal itu dapat kita saksikan dari kecenderungan xenophobia dalam masyarakat ketika berhadapan dengan elemen-elemen pluralitas bangsa. Penerimaan mereka terhadap pluralitas kurang lebih sama dan sebangun dengan penerimaan negara atas fakta sosiologis-kultural itu. Karena itu, subyektivitas masyarakat kian menonjol dan pada gilirannya menafikan kelompok lain yang dalam alam pikirnya diyakini "berbeda". Dari sinilah konflik-konflik sosial politik memperoleh legitimasi rasionalnya. Tentu saja untuk hal ini kita patut meletakkan negara sebagai faktor dominan yang telah membentuk pola pikir dan kesadaran antidemokrasi di kalangan masyarakat.
Ketika negara mengalami defisit otoritas, kesadaran bias state masyarakat semakin menonjol dalam pelbagai pola perilaku sosial dan politik. Munculnya reformasi telah menyediakan ruang yang lebih lebar bagi artikulasi pendapat dan kepentingan masyarakat pada umumnya. Masalahnya, artikulasi pendapat dan kepentingan itu masih belum terlepas dari kesadaran bias state yang mengimplikasikan dehumanisasi. Itulah mengapa kemudian muncul pelbagai bentuk tragedi kemanusiaan yang amat memilukan seperti kita saksikan dewasa ini di Aceh, Ambon, Sambas, Papua, dan beberapa daerah lain. Ironisnya lagi, ternyata ada the powerful invisible hand yang turut bermain dalam menciptakan tragedi kemanusiaan itu.
JADI, reformasi yang tengah kita laksanakan sekarang ini harus mampu membongkar aspek struktural dan kultural yang kedua-duanya saling mempengaruhi kehidupan masyarakat. Kita tidak dapat semata-mata bertumpu kepada aspek struktural atau sistem kekuasaan yang ada, melainkan harus pula melakukan dislearn atas wacana dan konstruksi pemikiran masyarakat. Di sini kita sebenarnya berada dalam area dominasi dan hegemoni negara seperti yang dibeberkan oleh Karl Marx dan Antonio Gramsci.
Repotnya, apa yang terjadi di Indonesia adalah reformasi, dan bukan revolusi sosial. Gerakan reformasi, karena sifatnya yang moderat, cenderung berkompromi dengan anasir-anasir lama yang pro-status quo. Ini yang disebut Samuel P Huntington sebagai konsekuensi reformasi. Sementara revolusi, karena sifatnya yang radikal, bersikap tegas dalam menghadapi rezim kekuasaan yang lama dan anasir-anasir pro-status quo. Revolusi Bolshevik 1917 di bekas negara Uni Soviet merupakan contoh dari ketegasan sikap para pemimpin gerakan revolusi terhadap anasir kekuatan lama.
Dalam era pandang revolusioner, struktur kekuasaan harus dibalik sedemikian rupa sehingga diujudkan struktur kekuasaan yang benar-benar baru. Itulah mengapa kita rasakan perjalanan reformasi bangsa ini terasa menggemaskan karena lambatnya. Seringkali kita memang tidak begitu sabar untuk menjadi seorang demokrat, namun untuk menjadi seorang revolusioner sejati kita pun acap tidak punya nyali.
Kenyataan bahwa yang terjadi sekarang ini adalah reformasi menuntut segenap elemen dalam masyarakat untuk mereposisi gerakannya agar lebih kondusif bagi akselerasi reformasi. Artinya, kita tidak dapat lagi menggunakan wacana dan metode gerakan sebagaimana dilakukan pada masa kekuasaan Orde Baru. Gerakan sosial apa pun dalam masyarakat harus mulai menyediakan alternatif-alternatif yang lebih konkret kepada para pengambil keputusan.
Mengapa demikian? Karena kekuasaan negara hari ini, meskipun struktur dan sistemnya masih Orde Baru, tetapi di dalamnya mulai berlangsung dinamika yang lebih baik ke arah demokratisasi. Namun demikian ada dua soal yang harus secara terus-menerus dipertegas. Pertama, political will dan konsistensi pemerintah baru untuk melaksanakan agenda reformasi. Kedua, kesediaan masyarakat untuk bekerja sama dengan pemerintah dalam mempercepat jalannya agenda reformasi.
Dalam konteks pengembangan kehidupan bangsa yang humanis, plural dan demokratis, baik pemerintah maupun masyarakat bertanggung jawab untuk membongkar struktur dan kultur dalam masyarakat yang masih diskriminatif. Kita tidak boleh lagi menyerahkan segala urusan kepada pemerintah sebagaimana yang sudah-sudah. Karena dengan begitu kita sebagai warga negara akan semakin kehilangan peran strategis, sementara pemerintah akan semakin dominan. Inilah momentum yang tepat bagi segenap warga negara Indonesia untuk berpartisipasi semaksimal mungkin dalam mengarahkan dan mengendalikan proses transisi bangsa dan negara ini menuju demokrasi yang sejati, atau minimal demokrasi yang stabil (stable democracy).