Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh→ Mereka Ini Pribumi Antek Penjajah! Part-2 Tamat-» Selain mendatangkan 150.000 wajib militer dari Belanda, Belanda juga merekrut sekitar 65.000 pribumi dari bekas jajahannya.
Di antaranya sekitar 5.000 dari Maluku. Selebihnya dari berbagai etnis di wilayah bekas jajahan belanda. Kebanyakan adalah mereka, yang sebelum agresi militer Jepang tahun 1942, sudah menjadi tentara KNIL.
Beberapa mantan perwira pertama dan serdadu KNIL menyatakan bergabung dengan Republik Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia 17.8.1945, namun sebagian terbesar termasuk para perwira menengahnya memilih untuk tetap mendukung belanda.
Di buku-buku mengenai perjuangan mempertahankan kemerdekaan antara tahun 1945 – 1950 sering ditulis mengenai adanya pengkhianatan yang dilakukan oleh peribumi untuk memberikan informasi ke pihak belanda. Beberapa pengkhianatan berakibat sangat fatal untuk puluhan ribu jiwa.
Eksekusi di tempat yang dilakukan oleh Westerling dan anak buahnya di Sulawesi Selatan (setelah pemekaran, sebagian kini termasuk Provinsi Sulawesi barat) terhadap rakyat pendukung Republik Indonesia, dilakukan berdasarkan informasi dari penduduk setempat yang menjadi mata-mata belanda.
Sesuai daftar nama yang diberikan, maka orang-orang tersebut ditembak di tempat. Tragisnya, setelah eksekusi para pendukung Republik Indonesia, para informan tersebut juga ditembak mati di tempat.
Hal ini juga terjadi a.l. di desa Galung Lombok, dekat Majene, Sulawesi Barat. Pada 1 Februari 1947 pasukan elitWesterling Depot Speciaale Troepen (DST) di bawah komando Letnan Vermeulen mengumpulkan ribuan penduduk dari Kabupaten Majene dan Kabupaten Polewali Mandar untuk menyaksikan eksekusi terhadap pendukung Republik Indonesia.
Berdasarkan daftar nama yang diberikan oleh para informan, tahap awal 29 orang ditembak satu-persatu. Kemudian gelombang kedua, secara acak ditembak lebih dari 200 orang.
Kemudian karena ada laporan bahwa pejuang Indonesia membunuh tiga orang prajurit belanda yang akan memperkosa seorang wanita, Vermeulen memerintahkan untuk menembak ke arah kerumunan massa. Hanya dalam waktu beberapa jam, keseluruhan lebih dari 700 orang ditembak mati di tempat, termasuk para informan pribumi. Di antara yang tertembak mati ada seorang wanita hamil dan anak-anak.
Demikian juga yang terjadi di desa Rawagede, dekat Karawang pada 9 Desember 1947, satu hari setelah dimulainya perundingan perdamaian di atas Kapal Renville. Pada waktu itu tentara belanda terus memburu Kapten Lukas Kustaryo dan anak-buahnya. Berdasarkan informasi dari mata-matanya, tentara belanda mendapat informasi, bahwa Kapten Lukas berada di desa Rawagede. Pada pagi buta desa tersebut dikepung dan dimulai menyisir rumah penduduk satu-persatu. Namun tidak ada seorangpun anggota TNI.
Karena penduduk setempat tidak mau memberitahu keberadaan Kapten Lukas dan pasukan TNI, maka komandan pasukan belanda, Mayor Aflons Wijnen memerintah kan anak buahnya untuk membunuh semua laki-laki di atas usia 15 tahun. Namu ternyata di antara 431 penduduk laki-laki yang dibunuh, juga ada seorang bocah berusia 12 tahun. Sebagian yang ditembak di tepi sungai di musim hujan, langsung hanyut ke laut.
Karena tidak ada satupun penduduk laki-laki, maka para janda wanita dan anak-anak terpaksa menguburkan mayat-mayat penduduk laki-laki. Hari itu ada seorang wanita yang harus menguburkan ayah, suami dan dua putranya. Ini semua ulah dari pribumi yang menjadi mata-mata belanda.
Peristiwa Madiun September 1948 adalah rancangan belanda, dalam mempersiapkan agresi militernya yang terbesar terhadap Republik Indonesia pada 19 Desember 1948. Yang sangat berperan di sini adalah “van der Plas Connection” yang dibentuk Januari 1942.
Untuk menumpas pemberontakan PKI di Madiun, TNI mengerahkan seluruh pasukan, baik dari Divisi I Jawa Timur, termasuk Brigade Mobil Polisi, pasukan Divisi II dan Divisi III Jawa tengah, serta pasukan Divisi Siliwangi, yang akibat persetujuan Renville harus keluar dari jawa Barat. Hal ini mengakibatkan, bahwa di Ibukota Yogyakarta tidak ada satu batalyon pun.
Di tengah kekosongan pasukan di Yogyakarta, pada 19 Desember 1948 belanda mekancarkan agresi militernya secara besar-besaran terhadap seluruh wilayah Republik Indonesia. Pada waktu itu sedang berlangsung perundingan antara Indonesia dengan belanda yang difasilitasi oleh PBB, dan komisi PBB dipimpin oleh orang Amerika.
Serangan terhadap Ibukota Yogyakarta dimulai dengan menduduki lapangan terbang Maguwo. Di pagi hari pukul 06.45, bersamaan dengan pendaratan tentara belanda di Maguwo, Wakil Tinggi Mahkota Belanda (HoogeVertegenwoordiger van de Kroon – HVK) Dr. Willem Drees, menyampaikan pidato di radio, di mana dia menyatakan, bahwa belanda tidak lagi terikat dengan Perjanjian Renville.
Mulusnya penyerangan dan pendaratan tentara belanda di lapangan terbang Maguwo dekat Yogyakarta, dikarenakan telah terjadi pengkhianatan besar di pihak Republik Indonesia. Ada yang memerintahkan agar ranjau di Maguwo di cabut dan senjata berat ditarik dari Maguwo.
Akibatnya, satu-satunya lapangan terbang dekat Ibukota RI Yogyakarta, Maguwo hanya dijaga oleh 150 tentara dengan senjata ringan. Tentara belanda tidak mendapat kesulitan untuk menghancurkan pertahanan ringan di Maguwo. Seluruhnya 150 TNI ditembak mati, tak ada yang tersisa. Ini diduga untuk menutup mulut siapa pengkhianat di tubuh RI. Di pihak tentara belanda tidak ada satupun korban jiwa.
Di masa perang gerilya, pada 1 Januari 1949 Panglima divisi III/Gubernur Militer III Kolonel Bambang Sugeng mengeluarkan Instruksi Rahasia, yang isinya memberi perintah kepada seluruh pasukan di wilayah Divisi III, Jawa tengah Bagian Barat, agar melancarkan serangan serentak pada 17 Januari 1949. Instruksi Rahasia tersebut ada yang membocorkan ke pihak belanda.
Akibatnya, untuk mengantisipasi kemungkinan serangan dari gerilyawan Indonesia, di daerah Kranggan, dekat Temanggung, setiap pemuda Indonesia yang ditemui di jalan ditangkap, dan langsung dibawa ke tepi Kali Progo, kemudian langsung ditembak mati. Pembunuhan ini berlangsung samapi bulan Januari 1949. Diperkirakan sekitar 1.500 pemuda Indonesia tewas dengan cara ini. Di tepi Kali Progo dibangun Monumen untuk mengenang peristiwa ini.
Ironisnya, pada 10 Desember 1948 belanda ikut menandatangani Pernyataan Umum PBB mengenai HAM (Universal Declaration of Human Rights). Sembilan hari kemudian, belanda melancarkan agresi militernya di mana selama masa agresi militer tersebut puluhan ribu penduduk sipil non-combatant, dibunuh tanpa proses hukum apapun.
Demikian secuil kisah para informan belanda yang berakibat fatal untuk rakyat Indonesia.
Dari 23 Agustus – 2 November 1949 berlangsung Konferensi Meja Bundar di Den Haag, belanda dengan hasil, didirikannya Republik Indonesia Serikat (RIS), dengan Parlemen RIS.
Menjelang dimulainya KMB, semua kasus kejahatan yang dilakukan oleh tentara belanda ditutup. Namun pada 5 September 1949, di tengah perundingan perdamaian di belanda, hukuman mati terhadap seorang pemuda pejuang Indonesia, Wolter Robert Mongisidi dilaksanakan.
Sejarah mencatat, tak lama setelah berdiri, di beberapa Negara Bagian RIS bentukan belanda timbul kemarahan rakyatnya yang sejak awal tidak setuju dengan pembentukan Negara yang terpisah dari Republik Indonesia dan pergolakan rakyat tak dapat dicegah oleh pemerintah-pemerintah bentukan Belanda.
Beberapa pemerintahan Negara Bagian kemudian dipaksa oleh rakyatnya untuk membubarkan diri atau dibubarkan secara paksa oleh rakyatnya, sehingga pada bulan April 1950, hanya tinggal 3 Negara Bagian RIS yang tersisa, yaitu Republik Indonesia, Negara Sumatera Timur (NST) dan Negara Indonesia Timur (NIT).
Dengan persetujuan NST dan NIT, pada 19 Mei 1950 Pemerintah Republik Indonesia (RI) di bawah pimpinan Mr. Assaat Datuk Mudo mengadakan perundingan dengan Pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS). Dicapai kesepakatan untuk kembali membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Pada 12 Agustus 1950, KNIP Republik Indonesia menyetujui Rancangan Undang-Undang Dasar Sementara NKRI yang telah disusun oleh panitia bersama, dan pada 14 Agustus 1950, DPR dan Senat RIS mengesahkan Undang-Undang Dasar Sementara untuk NKRI.
Tanggal 15 Agustus Perdana Menteri RIS M. Hatta menyerahkan kembali mandatnya kepada Presiden RIS Sukarno. Demikian juga dengan Mr. Assaat Datuk Mudo –Pemangku Jabatan Presiden Republik Indonesia- yang menyerahkan mandatnya kepada Presiden RIS. Setelah itu Presiden RIS Sukarno menyatakan pembubaran Republik Indonesia Serikat dan pada 17 Agustus 1950 Ir. Sukarno mengumumkan terbentuknya kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kudeta APRA Westerling pada 23 Januari 1950 yang didalangi oleh Pangeran Bernard, suami dari Ratu Juliana bersama Sultan Hamid II dari Kalimantan, dan pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS) yang juga adalah rancangan belanda mengalami kegagalan total. Kemudian terjadi konspirasi tingkat tinggi militer dan sipil belanda untuk menyelamatkan Westerling kembali ke belanda, di mana dia dielu-elukan sebagai pahlawan.
Sekitar 4.000 bekas KNIL etnis Maluku bersama keluarganya diboyong ke belanda. Kemudian berdasarkan keputusan kerajaan tanggal 20 Juli 1950, pada 26 Juli 1950 pukul 00.00, setelah berumur sekitar 120 tahun,Koninklijk Nederlands-Indisch Leger atau KNIL dinyatakan bubar.
Sesuai dengan hasil KMB, mereka yang ingin bergabung dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI) diterima dengan pangkat yang sama. Namun sebelum dibubarkan, banyak dari mereka dinaikkan pangkatnya, bahkan sampai dua tingkat.
Dari uraian di atas terlihat, bahwa ketika Republik Indonesia didirikan, sekitar 65.000 pribumi yang mungkin masih merasa sebagai warganegara belanda, menjadi serdadu KNIL yang sampai 10 Agustus 1949 berperang di pihak belanda untuk menghancurkan Republik Indonesia. Di bidang politik, baik di pemerintahan maupun di parlemen RIS duduk orang-orang yang bukan warganegara Indonesia.
Setelah KNIL dan RIS dibubarkan, mereka “terpaksa” menjadi warganegara Republik Indonesia. Sebagian bekas KNIL menjadi anggota TNI, dan bekas petinggi-petinggi pro belanda banyak yang ikut ke belanda. Namun sebagian terbesar, terutama di daerah-daerah wilayah 15 Negara Bagian atau Daerah Otonom bentukan belanda, para pejabatnya masih tinggal di daerah-daerah masing-masing. Di lingkungan di daerah-daerah, masih diketahui dengan jelas perang orang tua atau kakek mereka di zaman penjajahan dan di masa Republik Indonesia mempertahankan kemerdekaan.
Sampai tahun 50-an karena masih sangat segar di ingatan masing-masing, cukup terbuka siapa-siapa saja yang pernah mengabdi untuk belanda, bahkan ada kelompok yang menyatakan sumpah “Kesetiaan Abadi” (door de euwen trouw) kepada belanda.
Yang tentu menjadi pertanyaan penting, apakah mereka (dan keturunannya) yang di zaman penjajahan, bahkan sampai tahun 1950 masih di pihak belanda untuk menghancurkan cita-cita Republik Indonesia sebagai bangsa yang Merdeka, tiba-tiba sejak tahun 1950 semua menjadi nasionalis?
Memang harus diterapkan pra-duga tak bersalah, bahwa tidak semua dari mereka yang sampai tahun 1950 masih setia kepada belanda, karena kabarnya cukup banyak yang setelah tahun 1950 masih menerima uang pensiun dari pemerintah belanda.
Namun tentu jelas, bahwa banyak dari mereka tetap setia kepada belanda. Bahkan kabarnya sampai sekarang, di tahun 2015, terutama mereka yang termasuk jaringan van der Plas Connection atau yang terus bertugas sebagai informan belanda, tetap mendapat gaji dari belanda.
Berdasarkan bukti-bukti yang ada, termasuk dari belanda sendiri, ternyata belanda ikut “bermain” di peristiwa tahun 1965, dan pada waktu itu, selain peran van der Plas Connection dan Pater Josephus (Joop) Beek, juga dikenal dengan OLAF (Our Local Army Friends). OLAF ini terutama bekas KNIL, yang ditahun 60-an dan 70-an berhasil menjadi PATI (Perwira Tinggi) di TNI.
Konflik di antara para pejuang Republik Indonesia berlanjut terus hingga tahun 80-an, dan yang mendapat keuntungan adalah justru mereka yang sampai tahun 1949 masih di pihak belanda yang bertujuan untuk memecah-belah NKRI. Bukan rahasia lagi, bahwa sejak pemerintahan Orde Baru sampai sekarang dikabarkan, bahwa banyak menteri di pemerintahan RI adalah titipan asing.
Kemungkinan besar inilah penyebab utama, mengapa segala usaha untuk membuka lembaran sejarah dan menuntut Negara-negara yang selama agresi militer mereka di Indonesia (Jepang 1942 – 1945, Belanda, Inggris dan Australia dari 1945 – 1950) dan meminta pertanggungjawaban atas pembantaian jutaan rakyat di wilayah pendudukan Jepang dan setelah itu di wilayah Republik Indonesia mengalami kesulitan besar. Pemerintah Indonesia sampai saat ini tidak merespons tuntutan agar menunjukkan bahwa Indonesia Berdaulat Dalam Politik Luar Negeri.
Beberapa tahun lalu, tiga lembaga penelitian terbesar di belanda mengajukan proposal untuk melakukan penelitian mengenai segala sesuatu yang terjadi di Indonesia antara tahun 1945 – 1950, justru pemerintah Indonesia yang menolak, tanpa menyebut alasan penolakan.
Mungkin ini salah satu bukti, bahwa lobby pemerintah belanda di kalangan pejabat di Indonesia, terutama di Kementerian Luar Negeri RI sangat kuat. Kementerian Luar Negeri RI sejak bertahun-tahun tetap tidak mau menjelaskan kepada rakyat Indonesia, mengapa pemerintah RI membiarkan sikap belanda, yang tidak mau mengakui de jure kemerdekaan RI 17.8.1945.
Bukan hanya para diplomat di seluruh dunia, orang awam juga mengetahui, bahwa apabila dua Negara akan saling berhubungan diplomatik, keduanya harus saling mengakui dan menghargai kesetaraan. Kemungkinan di sini juga “keberhasilan” lobby belanda untuk menutupi fakta ini, karena apabila belanda terpaksa mengakui de jurekemerdekaan RI 17.8.1945, maka belanda harus menghadapi tuntutan, bahwa yang dinamakan “aksi polisional” adalah agresi militer terhadap suatu Negara yang merdeka dan berdaulat. Selain haru membayar pampasan perang, yang paling keberatan terhadap pengakuan de jure ini adalah veteran belanda, karena mereka akan menjadi penjahat perang.
Di lain pihak, apabila Indonesia tetap menerima versi belanda bahwa kemerdekaan Indonesia adalah 27 Desember 1947, maka berarti pemerintah Indonesia membiarkan pandangan, bahwa yang dimakamkan di Taman Makam Pahlawan di seluruh Indonesia adalah perusuh, pengacau keamanan dan ekstremis yang dipersenatai oleh Jepang, karena demikianlah alasan belanda melancarkan “aksi polisional”nya. Yang dikirim bukanlah polisi, melainkan pasukan-pasukan elit dan marinirnya.
Kalau melihat “peta kekuatan” jaringan belanda, van der Plas Connection dan jaringan Pater Beek serta jaringan sekutu belanda, ABDACOM, tidak tertutup kemungkinan, bahwa apabila MELUPAKAN SEJARAH INDONESIA, MEMBUAT INDONESIA MENJADI SEJARAH!
Imperium Uni Sovyet yang gagah perkasa, hanya bertahan 70 tahun, kemudian pecah dan bubar. Bahkan salahsatu Negara kuat di Eropa, Republik Demokratik Jerman ( Jerman Timur) hanya bertahan 41 tahun. Pemerintah Jerman Timur membubarkan diri dan kemudian bergabung dengan Jerman Barat.
Telah sering diberitakan, bahwa berbagai konflik dan kerusuhan yang terjadi di Indonesia, terutama di daerah-daerah yang rawan, selalu ada campur-tangan asing. Namun belum pernah disebutkan dengan tegas, Negara mana saja yang ikut-campur atau “bermain.”
Sudah jelas orang-orang dari Negara-negara tersebut tidak mungkin untuk turuntangan sendiri, karena akan sangat janggal, apabila banyak bule berseliweran di pelosok-pelosok daerah konflik. Tugas ini tentu dilakukan oleh para pribumi.
Bung Karno telah memprediksi apa yang akan dihadapi bangsa Indonesia, sehubungan dengan antek-antek Belanda tersebut yang tinggal di Indonesia. Dalam pidato pembukaan KAA pada 18 April 1955 Bung Karno Mengatakankan:
Dan siapa para pribumi/”elemen kecil” yang dimaksud?
Silakan diinvestigasi.
Jakarta, 31 Desember 2015
Dokumen-dokumen sehubungan tulisan di atas, dapat dilihat di buku tulisan Batara R. Hutagalung: “Serangan Umum 1 Maret 1949. Dalam Kaleidoskop Sejarah Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia”, Penerbit LKiS, Yogyakarta, 2010. 742 halaman.
(ts/TAMAT)
Tulisan ini dimuat kembali agar kita, kaum Muslimin Indonesia, tidak lupa sejarah jika kita adalah pemilik sah negeri ini, karena negeri ini dimerdekakan oleh orangtua kita, bukan mereka yang berkhianat dan melayani penjajah Belanda! Lawan siapa pun yang mengkhianati negeri kita tercinta ini!
Beberapa mantan perwira pertama dan serdadu KNIL menyatakan bergabung dengan Republik Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia 17.8.1945, namun sebagian terbesar termasuk para perwira menengahnya memilih untuk tetap mendukung belanda.
Sepak Terjang Pribumi Pro Belanda
Hingga saat ini, mengenai pernyataan para pribumi yang membantu belanda adalah upaya belanda menguasai Indonesia, belum pernah diungkap, apalagi dibahas. Padahal peran para pribumi ini, yang waktu itu belum sebagai warganegara Republik Indonesia, sangat signifikan, terutama dalam membocorkan dokumen-dokumen, rencana-rencana pemerintah RI dan TNI serta dalam peristiwa pembantaian puluhan ribu rakyat, sangat penting.Di buku-buku mengenai perjuangan mempertahankan kemerdekaan antara tahun 1945 – 1950 sering ditulis mengenai adanya pengkhianatan yang dilakukan oleh peribumi untuk memberikan informasi ke pihak belanda. Beberapa pengkhianatan berakibat sangat fatal untuk puluhan ribu jiwa.
Eksekusi di tempat yang dilakukan oleh Westerling dan anak buahnya di Sulawesi Selatan (setelah pemekaran, sebagian kini termasuk Provinsi Sulawesi barat) terhadap rakyat pendukung Republik Indonesia, dilakukan berdasarkan informasi dari penduduk setempat yang menjadi mata-mata belanda.
Sesuai daftar nama yang diberikan, maka orang-orang tersebut ditembak di tempat. Tragisnya, setelah eksekusi para pendukung Republik Indonesia, para informan tersebut juga ditembak mati di tempat.
Hal ini juga terjadi a.l. di desa Galung Lombok, dekat Majene, Sulawesi Barat. Pada 1 Februari 1947 pasukan elitWesterling Depot Speciaale Troepen (DST) di bawah komando Letnan Vermeulen mengumpulkan ribuan penduduk dari Kabupaten Majene dan Kabupaten Polewali Mandar untuk menyaksikan eksekusi terhadap pendukung Republik Indonesia.
Berdasarkan daftar nama yang diberikan oleh para informan, tahap awal 29 orang ditembak satu-persatu. Kemudian gelombang kedua, secara acak ditembak lebih dari 200 orang.
Kemudian karena ada laporan bahwa pejuang Indonesia membunuh tiga orang prajurit belanda yang akan memperkosa seorang wanita, Vermeulen memerintahkan untuk menembak ke arah kerumunan massa. Hanya dalam waktu beberapa jam, keseluruhan lebih dari 700 orang ditembak mati di tempat, termasuk para informan pribumi. Di antara yang tertembak mati ada seorang wanita hamil dan anak-anak.
Demikian juga yang terjadi di desa Rawagede, dekat Karawang pada 9 Desember 1947, satu hari setelah dimulainya perundingan perdamaian di atas Kapal Renville. Pada waktu itu tentara belanda terus memburu Kapten Lukas Kustaryo dan anak-buahnya. Berdasarkan informasi dari mata-matanya, tentara belanda mendapat informasi, bahwa Kapten Lukas berada di desa Rawagede. Pada pagi buta desa tersebut dikepung dan dimulai menyisir rumah penduduk satu-persatu. Namun tidak ada seorangpun anggota TNI.
Karena penduduk setempat tidak mau memberitahu keberadaan Kapten Lukas dan pasukan TNI, maka komandan pasukan belanda, Mayor Aflons Wijnen memerintah kan anak buahnya untuk membunuh semua laki-laki di atas usia 15 tahun. Namu ternyata di antara 431 penduduk laki-laki yang dibunuh, juga ada seorang bocah berusia 12 tahun. Sebagian yang ditembak di tepi sungai di musim hujan, langsung hanyut ke laut.
Karena tidak ada satupun penduduk laki-laki, maka para janda wanita dan anak-anak terpaksa menguburkan mayat-mayat penduduk laki-laki. Hari itu ada seorang wanita yang harus menguburkan ayah, suami dan dua putranya. Ini semua ulah dari pribumi yang menjadi mata-mata belanda.
Peristiwa Madiun September 1948 adalah rancangan belanda, dalam mempersiapkan agresi militernya yang terbesar terhadap Republik Indonesia pada 19 Desember 1948. Yang sangat berperan di sini adalah “van der Plas Connection” yang dibentuk Januari 1942.
Untuk menumpas pemberontakan PKI di Madiun, TNI mengerahkan seluruh pasukan, baik dari Divisi I Jawa Timur, termasuk Brigade Mobil Polisi, pasukan Divisi II dan Divisi III Jawa tengah, serta pasukan Divisi Siliwangi, yang akibat persetujuan Renville harus keluar dari jawa Barat. Hal ini mengakibatkan, bahwa di Ibukota Yogyakarta tidak ada satu batalyon pun.
Di tengah kekosongan pasukan di Yogyakarta, pada 19 Desember 1948 belanda mekancarkan agresi militernya secara besar-besaran terhadap seluruh wilayah Republik Indonesia. Pada waktu itu sedang berlangsung perundingan antara Indonesia dengan belanda yang difasilitasi oleh PBB, dan komisi PBB dipimpin oleh orang Amerika.
Serangan terhadap Ibukota Yogyakarta dimulai dengan menduduki lapangan terbang Maguwo. Di pagi hari pukul 06.45, bersamaan dengan pendaratan tentara belanda di Maguwo, Wakil Tinggi Mahkota Belanda (HoogeVertegenwoordiger van de Kroon – HVK) Dr. Willem Drees, menyampaikan pidato di radio, di mana dia menyatakan, bahwa belanda tidak lagi terikat dengan Perjanjian Renville.
Mulusnya penyerangan dan pendaratan tentara belanda di lapangan terbang Maguwo dekat Yogyakarta, dikarenakan telah terjadi pengkhianatan besar di pihak Republik Indonesia. Ada yang memerintahkan agar ranjau di Maguwo di cabut dan senjata berat ditarik dari Maguwo.
Akibatnya, satu-satunya lapangan terbang dekat Ibukota RI Yogyakarta, Maguwo hanya dijaga oleh 150 tentara dengan senjata ringan. Tentara belanda tidak mendapat kesulitan untuk menghancurkan pertahanan ringan di Maguwo. Seluruhnya 150 TNI ditembak mati, tak ada yang tersisa. Ini diduga untuk menutup mulut siapa pengkhianat di tubuh RI. Di pihak tentara belanda tidak ada satupun korban jiwa.
Di masa perang gerilya, pada 1 Januari 1949 Panglima divisi III/Gubernur Militer III Kolonel Bambang Sugeng mengeluarkan Instruksi Rahasia, yang isinya memberi perintah kepada seluruh pasukan di wilayah Divisi III, Jawa tengah Bagian Barat, agar melancarkan serangan serentak pada 17 Januari 1949. Instruksi Rahasia tersebut ada yang membocorkan ke pihak belanda.
Akibatnya, untuk mengantisipasi kemungkinan serangan dari gerilyawan Indonesia, di daerah Kranggan, dekat Temanggung, setiap pemuda Indonesia yang ditemui di jalan ditangkap, dan langsung dibawa ke tepi Kali Progo, kemudian langsung ditembak mati. Pembunuhan ini berlangsung samapi bulan Januari 1949. Diperkirakan sekitar 1.500 pemuda Indonesia tewas dengan cara ini. Di tepi Kali Progo dibangun Monumen untuk mengenang peristiwa ini.
Ironisnya, pada 10 Desember 1948 belanda ikut menandatangani Pernyataan Umum PBB mengenai HAM (Universal Declaration of Human Rights). Sembilan hari kemudian, belanda melancarkan agresi militernya di mana selama masa agresi militer tersebut puluhan ribu penduduk sipil non-combatant, dibunuh tanpa proses hukum apapun.
Demikian secuil kisah para informan belanda yang berakibat fatal untuk rakyat Indonesia.
Konferensi Meja Bundar (KMB) dan sesudahnya
Di masa agresinya sampai gencatan senjata pada 10 Agustus 1949, belanda berhasil mendirikan 15 Negara-negara atau daerah otonom, di mana para penguasanya adalah orang-orang yang pro belanda.Dari 23 Agustus – 2 November 1949 berlangsung Konferensi Meja Bundar di Den Haag, belanda dengan hasil, didirikannya Republik Indonesia Serikat (RIS), dengan Parlemen RIS.
Menjelang dimulainya KMB, semua kasus kejahatan yang dilakukan oleh tentara belanda ditutup. Namun pada 5 September 1949, di tengah perundingan perdamaian di belanda, hukuman mati terhadap seorang pemuda pejuang Indonesia, Wolter Robert Mongisidi dilaksanakan.
Sejarah mencatat, tak lama setelah berdiri, di beberapa Negara Bagian RIS bentukan belanda timbul kemarahan rakyatnya yang sejak awal tidak setuju dengan pembentukan Negara yang terpisah dari Republik Indonesia dan pergolakan rakyat tak dapat dicegah oleh pemerintah-pemerintah bentukan Belanda.
Beberapa pemerintahan Negara Bagian kemudian dipaksa oleh rakyatnya untuk membubarkan diri atau dibubarkan secara paksa oleh rakyatnya, sehingga pada bulan April 1950, hanya tinggal 3 Negara Bagian RIS yang tersisa, yaitu Republik Indonesia, Negara Sumatera Timur (NST) dan Negara Indonesia Timur (NIT).
Dengan persetujuan NST dan NIT, pada 19 Mei 1950 Pemerintah Republik Indonesia (RI) di bawah pimpinan Mr. Assaat Datuk Mudo mengadakan perundingan dengan Pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS). Dicapai kesepakatan untuk kembali membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Pada 12 Agustus 1950, KNIP Republik Indonesia menyetujui Rancangan Undang-Undang Dasar Sementara NKRI yang telah disusun oleh panitia bersama, dan pada 14 Agustus 1950, DPR dan Senat RIS mengesahkan Undang-Undang Dasar Sementara untuk NKRI.
Tanggal 15 Agustus Perdana Menteri RIS M. Hatta menyerahkan kembali mandatnya kepada Presiden RIS Sukarno. Demikian juga dengan Mr. Assaat Datuk Mudo –Pemangku Jabatan Presiden Republik Indonesia- yang menyerahkan mandatnya kepada Presiden RIS. Setelah itu Presiden RIS Sukarno menyatakan pembubaran Republik Indonesia Serikat dan pada 17 Agustus 1950 Ir. Sukarno mengumumkan terbentuknya kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kudeta APRA Westerling pada 23 Januari 1950 yang didalangi oleh Pangeran Bernard, suami dari Ratu Juliana bersama Sultan Hamid II dari Kalimantan, dan pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS) yang juga adalah rancangan belanda mengalami kegagalan total. Kemudian terjadi konspirasi tingkat tinggi militer dan sipil belanda untuk menyelamatkan Westerling kembali ke belanda, di mana dia dielu-elukan sebagai pahlawan.
Sekitar 4.000 bekas KNIL etnis Maluku bersama keluarganya diboyong ke belanda. Kemudian berdasarkan keputusan kerajaan tanggal 20 Juli 1950, pada 26 Juli 1950 pukul 00.00, setelah berumur sekitar 120 tahun,Koninklijk Nederlands-Indisch Leger atau KNIL dinyatakan bubar.
Sesuai dengan hasil KMB, mereka yang ingin bergabung dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI) diterima dengan pangkat yang sama. Namun sebelum dibubarkan, banyak dari mereka dinaikkan pangkatnya, bahkan sampai dua tingkat.
Dari uraian di atas terlihat, bahwa ketika Republik Indonesia didirikan, sekitar 65.000 pribumi yang mungkin masih merasa sebagai warganegara belanda, menjadi serdadu KNIL yang sampai 10 Agustus 1949 berperang di pihak belanda untuk menghancurkan Republik Indonesia. Di bidang politik, baik di pemerintahan maupun di parlemen RIS duduk orang-orang yang bukan warganegara Indonesia.
Setelah KNIL dan RIS dibubarkan, mereka “terpaksa” menjadi warganegara Republik Indonesia. Sebagian bekas KNIL menjadi anggota TNI, dan bekas petinggi-petinggi pro belanda banyak yang ikut ke belanda. Namun sebagian terbesar, terutama di daerah-daerah wilayah 15 Negara Bagian atau Daerah Otonom bentukan belanda, para pejabatnya masih tinggal di daerah-daerah masing-masing. Di lingkungan di daerah-daerah, masih diketahui dengan jelas perang orang tua atau kakek mereka di zaman penjajahan dan di masa Republik Indonesia mempertahankan kemerdekaan.
Sampai tahun 50-an karena masih sangat segar di ingatan masing-masing, cukup terbuka siapa-siapa saja yang pernah mengabdi untuk belanda, bahkan ada kelompok yang menyatakan sumpah “Kesetiaan Abadi” (door de euwen trouw) kepada belanda.
Yang tentu menjadi pertanyaan penting, apakah mereka (dan keturunannya) yang di zaman penjajahan, bahkan sampai tahun 1950 masih di pihak belanda untuk menghancurkan cita-cita Republik Indonesia sebagai bangsa yang Merdeka, tiba-tiba sejak tahun 1950 semua menjadi nasionalis?
Memang harus diterapkan pra-duga tak bersalah, bahwa tidak semua dari mereka yang sampai tahun 1950 masih setia kepada belanda, karena kabarnya cukup banyak yang setelah tahun 1950 masih menerima uang pensiun dari pemerintah belanda.
Namun tentu jelas, bahwa banyak dari mereka tetap setia kepada belanda. Bahkan kabarnya sampai sekarang, di tahun 2015, terutama mereka yang termasuk jaringan van der Plas Connection atau yang terus bertugas sebagai informan belanda, tetap mendapat gaji dari belanda.
Berdasarkan bukti-bukti yang ada, termasuk dari belanda sendiri, ternyata belanda ikut “bermain” di peristiwa tahun 1965, dan pada waktu itu, selain peran van der Plas Connection dan Pater Josephus (Joop) Beek, juga dikenal dengan OLAF (Our Local Army Friends). OLAF ini terutama bekas KNIL, yang ditahun 60-an dan 70-an berhasil menjadi PATI (Perwira Tinggi) di TNI.
Konflik di antara para pejuang Republik Indonesia berlanjut terus hingga tahun 80-an, dan yang mendapat keuntungan adalah justru mereka yang sampai tahun 1949 masih di pihak belanda yang bertujuan untuk memecah-belah NKRI. Bukan rahasia lagi, bahwa sejak pemerintahan Orde Baru sampai sekarang dikabarkan, bahwa banyak menteri di pemerintahan RI adalah titipan asing.
Kemungkinan besar inilah penyebab utama, mengapa segala usaha untuk membuka lembaran sejarah dan menuntut Negara-negara yang selama agresi militer mereka di Indonesia (Jepang 1942 – 1945, Belanda, Inggris dan Australia dari 1945 – 1950) dan meminta pertanggungjawaban atas pembantaian jutaan rakyat di wilayah pendudukan Jepang dan setelah itu di wilayah Republik Indonesia mengalami kesulitan besar. Pemerintah Indonesia sampai saat ini tidak merespons tuntutan agar menunjukkan bahwa Indonesia Berdaulat Dalam Politik Luar Negeri.
Beberapa tahun lalu, tiga lembaga penelitian terbesar di belanda mengajukan proposal untuk melakukan penelitian mengenai segala sesuatu yang terjadi di Indonesia antara tahun 1945 – 1950, justru pemerintah Indonesia yang menolak, tanpa menyebut alasan penolakan.
Mungkin ini salah satu bukti, bahwa lobby pemerintah belanda di kalangan pejabat di Indonesia, terutama di Kementerian Luar Negeri RI sangat kuat. Kementerian Luar Negeri RI sejak bertahun-tahun tetap tidak mau menjelaskan kepada rakyat Indonesia, mengapa pemerintah RI membiarkan sikap belanda, yang tidak mau mengakui de jure kemerdekaan RI 17.8.1945.
Bukan hanya para diplomat di seluruh dunia, orang awam juga mengetahui, bahwa apabila dua Negara akan saling berhubungan diplomatik, keduanya harus saling mengakui dan menghargai kesetaraan. Kemungkinan di sini juga “keberhasilan” lobby belanda untuk menutupi fakta ini, karena apabila belanda terpaksa mengakui de jurekemerdekaan RI 17.8.1945, maka belanda harus menghadapi tuntutan, bahwa yang dinamakan “aksi polisional” adalah agresi militer terhadap suatu Negara yang merdeka dan berdaulat. Selain haru membayar pampasan perang, yang paling keberatan terhadap pengakuan de jure ini adalah veteran belanda, karena mereka akan menjadi penjahat perang.
Di lain pihak, apabila Indonesia tetap menerima versi belanda bahwa kemerdekaan Indonesia adalah 27 Desember 1947, maka berarti pemerintah Indonesia membiarkan pandangan, bahwa yang dimakamkan di Taman Makam Pahlawan di seluruh Indonesia adalah perusuh, pengacau keamanan dan ekstremis yang dipersenatai oleh Jepang, karena demikianlah alasan belanda melancarkan “aksi polisional”nya. Yang dikirim bukanlah polisi, melainkan pasukan-pasukan elit dan marinirnya.
Kalau melihat “peta kekuatan” jaringan belanda, van der Plas Connection dan jaringan Pater Beek serta jaringan sekutu belanda, ABDACOM, tidak tertutup kemungkinan, bahwa apabila MELUPAKAN SEJARAH INDONESIA, MEMBUAT INDONESIA MENJADI SEJARAH!
Imperium Uni Sovyet yang gagah perkasa, hanya bertahan 70 tahun, kemudian pecah dan bubar. Bahkan salahsatu Negara kuat di Eropa, Republik Demokratik Jerman ( Jerman Timur) hanya bertahan 41 tahun. Pemerintah Jerman Timur membubarkan diri dan kemudian bergabung dengan Jerman Barat.
Telah sering diberitakan, bahwa berbagai konflik dan kerusuhan yang terjadi di Indonesia, terutama di daerah-daerah yang rawan, selalu ada campur-tangan asing. Namun belum pernah disebutkan dengan tegas, Negara mana saja yang ikut-campur atau “bermain.”
Sudah jelas orang-orang dari Negara-negara tersebut tidak mungkin untuk turuntangan sendiri, karena akan sangat janggal, apabila banyak bule berseliweran di pelosok-pelosok daerah konflik. Tugas ini tentu dilakukan oleh para pribumi.
Bung Karno telah memprediksi apa yang akan dihadapi bangsa Indonesia, sehubungan dengan antek-antek Belanda tersebut yang tinggal di Indonesia. Dalam pidato pembukaan KAA pada 18 April 1955 Bung Karno Mengatakankan:
“Saya tegaskan kepada anda semua, kolonialisme belumlah mati. Dan, saya meminta kepada Anda jangan pernah berpikir bahwa kolonialisme hanya seperti bentuk dan caranya yang lama, cara yang kita semua dari Indonesia dan dari kawasan-kawasan lain di Asia dan Afrika telah mengenalinya. Kolonialisme juga telah berganti baju dengan cara yang lebih modern, dalam bentuk kontrol ekonomi, kontrol intelektual, dan kontrol langsung secara fisik melalui segelintir elemen kecil namun terasing dari dalam suatu negeri. Elemen itu jauh lebih licin namun bisa mengubah dirinya ke dalam berbagai bentuk.”
Dan siapa para pribumi/”elemen kecil” yang dimaksud?
Silakan diinvestigasi.
Jakarta, 31 Desember 2015
Dokumen-dokumen sehubungan tulisan di atas, dapat dilihat di buku tulisan Batara R. Hutagalung: “Serangan Umum 1 Maret 1949. Dalam Kaleidoskop Sejarah Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia”, Penerbit LKiS, Yogyakarta, 2010. 742 halaman.
(ts/TAMAT)
Tulisan ini dimuat kembali agar kita, kaum Muslimin Indonesia, tidak lupa sejarah jika kita adalah pemilik sah negeri ini, karena negeri ini dimerdekakan oleh orangtua kita, bukan mereka yang berkhianat dan melayani penjajah Belanda! Lawan siapa pun yang mengkhianati negeri kita tercinta ini!
[Sumber: yang diambil Admin Blog Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh Silahkan Lihat Di→ News CoinMarketcap]