Blong yang terbaik di kelasnya, Membahas tentang berita terkini lokal, nasional, dan global, keuangan, ekonomi, alkoin, crypto dan currency, blockchain, mobil, dan motor, olahraga, musik, film, pasar crypto, pasar saham, indonesia, dan eropa, ilmu sain, dan teknologi, dan lainnya…
Suriya-AcehInfoAnakMeulaboh→Memahami Konsepsi Kelas-»Bagaimana manusia memenuhi kebutuhan hidupnya? Jawaban yang paling wajar di sini, tentunya, adalah "kerja". Sejak awal manusia, bahkan seluruh mahluk hidup lainnya, mulai ada di muka bumi ini, mereka mulai bekerja untuk mendapatkan makanan.
Kelas
Beberapa spesies yang tingkat perkembangannya lebih maju telah menggunakan alat bantu untuk mendapatkan makanan mereka. Namun, hanya manusialah satu-satunya spesies yang membuat alat.
Karena manusia membuat alat, maka ia relatif dapat mempertahankan keberadaan alat-alat itu di sekitar komunitasnya. Spesies lain, seperti monyet, hanya dapat menggunakan alat sampai alat itu rusak. Ia harus menunggu lagi untuk menemukan benda lain yang serupa. Namun manusia dapat menggunakan alat sepanjang ia suka karena ia selalu dapat membuat yang baru. Sejalan dengan berjalannya waktu, alat-alat ini semakin tahan lama dan pembuatannya makin mudah. Dengan demikian, manusia semakin tergantung pada alat kerja untuk pri-kehidupannya.
Ketergantungan manusia pada alat inilah yang kemudian menjadi landasan dari sistem produksi manusia. Sistem produksi ini adalah unik milik manusia. Tidak ada lagi spesies mahluk di bumi ini yang memilikinya. Tumbuhan "memproduksi" buah-buahan, beberapa hewan "memproduksi" susu. Tapi tidak ada di antaranya yang melakukan proses produksi dengan menggunakan alat-alat di luar organ-organ tubuhnya sendiri. Tidak ada lagi spesies yang kemudian penghidupannya tergantung pada alat yang dibuatnya sendiri.
Karena sistem produksi manusia tergantung pada alat maka siapa yang menguasai alat akan menguasai seluruh kehidupan manusia.
Inilah fakta utama dan terpenting dari seluruh sudut pandang ilmu ekonomi-politik.
Karena sejarah umat manusia semenjak itu adalah sejarah perjuangan antara mereka yang memiliki dan yang tidak memiliki alat produksi. Sejarah manusia bergerak ketika alat produksi telah menghasilkan cukup banyak hasil sehingga berlebih kalau sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Alat produksi yang telah cukup maju untuk memproduksi hasil lebih ini kemudian menjadi sasaran perebutan antar berbagai kelompok.
Kelompok-kelompok yang berhasil menguasai alat produksi ini kemudian memaksa mereka yang tidak memiliki alat produksi untuk bekerja, tidak untuk diri mereka sendiri, melainkan bagi mereka yang memiliki alat produksi itu.
Dari pergerakan sejarah inilah lahir kelas-kelas dalam masyarakat.
Jadi, kelas-kelas dalam masyarakat bukanlah kategori yang dibuat sendiri oleh para ahli sosial. Kelas-kelas dalam masyarakat juga bukan sesuatu yang dapat dikarang atau malahan ditolak. Kelas adalah satu kenyataan kongkrit yang ada di tengah masyarakat: bagaimana hubungan satu individu atau kelompok masyarakat terhadap alat-alat produksi.
Suriya-AcehInfoAnakMeulaboh→Kelas dan Perjuangan Kelas-»Berbicara tentang teori Ekonomi-Politik secara teoritik murni tidaklah menarik. Terlalu banyak rumus di sana. Jika kita mencoba memahami ekonomi-politik dengan cara ini, tidak ubahnya kita bagaikan ilmuwan sejati, yang pandai berbicara tapi tidak pandai berbuat untuk perubahan.
Pendekatan terhadap ekonomi politik haruslah didasarkan pada keperluan kita yang paling pokok: bagaimana memahami tantangan yang kita hadapi dan melihat cara untuk mengatasinya.
Pada dasarnya, ekonomi-politik menyediakan alat analisa untuk membedah kondisi sosial masyarakat. Ada beberapa alat analisa yang disediakannya, tapi semua bermuara di sumber yang sama: dengan cara bagaimana berbagai individu dan kelompok dalam masyarakat mempertahankan kelangsungan hidupnya.
Mengapa hal ini yang dijadikan pokok permasalahan? Sederhana saja, karena persoalan inilah yang pertama-tama melingkupi manusia, bahkan seluruh bagian alam semesta yang dapat kita sebut sebagai "hidup".
Persoalan ini adalah persoalan dasar yang telah dialami oleh mahluk setingkat virus. Seluruh mekanisme evolusi virus didasarkan pada pencarian cara-cara yang paling efektif baginya untuk mempertahankan kelangsungan kehidupannya sebagai sebuah spesies. Satu spora virus boleh hanya berumur beberapa jam namun sebagai spesies ia tak dapat dimusnahkan. Virus influensa, misalnya, adalah salah satu mahluk yang paling berhasil secara ekonomi untuk bertahan hidup.
Manusia berada di tingkat yang jauh di atas virus, walaupun ini hanya pada kompleksitas evolusinya saja. Manusia telah mengembangkan kesadaran, ia menjadi materi pertama di bumi ini yang mampu memahami dirinya sendiri dan materi lain yang ada di sekitarnya. Manusia adalah "hewan yang dapat berpikir" atau zoon politicon. Oleh karena tahapan perkembangan yang telah maju ini, manusia dapat mengembangkan jenis evolusi lain yang berbeda dengan mahluk-mahluk lainnya: kehidupan sosial.
Dan karena kehidupan sosial ini berinteraksi pula dengan kehidupan ekonomi, maka keduanya menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan. Kehidupan sosial-politik, yang mengurusi persoalan interaksi antar manusia dan berada di tataran ide, jelas bertentangan dengan kehidupan ekonomi yang mengurusi masalah material penunjang kehidupan. Tapi, justru karena pertentangan inilah keduanya menjadi tak terpisahkan dan saling menyaratkan bagi evolusi manusia itu sendiri sebagai sebuah spesies.
Jika keduanya tidak terpisahkan dan saling menyaratkan, adakah yang lebih utama di antara keduanya? Adakah di antara kedua hal itu yang mendahului sehingga roda interaksi di antara keduanya dapat berputar?
Ada. Persoalan ekonomi, tentu saja. Persoalan ini adalah persoalan yang paling dasar. Hanya karena manusia menempati tingkat perkembangan yang tertinggi di antara materi lainnya di atas bumi ini, tidak berarti ia dapat melepaskan diri dari hukum-hukum yang mengatur perkembangan materi itu sendiri. Manusia menemukan kesadarannya melalui perkembangan evolusi materi yang melingkupi dirinya sendiri dan lingkungannya. Maka, kesadaran itupun tunduk pada perkembangan evolusi materi itu - yang dalam hal ini mewujud dalam bentuk persoalan ekonomi.
Jadi, ekonomi-politik adalah ilmu analisa yang berusaha memahami kesadaran individu atau kelompok dalam masyarakat dengan melihat bagaimana ia mendapatkan alat-alat penunjang kehidupannya. Dengan kata lain, ekonomi-politik adalah ilmu untuk melihat bagaimana orang mendasarkan kepentingan politiknya pada kepentingan ekonominya.
Suriya-AcehInfoAnakMeulaboh→Apa Itu Politik?-»Apabila disebut politik, banyak orang akan mengaitkannya dengan parti politik. Kebanyakan orang menganggap politik itu adalah parti politik. Begitulah ceteknya kefahaman orang-orang kita tentang politik. Sistem pemerintahan yang mengamalkan sistem demokrasi berparlimen yang pemimpinnya dipilih oleh rakyat telah menjadi sebati kepada rakyat negara ini.
Di bawah sistem ini terdapat parti-parti poitik yang mempunyai berbagai agenda dan idea untuk mentadbir negara. Oleh kerana istilah politik yang difahami oleh kita telah disempitkan pengertiaannya maka sesiapa sahaja yang ingin bergiat dalam politik maka dia haruslah memilih atau menyokong parti politik yang disukainya atau mewujudkan parti politiknya sendiri dan kemudian membuat persiapan untuk bertanding dalam pilihanraya.
Kepada kita sistem demokrasi berparlimen ini telah menjadi seperti satu aturan agama yang tak boleh diubah-ubah lagi. Siapa yang berani nak ubah, kesalahannya sama seperti melakukan satu dosa besar.
Mungkin sistem yang kita amalkan sekarang ini adalah suatu sistem yang amat baik untuk kita, tetapi untuk mengatakan sistem yang kita pakai ini tidak boleh lansung diubah kepada sistem yang lain adalah suatu yang tidak betul. Tidak ada satu benda pun di dunia ini tidak mengalami perubahan di sepanjang sejarahnya. Perhatikanlah kepada makanan, pakaian dan cara hidup manusia hari ini, semuanya telah banyak berubah dari masa-masa yang lalu. Ada yang berubah secara mendadak dan ada pula yang mengambil masa yang agak lama.
Hidup bermasyarakat adalah satu keperluan kepada manusia. Kehidupan bermasyarakat pula memerlukan pemimpin dan kepimpinan. Pemimpin akan menentukan cara bagaimana hendak mentadbir dan mengurus masyarakat yang dipimpinnya. Orang politik tulin akan mencipta kaedah-kaedah terbaik untuk mengurus sesuatu masyarakat. Dari zaman dahulu sampailah sekarang telah bermacam-macam kaedah telah dicuba untuk mentadbir dan mengurus kehidupan manusia ini. Ada sistem politik atau pemerintahan yang boleh bertahan lama dan ada sistem yang bertahan sekejap sahaja.
Ada sistem yang begitu ideal pada teorinya tetapi bila dilaksanakan ternyata gagal atau tidak dapat mencapai matlamatnya. Sistem politik yang baik sepatutnya mestilah dapat menghasilkan masyarakat yang maju, adil dan harmoni. Mungkin di hari ini sistem pemerintahan cara demokrasi adalah pilihan yang terbaik. Tetapi seperti yang dikatakan sebelum ini, semua perkara akan tetap berubah dengan peredaran masa, termasuklah juga sistem politik. Tidak mustahil pada masa akan datang akan wujud lagi sistem politik yang dianggap lebih baik dan lebih sesuai dengan masyarakat di masa tersebut.
Pernah di satu masa dulu sistem kominis telah mendapat tarikan dari banyak masyarakat di serata dunia ini. Sistem ini telah dapat menawan hati masyarakat golongan bawahan kerana di bawah sistem ini kekayaan akan diagihkan sama rata. Pendapatan semua orang adalah sama banyak tidak kira jenis pekerjaannya. Kelihatannya sistem ini begitu bagus pada teorinya, tetapi apa terjadi akhirnya, setelah diamalkan buat beberapa lama, sistem ini tidak dapat menghasilkan masyarakat yang berdaya saing dan produktif. Negara yang mengamalkannya menjadi mundur dan lemah dan akhimya sistem tersebut ditolak oleh masyarakat yang mengamalkannya.
Ada sesetengah pihak menganggap politik adalah suatu perkara yang sensitif, pihak-pihak ini seperti lebih suka rakyat tidak diberi penerangan tentang makna politik yang sebenarnya. Mungkin dengan cara ini kepentingan pihak-pihak tersebut dapat dijaga. Sebenamya ini bukanlah kali pertama masyarakat kita memahami politik itu secara yang sempit, kalau kita meninjau sejarah silam, kita akan terjumpa keadaan yang sedemikian.
Semasa pemerintahan kerajaan Melayu Metaka dahulu, sistem pemerintahan beraja telah diterima pakai oleh masyarakat ketika itu. Sultan berkuasa penuh ke atas rakyatnya. Buat beberapa lama pemeritahan beraja itu telah sebati dengan orang-orang Melayu ketika itu. Sistem itu seperti telah menjadi aturan agama kepada mereka, sehingga merasakan seperti melakukan satu dosa untuk mengubahnya. Ketika itu rakyat hanya tahu, politik hanyalah pemerintahan beraja saja. Sekalipun Hang Jebat menentang raja kerana raja tidak berlaku adil kepada sahabatnya Hang Tuah, tetapi Hang Jebat tetap dianggap bersalah oleh dirinya sendiri dan rakyat ketika itu kerana sistem beraja seperti telah menjadi satu ketetapan agama kepada mereka.
Kalaulah ketika itu Hang Jebat mendapat kefahaman yang jelas tentang politik, tentulah beliau dengan cepat menukar sistem beraja ketika itu kepada pemerintahan corak lain seperti corak republik seperti di Libya ataupun cara pemerintahan tentera (mungkin di waktu itu boleh dipanggil pemerintahan hulubalang) atau lain-lain sistem yang dffikirkannya sesuai. Tetapi oleh kerana pemahaman politiknya sempit atau disempitkan maka keadaan yang disebutkan tadi tidaklah berlaku.
Bagaimanakah corak politik Islam? Islam tidak pemah menetapkan corak pemerintahan bagaimana yang harus kita pakai dalam mentadbir negara samalah seperti Islam tidak pemah menetapkan fesyen pakaian yang macamana harus dipakai oleh orang Islam. Begitu juga Islam tidak pemah menetapkan makanan apa yang mesti dimakan oleh orang Islam. Walaubagaimanapun terdapat dasar-dasar yang telah ditetapkan yang perlu dipatuhi oleh orang Islam apabila memilih pakaian yang hendak dipakai dan makanan yang hendak dimakan.
Contohnya dalam hal pakaian, kita diwajibkan memakai pakaian yang menutup aurat. Oleh itu jika ada orang mendakwa pakaian islam mestilah seperti fesyen yang dipakainya maka dakwaannya itu adalah salah, yang betulnya dia hanya boleh berkata, fesyen yang dipakainya tidak bertentangan dengan kehendak Islam. Dalam hal makanan pula, kita dilarang memakan benda-benda yang haram seperti arak, daging babi dan anjing serta daging binatang yang tidak disembelih. Oleh itu restoran yang meletakan papan tanda yang berbunyi 'Restoran Makanan Orang-orang Islam' sebenamya tidaklah begitu tepat kerana orang Islam seluruh dunia tidaklah memakan makanan yang sama. Papan tanda yang betul sepatutnya berbunyi 'Restoran Makanan Halal'.
Begitulah juga dengan cara mentadbir dan memerintah negara, Islam telah menetapkan beberapa dasar yang perlu dipatuhi oleh umat Islam. Islam telah menetapkan semua keputusan dan urusan yang dibuat ke atas orang ramai mestilah dilakukan secara mesyuarah. Pemimpin juga dilantik secara mesyuarah. Setiap orang yang tinggal di bawah pemerintahan Islam mestilah mendapat keadilan, haknya terpelihara, keselamatannya tejamin, tidak tertindas dan mempunyai kebebasan beragama dan bersuara.
Oleh itu di dalam Islam, kita bebas memilih corak pemerintahan yang kita hendak, tetapi mestilah mengikut dasar yang telah ditetapkan oleh Islam dan mempunyai ciri-ciri yang bersesuaian dengan nilai Islam. Oleh itu sesiapa yang mendakwa sistem pemerintahan Islam adalah seperti corak pemerintahan yang diamalkannya, maka dakwaannya itu tidaklah tepat, dia sepatutnya hanya boleh berkata, corak pemerintahan yang diamalkannya adalah mengikut kehendak Islam.
Suriya-AcehInfoAnakMeulaboh→Filsafat Politik, Politik Harian, dan Demokrasi-»Bulan Februari 2002 bukan bulan yang baik bagi Perdana Menteri (PM) Inggris Tony Blair. Usai sidang parlemen, dia menjadi bahan olok-olok para anggota parlemen.Blair menjadi bulan-bulanan karena ketidakmampuannya merumuskan secara singkat dan sederhana filsafat politik yang mendasari politik hariannya. Sandungan tersebut datang dari anggota parlemen asal partainya sendiri-yang kebetulan bekas pengajar filsafat di universitas. Insiden tersebut menyimpan satu pertanyaan. Apakah politik harian membutuhkan inspirasi filsafat politik.
Gus Dur pernah menjadi bulan-bulanan saat memberi sedikit abstraksi filosofis-juridis di sidang parlemen. Wacana akademis! Begitu olok-olok sebagian anggota parlemen waktu itu. Dasar berpikir sebagian anggota parlemen waktu itu jelas. Politik harian tidak membutuhkan filsafat politik. Politik harian membutuhkan retorika, bukan logika. Raison d’etre-nya adalah pragmatisme. Politik praktis, begitu orang awam menyebutnya.
Benarkah tesis yang mengatakan bahwa politik harian tidak membutuhkan filsafat? Leo Strauss, filsuf politik asal Chicago, tidak sependapat. Dia menyuarakan pentingnya pencerahan filosofis atas politik. Para filsuf harus turun gunung mewejangi para politisi harian. Hanya dengan itu politik harian bisa berbobot. Tidak semata karnaval kebodohan dan kemunafikan yang memuakkan.
Filsuf ideal Straussian mesti bekerja sebagai bejana pikiran bagi para politisi harian. Membantu merumuskan kebijakan-kebijakan politik berbasiskan argumentasi filosofis yang kuat. Tidak sekadar mengikuti common sense yang dangkal tak berdasar. Singkat cerita, politik harian harus tunduk pada filsafat politik. Namun, tidak semua filsuf sepakat dengan Strauss. Jonathan Wolff, seorang filsuf politik lainnya, menolak keterjalinan antara filsafat politik dan politik harian. Filsafat politik, menurut Wolff, bukanlah "hakim epistemik" bagi kebijakan politik. Ia ini dipaksakan, sebentuk otoritarianisme kognitif menyembul. Dan ini tidak kondusif bagi perkembangan atmosfer demokrasi.
Kalau filsafat politik tidak boleh turun tangan pada persoalan politik harian, lalu apa tugas praksis para filsuf? Apakah mereka cukup berpikir di menara gading, tidak menyentuh kehidupan sehari-hari? Atau mengelus dada saja bila melihat kekacauan berpikir para politisi harian? Sikap-sikap seperti itu juga bukan sesuatu yang positif.
Para filsuf politik kontemporer mengambil sikap moderat. Filsafat politik bukan lagi "hakim epistemik" bagi politik harian. Perannya sekarang adalah pengatur lalu lintas yang merumuskan rambu-rambu bagi percaturan politik yang fair.Ini tidak boleh diserahkan pada para politisi harian. Karena begitu diserahkan, rambu-rambu yang dibuat semata-mata melayani kepentingan the ruling party or parties. Inilah yang mendasari protes partai-partai gurem terhadap aturan main pemilu yang disusun parlemen sekarang.
Demokrasi tidak bisa berjalan tanpa fairness dalam proses-proses politik. Tak adanya pembatasan dan pengawasan terhadap dana kampanye membuat partai-partai miskin jadi lemah posisinya dalam merebut hati publik. Hanya partai-partai kaya mampu membiayai reklame-reklame prime time di stasiun-stasiun TV raksasa. Kesempatan menjadi tidak setara untuk menjual dagangan politik antarpartai. Demokrasi memberikan keleluasaan bagi berbagai ideologi untuk hidup dan berkembang. Pada masyarakat tertutup-otoritarian, hanya satu ideologi yang berhak hidup; yang lain harus tunduk dan turut. Hal seperti itu tidak berlaku pada masyarakat terbuka-demokratis.
Dalam masyarakat terbuka menuntut kosongnya percaturan politik dari apa yang disebut Rawls "kebenaran metafisik". Sebentuk kebenaran yang mengabsolutisir dirinya dan menutup pintu komunikasi dan toleransi. Perdebatan ideologis yang paling tajam, menurut Rawls, adalah soal keadilan. Karena itu, filsafat politik Rawls mencoba merumuskan satu prosedur yang fair guna menentukan prinsip keadilan yang bisa diterima semua pihak. Prinsip keadilan yang bisa diterima baik oleh sayap kiri, kiri-tengah, maupun kanan.
Pluralisme bentuk kebenaran dalam masyarakat terbuka-demokratis juga menggelitik filsuf politik lainnya bernama Habermas. Filsuf politik ini memformulasikan apa yang disebutnya sebagai etika diskursus. Etika diskursus adalah prosedur yang fair bagi pertarungan epistemik-etik berbagai bentuk kebenaran demi mencapai konsensus.
Sama seperti Rawls, Habermas juga berbicara dalam bingkai demokrasi. Bingkai yang tidak boleh dimuati satu pun kebenaran absolut. Konkretnya begini. Satu kebijakan publik, misalnya, tak hanya diambil berdasarkan satu dasar ideologis. Namun, harus berdasarkan konsensus pihak-pihak ideologis yang berkepentingan.
Pengurangan subsidi BBM sangat brilian dari sudut pandang ideologi neo-liberalisme. Efisiensi ekonomi menuntut absennya campur tangan kekuasaan. Namun, ada prioritas nilai yang harus dipertimbangkan; misalnya, apakah efisiensi mesti mengorbankan kualitas hidup sebagian besar masyarakat; haruskah kalkulasi ekonomi meminggirkan hak sosial-ekonomi warga negara; atau benarkah ada dampak langsung efisiensi perusahaan pada turunnya angka pengangguran. Pertanyaan-pertanyaan itu sepertinya kurang diperhatikan para pengambil kebijakan.
Nyata sekali terlihat bagaimana kebijakan pengurangan subsidi BBM sangat mono-dimensional. Pihak-pihak yang berkepentingan tidak pernah dilibatkan. Atau, kalau dilibatkan, hanya satu pihak dan itu pun belum tentu representatif. Ini artinya ada sesuatu yang unfair dalam percaturan politik di republik ini. Dengan kata lain, filsafat politik masih dibutuhkan.
Selain merumuskan prosedur yang fair, filsafat politik juga berjasa memberi perspektif baru atas kenyataan politik. Filsafat politik Foucault, misalnya, memberi kita perspektif baru tentang kekuasaan yang berbeda dengan teoretisasi filosofis sebelumnya. Foucault menggugat teoretisasi klasik yang memandang kekuasaan sebagai hasil dari kontrak sosial dari individu-individu yang berkumpul dan berkonsensus. Kekuasaan yang selalu disangkut-pautkan dengan negara sebagai makro-politik.
Sebaliknya, ia memandang bahwa kekuasaan dalam realitas jauh dari bentukan individu, tetapi malah membentuk individu. Menjadikan individu sebagai tubuh-tubuh politik yang senantiasa melakukan swa-pengawasan atas dirinya. Kekuasaan macam ini memanifestasikan dirinya bukan hanya dalam negara, tetapi juga menyelusup masuk dalam jejaring mikro-mikro politik, mulai dari keluarga sampai penjara.
Ini adalah epistemologi baru (bahasanya Herry Priyono) dalam mempersoalkan kodrat kekuasaan. Kalau kekuasaan tidak lagi bersemayam di negara, maka target kontrol demokratis harus berubah. Lembaga ekonomi, spiritual, sains, sampai pedagogi. Semuanya itu adalah lembaga politis par excellence. Dan semua bentuk lembaga yang mengepung individu secara politis, mestilah akuntabel.
Uraian ini menyisakan pertanyaan sekaligus gugatan. Bagaimana nasib filsafat politik di republik ini. Karena kayaknya, kecenderungan skolastikal masih cukup dominan di kalangan akademisi filsafat. Kerja filosofis sekadar membolak-balik traktat tanpa mampu mengaitkannya dengan isu-isu keseharian. Sedangkan demokrasi di republik ini masih compang-camping.
Politik harian, menurut hemat saya, masih membutuhkan masukan prosedural dari para filsuf politik. Demokratisasi berjalan di tempat tanpa terobosan-terobosan teoretisasi baru filsafat politik.
Politisi boleh mengatakan:
"filsafat adalah filsafat sementara politik adalah politik". Itu benar. Namun, kekeraskepalaan keduanya tidak akan menghasilkan apa-apa. Keduanya harus menemukan titik temu. Para filsuf republik, mulailah bekerja!
Pertanyaan penting yang ingin dijawab dalam buku ini adalah apa hubungan antara aliran filsafat Syaikh Isyraq dengan filsafat politik? Pertanyaan penting ini dijawab oleh penulis dalam sebuah mukadimah dan empat bab.
Empat bab yang dikaji dalam buku ini mengenai kehidupan dan lingkungannya, prinsip-prinsip filsafat politik Syaikh Isyraq, politik dalam filsafat Suhrawardi dan pemerintah ideal menurut Syaikh Isyraq.
Bab pertama membahas tentang kehidupan Syaikh Isyraq mulai dari kehidupan politiknya, sosial dan budaya. Situasi politik dan budaya di masanya juga dibahas di samping bagaimana filsafat politiknya terbentuk.
Bab ke dua dan tiga menjelaskan masalah prinsip-prinsip filsafat politik Suhrawardi, posisi dan substansi politik. Sebagian dari bab ke tiga membahas masalah filsafat teoritis dan praktis dan peran keduanya dalam kehidupan manusia dalam pikiran Syaikh Isyraq. Tertulis, Suhrawardi menganggap keadilan berasal dari kebijakan, keberanian dan kehormatan. Dan ketiganya ini merupakan keharusan dalam melalui suluk praktis. Yang menjadi tolok ukur adalah kemampuan dan kesetimbangan bukan ifrat atau tafrit.
Bab ke empat kita dibawa mengenal pemerintah ideal menurut Suhrawardi. Pada bagian keharusan pemerintah dan negara kita dibawa membaca bukunya Partu Nameh. Di sana disebutkan “Ketahuilah! Karena ketidakmampuan setiap orang untuk melakukan aktivitasnya secara terpisah seperti dagang, nikah dan qisas, maka tidak ada pilihan lain harus berpegangan dengan syariat yang diikutinya atau undang-undang yang ada. Buku ini ditulis dalam 144 halaman.[infosyiah]