Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh→ Epidemiologi, Ekonomi, dan Persepsi Publik, Tiga Jenis Data yang Menjelaskan Tarik Ulur Penerapan PSBB-» Pentingnya data bagi perumusan kebijakan publik sudah tidak perlu diperdebatkan.
Namun, pertanyaannya adalah: data apa yang sebaiknya digunakan sebagai landasan pengambilan kebijakan, dan kapan data tersebut bisa dianggap valid untuk memengaruhi arah kebijakan publik?
Setidaknya ada tiga jenis data yang digunakan oleh pemerintah Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta yang memengaruhi penerapan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), yaitu data epidemiologi, data ekonomi, dan data persepsi publik.
Data epidemiologi cenderung mendorong penerapan atau pengetatan PSBB. Data ekonomi mengarah pada pelonggaran PSBB. Sementara, data survei persepsi publik memberi petunjuk bagi pengambil kebijakan untuk menjembatani gap antara data epidemiologi dan data ekonomi dengan melihat preferensi masyarakat.
Data epidemiologi yang didapat pemerintah di antaranya terkait kronologi penyebaran virus. Ini mulai dari ditemukannya virus korona di Wuhan, Cina, pada Desember 2019, yang kemudian menyebar luas dengan cepat.
Hingga awal Februari 2020, virus ini telah menjangkau hingga lebih dari 16 negara.
Data epidemiologi berikutnya terkait dengan jumlah kasus.
Berdasarkan sebuah studi, virus ini diperkirakan telah masuk ke Indonesia pada bulan Februari. Namun, kasus pertama baru diumumkan pada 2 Maret 2020.
Selama Januari hingga Maret, data jumlah kasus positif yang didapat dan dikelola oleh pemerintah pusat belum bisa menjadi dorongan kuat bagi pemerintah sendiri untuk menerapkan pembatasan sosial.
Selain karena jumlah kasus yang dianggap masih sedikit, pemerintah juga berusaha mencegah kepanikan dan menghindari dampak sosial ekonomi yang cukup serius bila menerapkan pembatasan sosial secara terburu-buru.
Pendekatan terpusat dalam mengelola data epidemiologi dan keengganan pemerintah pusat menerapkan pembatasan sosial kala itu, banyak dikritik oleh masyarakat sipil. Sejak pertengahan Maret, lima kepala daerah mulai berinisiatif menerapkan berbagai versi pembatasan sosial di daerah masing-masing.
Di tengah kencangnya tekanan publik, pemerintah pusat akhirnya menyetujui penerapan kerangka kebijakan PSBB pada akhir Maret. DKI Jakarta menjadi provinsi pertama yang menerapkan PSBB, terhitung sejak awal April 2020.
Seiring dengan penerapan PSBB di Jakarta, data epidemiologi yang sebelumnya dikelola secara terpusat mulai didesentralisasi dan dikelola secara lebih komprehensif, yaitu dengan mengelompokkan kategori pasien atau terduga pasien COVID-19.
Melalui Keputusan Menteri Kesehatan, data epidemiologi pasien COVID-19 dibedakan menjadi empat kelompok, yaitu Pasien Dalam Pengawasan (PDP), Orang Dalam Pemantauan (ODP), Orang Tanpa Gejala (OTG), dan Kasus Konfirmasi.
Berbeda dengan data epidemiologi yang mewakili situasi kesehatan masyarakat, data ekonomi menggambarkan bagaimana penerapan PSSB memengaruhi kondisi perekonomian masyarakat.
Beberapa contohnya adalah data pertumbuhan ekonomi nasional pada kuartal pertama 2020 yang berada di titik terendah dalam 19 tahun terakhir, pernyataan kepala Kamar Dagang Indonesia (KADIN) bahwa enam juta pekerja telah dirumahkan hingga awal Juni, dan pernyataan Gubernur DKI Jakarta yang mengklaim pendapatan daerahnya turun 45% selama PSBB.
Berawal dari data ekonomi tersebut, narasi new normal (normal baru) mulai dicanangkan oleh pemerintah.
Kombinasi data-data perekonomian dengan wacana new normal berujung pada pelonggaran PSBB, yang ditandai dengan penerapan PSBB Transisi di DKI Jakarta pada tanggal 5 Juli 2020.
Namun, masyarakat sipil menyayangkan keputusan ini.
Alih-alih berdamai dan hidup berdampingan dengan virus dalam kerangka new normal, masyarakat sipil bersikukuh menyerukan perang melawan COVID-19, mendorong pemerintah meningkatkan kualitas data epidemiologi, dan merumuskan kebijakan berdasarkan data tersebut.
Meskipun demikian, pelonggaran PSBB mengindikasikan bahwa data-data dari sudut pandang ekonomi telah menggantikan posisi data epidemiologi dalam menentukan arah kebijakan PSBB.
Keputusan ini dilandasi oleh kemunculan data epidemiologi baru, yaitu kapasitas tempat tidur terpakai atau Bed Occupancy Rate (BOR) yang meningkat akibat bertambahnya jumlah pasien positif COVID-19.
Data ini sukses mengembalikan kerangka epidemiologi ke tengah diskusi mengenai PSBB dan menggeser dominasi data ekonomi di periode sebelumnya.
Data BOR tersebut secara tidak langsung juga membuat publik memahami dampak pelonggaran PSBB terhadap layanan kesehatan yang mungkin akan runtuh jika penyebaran virus tidak dikendalikan secara serius.
Selain data BOR, arah kebijakan PSBB juga ditopang oleh data persepsi publik.
Pada awal September 2020, sebuah survei persepsi publik menunjukkan menurunnya dukungan masyarakat terhadap rencana pemerintah untuk memperketat PSBB dari 50% di bulan Mei menjadi hanya 39%.
Sejalan dengan penurunan tersebut, dukungan publik bagi pelonggaran PSBB menguat dari 43% di bulan Mei menjadi 55% di bulan September.
Survei lain pun menunjukkan preferensi publik yang serupa.
Tidak seperti data epidemiologi dan data ekonomi, data-data survei ini dianggap mewakili persepsi masyarakat mengenai tarik ulur pengetatan dan pelonggaran PSBB.
Barangkali bukan kebetulan belaka bila PSBB di Jakarta kemudian dilonggarkan kembali pada pertengahan Oktober 2020. Status ini tidak berubah lagi hingga kerangka kebijakan PSBB diganti dengan kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di awal tahun 2021.
Data dan kebijakan publik Telaah hubungan antara keragaman data dengan arah kebijakan setidaknya memberikan empat pelajaran penting yang saling berhubungan.
Pertama, kerumitan persoalan publik kontemporer menuntut solusi inklusif yang melibatkan berbagai sudut pandang.
Kedua, sadar atau tidak, menggunakan data dari satu perspektif berarti mengabaikan atau mengesampingkan data dari sudut pandang yang lain.
Ketiga, dominasi sebuah data dalam memengaruhi orientasi kebijakan tidak bersifat permanen karena data yang dominan di satu waktu dapat digantikan oleh data lain pada waktu yang berbeda.
Terakhir, setiap jenis data selalu memiliki kecenderungan tertentu dalam menentukan arah kebijakan publik.
Hubungan antara data dan kebijakan ini perlu dipahami dengan sungguh-sungguh oleh para pengambil kebijakan. Sensitivitas dan keterbukaan dalam memilih, membandingkan, termasuk menimbang pertentangan arah dan orientasi kebijakan dari setiap data yang digunakan untuk merumuskan kebijakan, menjadi suatu keharusan di tengah karakter isu publik yang semakin kompleks dan multidimensional.
Namun, pertanyaannya adalah: data apa yang sebaiknya digunakan sebagai landasan pengambilan kebijakan, dan kapan data tersebut bisa dianggap valid untuk memengaruhi arah kebijakan publik?
Setidaknya ada tiga jenis data yang digunakan oleh pemerintah Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta yang memengaruhi penerapan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), yaitu data epidemiologi, data ekonomi, dan data persepsi publik.
Data epidemiologi cenderung mendorong penerapan atau pengetatan PSBB. Data ekonomi mengarah pada pelonggaran PSBB. Sementara, data survei persepsi publik memberi petunjuk bagi pengambil kebijakan untuk menjembatani gap antara data epidemiologi dan data ekonomi dengan melihat preferensi masyarakat.
Data Epidemiologi
Data epidemiologi adalah data yang berkaitan dengan jumlah kasus, penyebaran, maupun risiko virus terhadap situasi kesehatan masyarakat.Data epidemiologi yang didapat pemerintah di antaranya terkait kronologi penyebaran virus. Ini mulai dari ditemukannya virus korona di Wuhan, Cina, pada Desember 2019, yang kemudian menyebar luas dengan cepat.
Hingga awal Februari 2020, virus ini telah menjangkau hingga lebih dari 16 negara.
Data epidemiologi berikutnya terkait dengan jumlah kasus.
Berdasarkan sebuah studi, virus ini diperkirakan telah masuk ke Indonesia pada bulan Februari. Namun, kasus pertama baru diumumkan pada 2 Maret 2020.
Selama Januari hingga Maret, data jumlah kasus positif yang didapat dan dikelola oleh pemerintah pusat belum bisa menjadi dorongan kuat bagi pemerintah sendiri untuk menerapkan pembatasan sosial.
Selain karena jumlah kasus yang dianggap masih sedikit, pemerintah juga berusaha mencegah kepanikan dan menghindari dampak sosial ekonomi yang cukup serius bila menerapkan pembatasan sosial secara terburu-buru.
Pendekatan terpusat dalam mengelola data epidemiologi dan keengganan pemerintah pusat menerapkan pembatasan sosial kala itu, banyak dikritik oleh masyarakat sipil. Sejak pertengahan Maret, lima kepala daerah mulai berinisiatif menerapkan berbagai versi pembatasan sosial di daerah masing-masing.
Di tengah kencangnya tekanan publik, pemerintah pusat akhirnya menyetujui penerapan kerangka kebijakan PSBB pada akhir Maret. DKI Jakarta menjadi provinsi pertama yang menerapkan PSBB, terhitung sejak awal April 2020.
Seiring dengan penerapan PSBB di Jakarta, data epidemiologi yang sebelumnya dikelola secara terpusat mulai didesentralisasi dan dikelola secara lebih komprehensif, yaitu dengan mengelompokkan kategori pasien atau terduga pasien COVID-19.
Melalui Keputusan Menteri Kesehatan, data epidemiologi pasien COVID-19 dibedakan menjadi empat kelompok, yaitu Pasien Dalam Pengawasan (PDP), Orang Dalam Pemantauan (ODP), Orang Tanpa Gejala (OTG), dan Kasus Konfirmasi.
Data Ekonomi
Kerumitan pengelolaan data epidemiologi membuka ruang bagi penggunaan data dari perspektif lain untuk menentukan arah kebijakan PSBB. Data ekonomi kemudian menjadi salah satu alternatif.Berbeda dengan data epidemiologi yang mewakili situasi kesehatan masyarakat, data ekonomi menggambarkan bagaimana penerapan PSSB memengaruhi kondisi perekonomian masyarakat.
Beberapa contohnya adalah data pertumbuhan ekonomi nasional pada kuartal pertama 2020 yang berada di titik terendah dalam 19 tahun terakhir, pernyataan kepala Kamar Dagang Indonesia (KADIN) bahwa enam juta pekerja telah dirumahkan hingga awal Juni, dan pernyataan Gubernur DKI Jakarta yang mengklaim pendapatan daerahnya turun 45% selama PSBB.
Berawal dari data ekonomi tersebut, narasi new normal (normal baru) mulai dicanangkan oleh pemerintah.
Kombinasi data-data perekonomian dengan wacana new normal berujung pada pelonggaran PSBB, yang ditandai dengan penerapan PSBB Transisi di DKI Jakarta pada tanggal 5 Juli 2020.
Namun, masyarakat sipil menyayangkan keputusan ini.
Alih-alih berdamai dan hidup berdampingan dengan virus dalam kerangka new normal, masyarakat sipil bersikukuh menyerukan perang melawan COVID-19, mendorong pemerintah meningkatkan kualitas data epidemiologi, dan merumuskan kebijakan berdasarkan data tersebut.
Meskipun demikian, pelonggaran PSBB mengindikasikan bahwa data-data dari sudut pandang ekonomi telah menggantikan posisi data epidemiologi dalam menentukan arah kebijakan PSBB.
Data Persepsi Publik
Setelah pelonggaran pada bulan Juli 2020, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sempat kembali memperketat pembatasan sosial melalui PSBB kedua pada tanggal 14 September 2020.Keputusan ini dilandasi oleh kemunculan data epidemiologi baru, yaitu kapasitas tempat tidur terpakai atau Bed Occupancy Rate (BOR) yang meningkat akibat bertambahnya jumlah pasien positif COVID-19.
Data ini sukses mengembalikan kerangka epidemiologi ke tengah diskusi mengenai PSBB dan menggeser dominasi data ekonomi di periode sebelumnya.
Data BOR tersebut secara tidak langsung juga membuat publik memahami dampak pelonggaran PSBB terhadap layanan kesehatan yang mungkin akan runtuh jika penyebaran virus tidak dikendalikan secara serius.
Selain data BOR, arah kebijakan PSBB juga ditopang oleh data persepsi publik.
Pada awal September 2020, sebuah survei persepsi publik menunjukkan menurunnya dukungan masyarakat terhadap rencana pemerintah untuk memperketat PSBB dari 50% di bulan Mei menjadi hanya 39%.
Sejalan dengan penurunan tersebut, dukungan publik bagi pelonggaran PSBB menguat dari 43% di bulan Mei menjadi 55% di bulan September.
Survei lain pun menunjukkan preferensi publik yang serupa.
Tidak seperti data epidemiologi dan data ekonomi, data-data survei ini dianggap mewakili persepsi masyarakat mengenai tarik ulur pengetatan dan pelonggaran PSBB.
Barangkali bukan kebetulan belaka bila PSBB di Jakarta kemudian dilonggarkan kembali pada pertengahan Oktober 2020. Status ini tidak berubah lagi hingga kerangka kebijakan PSBB diganti dengan kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di awal tahun 2021.
Data dan kebijakan publik Telaah hubungan antara keragaman data dengan arah kebijakan setidaknya memberikan empat pelajaran penting yang saling berhubungan.
Pertama, kerumitan persoalan publik kontemporer menuntut solusi inklusif yang melibatkan berbagai sudut pandang.
Kedua, sadar atau tidak, menggunakan data dari satu perspektif berarti mengabaikan atau mengesampingkan data dari sudut pandang yang lain.
Ketiga, dominasi sebuah data dalam memengaruhi orientasi kebijakan tidak bersifat permanen karena data yang dominan di satu waktu dapat digantikan oleh data lain pada waktu yang berbeda.
Terakhir, setiap jenis data selalu memiliki kecenderungan tertentu dalam menentukan arah kebijakan publik.
Hubungan antara data dan kebijakan ini perlu dipahami dengan sungguh-sungguh oleh para pengambil kebijakan. Sensitivitas dan keterbukaan dalam memilih, membandingkan, termasuk menimbang pertentangan arah dan orientasi kebijakan dari setiap data yang digunakan untuk merumuskan kebijakan, menjadi suatu keharusan di tengah karakter isu publik yang semakin kompleks dan multidimensional.
di Tulis Oleh: Muhammad Djindan, Dosen, Universitas Gadjah Mada
[Sumber: yang diambil Admin Blog Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh Silahkan Lihat Di→ News The Conversation]