Apalagi jika tren global dalam beberapa waktu ke depan, Jepang mulai dilanda keragu-raguan terhadap kemampuan militer dan pertahanan Amerika Serikat dalam mengimbangi kemampuan militer Republik Rakyat Cina di kawasan Asia Pasifik.
Masalahnya kemudian, jika Jepang memutuskan untuk melepaskan diri dari ikatan Perjanjian Keamanan (Security Arrangement) dengan Amerika, maka seketika itu pula Jepang cukup beralasan untuk mengembangkan kembali postur pertahanan nasionalnya, termasuk membangun kembali pasukan dan peralatan militernya baik di angkatan darat, laut dan udara.
Munculnya kembali militerisme Jepang? Bisa jadi. Kesepakatan strategis Cina-Jepang baru-baru ini untuk tidak lagi mempersoalkan pertikaian historis di masa lalu, bagi para penentu kebijakan strategis Amerika tentunya cukup mencemaskan, di tengah kian tajamnya persaingan dengan Cina dalam berebut pengaruh di kawasan Asia Pasifik. Karena bukan tidak mungkin, kedekatannya terhadap Cina pada gilirannya akan dijadikan momentum oleh Jepang untuk memperkuat dirinya secara militer, sekaligus menjadikan dirinya sebagai aktor politik independent yang bebas dari pengaruh Amerika di kawasan Asia Pasifik.
Salah satu indikasi semakin kuatnya ketakutan berbagai kalangan dunia internasional terhadap bangkitnya militerisme Jepang adalah munculnya kembali isu Jugun Ianfu(wanita penghibur).
Sebagaimana ditulis dengan sangat baik oleh Simon Saragih di harian Kompas beberapa waktu yang lalu, Yoshiaki Yoshimi, sejarawan Jepang dari Universitas Chuo di Tokyo, secara kebetulan menemukan sebuah dokumen pada dekade 1980-an yang memperlihatkan sebuah fakta penting bahwa militer Jepang pernah mengeluarkan perintah pengadaan rumah-rumah bordil untuk kepentingan tentara di medan laga.
Dengan memberi sebuah contoh daerah Cina utara yang sempat diduduki Jepang, dokumen tersebut sempat mengungkap fakta mengenai sepak-terjang Kepala Staf Tentara Jepang yang menduduki Cina Utara pada saat Perang Dunia II, yang menghendaki diadakannya rumah-rumah bordil dengan tujuan menghentikan keganasan sexual tentara Jepang yang kerap memperkosa wanita-wanita setempat.
Apapun alasannya, berbagai fakta yang berhasil diungkap para sejarawan dalam studi-studi mengenai perilaku militer Jepang, memang membenarkan bahwa pada akhir Perang Dunia II ada sekitar 200.000 wanita yang dimasukkan ke rumah-rumah bordil untuk melayani tentara Jepang di seluruh negara Asia yang mereka duduki.
Fakta fundamental yang diajukan oleh Yoshimi melalui terungkapnya sebuah dokumen penting, meski ini hanya salah satu di antaranya, tentunya bukan sebuah berita bagus bagi pemerintahan Jepang di bawah kepemimpinan Shinzo Abe yang justru dikenal berhaluan konservatif dan cenderung nasionalistik.
Meski demikian, Shinzo Abe tidak kehilangan argumentasi dalam membantah fakta fundamental yang diajukan Yoshimi.
Tentu saja pernyataan provokatif Abe mengundang reaksi keras publik, tak terkecuali Yoshimi.
Tapi anehnya, seperti dilansir berbagai media massa, meski meragukan kebenaran sejarah Jugun Ianfu, namun Abe sempat meminta maaf secara terbuka dan mengakui soal Jugun Ianfu, dan menjanjikan diadakannya penyelidikan baru soal Jugun Ianfu.
Kenyataan ini menginsyaratkan dua hal penting. Pertama, secara faktual Abe pada dasarnya mengakui bahwa di masa Perang Dunia kedua, Jugun Ianfu memang terbukti ada. Hanya saja, Abe mencoba memberi perspektif yang berbeda terhadap mengapa Jugun Ianfu tersebut bisa terjadi. Itulah sebabnya dia mengajukan tesis bahwa Jugun Ianfu terjadi karena didorong oleh kondisi perekonomian yang buruk.
Satu segi yang coba dikaburkan oleh Abe adalah fakta bahwa keberadaan Jugun Ianfu, biar bagaimanapun juga, sangat dimungkinkan karena berlakunya pemerintahan militerisme-fasisme Jepang di negara-negara yang diduduki Jepang.
Di sinilah dilema Shinzo Abe. Sebagai perdana menteri Jepang yang salah satu prioritas utama programnya adalah memperkuat kembali identitas nasional Jepang, maka program penguatan dan modernisasi personil dan peralatan militer, dengan serta merta akan dicurigai sebagai langkah awal untuk menghidupkan kembali fasisme-militerisme Jepang. Dan denga maraknya kembali isu Jugun Ianfu sebagai praktek perbudakan seks di masa fasisme Jepang pada Perang Dunia Kedua, maka program penguatan dan revitalisasi identitas nasional Jepang dalam tahun-tahun mendatang nampaknya akan mengundang reaksi keras dari berbagai kalangan, termasuk di Jepang sendiri.
Apalagi sejak 1993, pemerintah Jepang semasa Perdana Menteri Tomiichi Maruyama, sempat mengeluarkan pernyataan Kono yang menyebutkan, “memohon maaf yang amat dalam dan menyesali kejadian tersebut.” Artinya, secara eksplisit Pemerintahan Jepang ketika itu mengakui keterlibatan langsung tentara Jepang ihwal perbudakan seks tersebut.
Ini sekaligus membuktikan, bahwa konstalasi politik dalam negeri Jepang itu sendiri masih terbelah dalam dua faksi. Bagi kelompok nasionalis konservatif seperti Shinzo Abe, meskipun mengakui sampai batas tertentu citra buruk Jepang gara-gara Jugun Ianfu di masa silam, namun tetap menggarisbawahi pentingnya program penguatan identitas nasional Jepang, termasuk kemungkinan membangun kembali angkatan perangnya untuk menunjang peran baru negaranya sebagai kekuatan independen di kawasan Asia Pasifik yang bebas dari pengaruh Amerika maupun Cina.
Faksi lain yang cenderung lebih liberal, nampaknya masih menganggap persekutuan politik dan militer dengan Amerika sebagai agenda utama, dan karenanya cenderung mengabaikan berbagai program yang ditujukan untuk memperkuat kembali semangat dan sentimen nasional bangsa Jepang, apalagi kemungkinan menghidupkan kembali angkatan bersenjatanya.
Namun fakta politik saat ini, yang menguasai arah kebijakan politik luar negeri adalah Shinzo Abe yang berpandangan nasionalistik dan mendambakan kemunculan kembali Jepang sebagai negara-bangsa yang kuat tidak saja secara ekonomi tapi juga politik, kebudayaan dan pertahanan.
Karena itu, maraknya kembali isu Jugun Ianfu semasa fasisme militer Jepang pada Perang Dunia II, nampaknya harus dinetralisasi dan ditangkal oleh Abe secara persuasive dan penuh kearifan. Sehingga Abe bisa membuktikan dan meyakinkan publik bahwa program penguatan identitas nasional Jepang tidak secara otomatis akan menghidupkan kembali fasisme Jepang ala Perang Dunia II, sehingga memberi ruang terjadinya kembali praktek perbudakan seks ala Jugun Ianfu.
Kalau tidak, maka jangan salahkan berbagai kalangan yang mencemaskan kembalinya fasisme militer Jepang. Sekaligus membenarkan dugaan kuat berbagai kalangan bahwa Jugun Ianfu memang produk langsung dari skema Fasisme militer Jepang.
Masalahnya kemudian, jika Jepang memutuskan untuk melepaskan diri dari ikatan Perjanjian Keamanan (Security Arrangement) dengan Amerika, maka seketika itu pula Jepang cukup beralasan untuk mengembangkan kembali postur pertahanan nasionalnya, termasuk membangun kembali pasukan dan peralatan militernya baik di angkatan darat, laut dan udara.
Munculnya kembali militerisme Jepang? Bisa jadi. Kesepakatan strategis Cina-Jepang baru-baru ini untuk tidak lagi mempersoalkan pertikaian historis di masa lalu, bagi para penentu kebijakan strategis Amerika tentunya cukup mencemaskan, di tengah kian tajamnya persaingan dengan Cina dalam berebut pengaruh di kawasan Asia Pasifik. Karena bukan tidak mungkin, kedekatannya terhadap Cina pada gilirannya akan dijadikan momentum oleh Jepang untuk memperkuat dirinya secara militer, sekaligus menjadikan dirinya sebagai aktor politik independent yang bebas dari pengaruh Amerika di kawasan Asia Pasifik.
Salah satu indikasi semakin kuatnya ketakutan berbagai kalangan dunia internasional terhadap bangkitnya militerisme Jepang adalah munculnya kembali isu Jugun Ianfu(wanita penghibur).
Sebagaimana ditulis dengan sangat baik oleh Simon Saragih di harian Kompas beberapa waktu yang lalu, Yoshiaki Yoshimi, sejarawan Jepang dari Universitas Chuo di Tokyo, secara kebetulan menemukan sebuah dokumen pada dekade 1980-an yang memperlihatkan sebuah fakta penting bahwa militer Jepang pernah mengeluarkan perintah pengadaan rumah-rumah bordil untuk kepentingan tentara di medan laga.
Dengan memberi sebuah contoh daerah Cina utara yang sempat diduduki Jepang, dokumen tersebut sempat mengungkap fakta mengenai sepak-terjang Kepala Staf Tentara Jepang yang menduduki Cina Utara pada saat Perang Dunia II, yang menghendaki diadakannya rumah-rumah bordil dengan tujuan menghentikan keganasan sexual tentara Jepang yang kerap memperkosa wanita-wanita setempat.
Apapun alasannya, berbagai fakta yang berhasil diungkap para sejarawan dalam studi-studi mengenai perilaku militer Jepang, memang membenarkan bahwa pada akhir Perang Dunia II ada sekitar 200.000 wanita yang dimasukkan ke rumah-rumah bordil untuk melayani tentara Jepang di seluruh negara Asia yang mereka duduki.
Fakta fundamental yang diajukan oleh Yoshimi melalui terungkapnya sebuah dokumen penting, meski ini hanya salah satu di antaranya, tentunya bukan sebuah berita bagus bagi pemerintahan Jepang di bawah kepemimpinan Shinzo Abe yang justru dikenal berhaluan konservatif dan cenderung nasionalistik.
Meski demikian, Shinzo Abe tidak kehilangan argumentasi dalam membantah fakta fundamental yang diajukan Yoshimi.
“Tidak ada pemaksaan atau penculikan atas perempuan Asia yang kemudian jadi Jugun Ianfu. Tidak ada kesaksian yang bisa dipercaya soal pemaksaan itu,” tukas Abe. Bahkan secara provokatif Abe mengatakan bahwa adalah “kondisi ekonomi serta peran para germo” yang memungkinkan terjadinya perbudakan seks.
Tentu saja pernyataan provokatif Abe mengundang reaksi keras publik, tak terkecuali Yoshimi.
“Pemerintah justru menjadi pemrakarsa dan para germo hanya sebagai alat. Fakta itu jangan diputarbalikkan, demikian pernyataan balasan Yoshimi terhadap argumentasi Abe.
Tapi anehnya, seperti dilansir berbagai media massa, meski meragukan kebenaran sejarah Jugun Ianfu, namun Abe sempat meminta maaf secara terbuka dan mengakui soal Jugun Ianfu, dan menjanjikan diadakannya penyelidikan baru soal Jugun Ianfu.
Kenyataan ini menginsyaratkan dua hal penting. Pertama, secara faktual Abe pada dasarnya mengakui bahwa di masa Perang Dunia kedua, Jugun Ianfu memang terbukti ada. Hanya saja, Abe mencoba memberi perspektif yang berbeda terhadap mengapa Jugun Ianfu tersebut bisa terjadi. Itulah sebabnya dia mengajukan tesis bahwa Jugun Ianfu terjadi karena didorong oleh kondisi perekonomian yang buruk.
Satu segi yang coba dikaburkan oleh Abe adalah fakta bahwa keberadaan Jugun Ianfu, biar bagaimanapun juga, sangat dimungkinkan karena berlakunya pemerintahan militerisme-fasisme Jepang di negara-negara yang diduduki Jepang.
Di sinilah dilema Shinzo Abe. Sebagai perdana menteri Jepang yang salah satu prioritas utama programnya adalah memperkuat kembali identitas nasional Jepang, maka program penguatan dan modernisasi personil dan peralatan militer, dengan serta merta akan dicurigai sebagai langkah awal untuk menghidupkan kembali fasisme-militerisme Jepang. Dan denga maraknya kembali isu Jugun Ianfu sebagai praktek perbudakan seks di masa fasisme Jepang pada Perang Dunia Kedua, maka program penguatan dan revitalisasi identitas nasional Jepang dalam tahun-tahun mendatang nampaknya akan mengundang reaksi keras dari berbagai kalangan, termasuk di Jepang sendiri.
Apalagi sejak 1993, pemerintah Jepang semasa Perdana Menteri Tomiichi Maruyama, sempat mengeluarkan pernyataan Kono yang menyebutkan, “memohon maaf yang amat dalam dan menyesali kejadian tersebut.” Artinya, secara eksplisit Pemerintahan Jepang ketika itu mengakui keterlibatan langsung tentara Jepang ihwal perbudakan seks tersebut.
Ini sekaligus membuktikan, bahwa konstalasi politik dalam negeri Jepang itu sendiri masih terbelah dalam dua faksi. Bagi kelompok nasionalis konservatif seperti Shinzo Abe, meskipun mengakui sampai batas tertentu citra buruk Jepang gara-gara Jugun Ianfu di masa silam, namun tetap menggarisbawahi pentingnya program penguatan identitas nasional Jepang, termasuk kemungkinan membangun kembali angkatan perangnya untuk menunjang peran baru negaranya sebagai kekuatan independen di kawasan Asia Pasifik yang bebas dari pengaruh Amerika maupun Cina.
Faksi lain yang cenderung lebih liberal, nampaknya masih menganggap persekutuan politik dan militer dengan Amerika sebagai agenda utama, dan karenanya cenderung mengabaikan berbagai program yang ditujukan untuk memperkuat kembali semangat dan sentimen nasional bangsa Jepang, apalagi kemungkinan menghidupkan kembali angkatan bersenjatanya.
Namun fakta politik saat ini, yang menguasai arah kebijakan politik luar negeri adalah Shinzo Abe yang berpandangan nasionalistik dan mendambakan kemunculan kembali Jepang sebagai negara-bangsa yang kuat tidak saja secara ekonomi tapi juga politik, kebudayaan dan pertahanan.
Karena itu, maraknya kembali isu Jugun Ianfu semasa fasisme militer Jepang pada Perang Dunia II, nampaknya harus dinetralisasi dan ditangkal oleh Abe secara persuasive dan penuh kearifan. Sehingga Abe bisa membuktikan dan meyakinkan publik bahwa program penguatan identitas nasional Jepang tidak secara otomatis akan menghidupkan kembali fasisme Jepang ala Perang Dunia II, sehingga memberi ruang terjadinya kembali praktek perbudakan seks ala Jugun Ianfu.
Kalau tidak, maka jangan salahkan berbagai kalangan yang mencemaskan kembalinya fasisme militer Jepang. Sekaligus membenarkan dugaan kuat berbagai kalangan bahwa Jugun Ianfu memang produk langsung dari skema Fasisme militer Jepang.
di Tulis Oleh: Editor theglobal-review Rusman
[Sumber: yang diambil Admin Blog Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh Silahkan Lihat Di→ News theglobal-review]
0 Responses to komentar:
Post a Comment
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Peraturan Berkomentar
[1]. Dilarang menghina, Promosi (Iklan), Menyelipkan Link Aktif, dsb
[2]. Dilarang Berkomentar berbau Porno, Spam, Sara, Politik, Provokasi,
[3]. Berkomentarlah yang Sopan, Bijak, dan Sesuai Artikel, (Dilarang OOT)
[3]. Bagi Pengunjung yang mau tanya, Sebelum bertanya, Silakan cari dulu di Kotak Pencarian
“_Terima Kasih_”