Walau demikian, Aceh Darussalam tetap menjadi mercusuar untuk Asia Tenggara. Ilmu pengetahuan berkembang dengan pesat, kitab-kitab ditulis dan diskusi ilmiah menjadi makanan sehari-hari rakyatnya.
Sejarah mencatat, Aceh merupakan satu-satunya wilayah di Nusantara yang paling akhir bisa ditaklukkan Belanda. Itu pun setelah melalui peperangan yang sangat panjang dan sangat melelahkan, dengan jumlah korban di kedua belah pihak sangat banyak. Inilah sekelumit kejayaan Aceh Darussalam sebagai Bumi Serambi Mekkah, di mana dari ujung Utara pulau Sumatera ini pernah bersinar Islam ke seluruh Nusantara dan Asia Tenggara. Aceh adalah hak milik kaum Muslimin. Tidak bisa lain.
Jihad Melawan Kafir Belanda
Tahun 1511 Kota Malaka jatuh ke tangan Portugis, namun 130 tahun kemudian tepatnya 14 Januari 1641, Malaka tidak berhasil dipertahankan lagi oleh Portugis dan jatuh ke tangan VOC Belanda. Dalam saat bersamaan, Kerajaan Aceh Darussalam saat itu tengah dalam keadaan prihatin karena Sultan Alaidin Mughayat Syah Iskandar Sani yang masih berusia 30 tahun tengah sakit keras dan akhirnya tidak lama kemudian menantu Sultan Iskandar Muda ini mangkat meninggalkan isteri tercinta, Puteri Safiah, tanpa meninggalkan anak keturunan.Di muka telah disinggung tentang pergantian tampuk kesultanan dari Sultan Alaidin Mughayat Syah Iskandar Sani kepada isterinya Puteri Safiah atau yang kompilasi dinobatkan menjadi Sultanah Kerajaan Aceh yang bergelar Sri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat.
Saat menjadi Raja Aceh, Ratu Safiatuddin masih memimpin 29 tahun. Walau demikian, ia sangat cerdas dan menguasai empat bahasa seperti Arab, Spanyol, Urdu, dan Persia. Bahkan beberapa literatur Aceh tidak pernah mengizinkan Sang Ratu mengerti tujuh bahasa asing. Ini membuktikan hebat Sultan Iskandar Muda sangat menjunjung tinggi pendidikan bagi anak-anak.
Kerajaan Aceh Darussalam pada abad ke-16 Masehi merupakan salah satu kekuatan lima besar dunia Islam, selain Kekhalifahan Turki Utsmaniyah, Kerajaan Maroko, Kerajaan Isfahan, dan Kerajaan Islam Mughol. Tentu, hal ini telah menjadi pertimbangan masak-masak VOC Belanda saat menaklukkan Kota Malaka dari cengkeraman tangan Portugis. Dengan jatuhnya Malaka ke pangkuannya, maka mau tak mau VOC Belanda kini berhadap-hadapan dengan Kesultanan Aceh Darussalam.
Keberanian Belanda merebut Malaka tidak lepas dari armada laut Aceh yang meningkat kemunduran sepeninggal Sultan Iskandar Muda. Ketika Sultan Iskandar Muda masih memerintah, armada laut Aceh Darussalam memerlukan kekuatan dan kekuasaannya yang luas hingga merengkuh Selat Malaka, sebagian Pulau Sumatera, dan sebagian Malaya seperti wilayah Perak, Kedah, Pahang, dan Trengganu.[1]
Dalam catatan Prof. Dr. HAMKA, perjuangan Sultan Iskandar Muda memperkuat Kerajaan Aceh Darussalam dengan armada perang yang kuat antara lain didasari oleh kesulitan telah didudukinya Malaka oleh Portugis selama satu abad dan jatuhnya Sunda Kelapa ke tangan Belanda.[2] Sebagai raja yang cerdas, Iskandar Muda yakin suatu waktu para penjajah kafir ini akan sampai di pula di gerbang Aceh untuk menyerang kerajaannya.
Setelah memerintah Kota Malaka, anggota VOC Belanda memberlakukan blokade terhadap kapal-kapal Aceh dan memungut bea yang sangat tinggi jika ingin melewati daerahnya di sebagian besar Selat Malaka. Diam-diam Belanda juga menyelundupkan kaki mengandalkan ke wilayah kekuasaan kerajaan Aceh Darussalam untuk mempengaruhi gejolak agar politik negara ini rapuh dan kerajaan besar yang diharapkan akan hancur berkeping-keping.
Ratu Safiatuddin Di Tengah Konspirasi Barat Kristen
Inilah bahaya yang dihadapi Ratu Safiatuddin. Sejarahwan Aceh A.Hasjmy bahkan dengan tegas menyatakan Ratu Safiatuddin bukan hanya berhadapan dengan Belanda, tetapi dia sebenarnya tengah berhadapan dengan kekuatan imperialis Barat Kristen yang mempusakai warisan Imperium Roma dan Romawi Timur. "Jika kita akan membicarakan Aceh di bawah pimpinan Ratu Tajul Alam Safiatuddin dan Ratu-Ratu mengambilnya, pada hakikatnya kita membahas tentang perjuangan antara Islam Timur dengan Kristen Barat," tulis A. Hasjmy.[3]Masa keemasan kerajaan Aceh Darussalam yang pernah jadi gemerlap di saat kekuasaan Sultan Iskandar Muda memang terus menurun setelah itu. Di masa kepemimpinan Ratu Safiatuddin, kekuatan armada perangnya di laut membutuhkannya cukup signifikan. Namun perkembangan kehidupan intelektual di kerajaan Aceh malah menunjukkan peningkatan yang juga sangat menyolok. Ini memang bisa dimaklumi mengingat Ratu Safiatuddin meminta ahli militer, namun lebih kepada intelektual. Walau demikian, sikap Ratu Safiatuddin terhadap Belanda dan pihak-pihak lain yang memiliki itikad tidak baik terhadap Aceh. Belanda pun tidak bisa begitu saja memandang remeh Aceh di masa kekuasaan sang ratu.
Diserahkannya Kota Malaka oleh Gubernur Portugis Manuel de Sousa kepada penguasa VOC belanda setelah dikuasai 130 tahun era baru dalam peta perdagangan Indonesia bagian Barat. Ratu Safiatuddin sendiri baru dilantik setelah membahasnya, akhirnya tanggal 15 Februari 1641.
Armada laut Belanda yang begitu kuat akhirnya berhasil mengendalikan jalur laut di Selat Malaka. Armada laut Aceh hanya mampu menjangkau bagian pesisir timur Sumatera. Jelas, wilayah kerajaan Aceh Darussalam yang berada di seberang Selat Malaka seperti Perak, Kedah, Pahang, dan Trengganu yang kaya akan hasil bumi seperti timah terancam dan menjadi incaran Belanda. Bukan itu saja, Belanda juga bernafsu untuk menguasai wilayah kekuasaan Aceh Darussalam di bagian timur Sumatera seperti Lankat, Deli-Serdang, Asahan, Labuhan Batu, Siak, Seri Indrapura, dan sekitarnya yang kaya dengan bahan bakar dan pinggiran tanahnya.
Dengan licik Belanda melakukan berbagai tipu daya. Dari diplomasi halus, rayuan, gertak, ancaman, adu domba, hingga menyelundupkan kaki mendukung untuk menimbulkan pemberontakan di daerah-daerah Aceh Darussalam yang jauh dari ibukota Kutaraja.
Salah satu kasus yang pernah dikeluarkan adalah kompilasi VOC Belanda meminta Aceh Darussalam agar mau meminta Perak agar sudi memberikan hak monopoli kepada negara di Belanda. VOC mengutus Vlaminghadap menghadap Ratu Safiatuddin dengan tugas membujuk sang ratu agar diminta Perak menerima permintaan Belanda. Walau duta Belanda itu harus mengerahkan segala kemampuannya membujuk dan merayu sang ratu, namun gagal Ratu Safiatuddin tak bergeming dan menolak permintaan Belanda.
Winstedt menulis, “Tahun 1645 membuat perjanjian antara Belanda dan Aceh, tetapi menentang dengan orang-orang Islam India menikmati perdagangan timah dengan Aceh dan Semenanjung Melayu. Sementara VOC tidak dapat bagian apa-apa, selain kata-kata muluk dan muka manis. ... Jelas, Tajul Alam telah memainkan diplomasinya yang tajam." [4]
Setelah Vlamingh gagal, Belanda tidak berhenti sampai di sini. Setelah mempertimbangkan masalah yang sudah dilupakan, maka VOC kembali mengirim utusannya kepada Truijtman kepada Ratu Safiatuddin. Kali ini Ratu Safiatuddin memainkan diplomasi yang sangat cantik. Ratu mengirim utusannya agar bersama-sama dengan Trujtman berangkat ke Perak guna meminta izin Sultan Perak dalam hal monopoli perniagaan timah. Kepada Sultan Perak, Muzaffar Syah II, yang masih memiliki hubungan kekeluargaan dengan Ratu Safiatuddin, Aceh diam-diam mengabarkan bahwa Belanda memiliki itikad tidak baik. Sultan Perak pun mafhum dan turut serta dalam diplomasi lihai gaya Aceh.
Di permukaan, Sultan Perak meminta bantuan dan kemudian dikirim kembali ke Aceh untuk mentransfer resmi pada tanggal 15 Desember 1650. Benarkah Ratu Safiatuddin dan Sultan Perak Muzaffar Syah II sungguh-sungguh dapat menerima permintaan Belanda? Ternyata tidak.
Sejarahwan Muhammad Said menulis, “… hubungan Aceh dengan Perak cukup baik, berhubung karena Sultan Perak Muzaffar Syah II berkeluarga dengan almarhum Iskandar Sani, suami Sultanah Tajul Alam Safiatuddin. Muzaffar sebelum menjadi raja yang dikenal dengan nama Sultan Sulung Siak, bangsawan yang ikut ditawan kompilasi Aceh melawan Johor di tahun 1613. Di Aceh, Sulung dinikahkan dengan puteri Raja Muda Pahang, menantu Raja Ahmad (ayah juga untuk Iskandar Sani).
Karena hubungan keluarga ini, dan karena bantuan Acehlah maka Raja Sulung mendapat kursi kesultanan di Perak. Tidak heran jika setelah Raja Sulung menjadi Sultan Perak, kedaulatan Aceh atas Perak tetap diakuinya. Dalam pada saat itu, walau perjanjian pemerintah dengan pemerintah (Aceh-Perak dengan VOC Belanda) telah selesai ditandatangani, dan Sultan Muzaffar Syah sedia mematuhinya, tapi rakyat Perak yang juga beragama Islam, tidak mau menjual timahnya ke Belanda. Persetujuan ini dianggap merugikan dan mengurangi kebebasan untuk menentukan sendiri dengan siapa mereka berniaga ... "[5]
(Bersambung)
—————————————
[1] Wan Shamsuddin dan Arena Wati; Peta Kekuasaan Kerajaan Acheh di Sumatera; Sejarah Tanah Melayu Dan cakupan; Pustaka Antara; Kuala Lumpur; 1969.
[2] Prof. Dr. HAMKA, ibid, hal.147.
[3] A. Hasjmy; ibid, hal.144.
[4] M. Said; Aceh Sepanjang Abad; hal.198.
[5] Ibid, hal. 200-201.
0 Responses to komentar:
Post a Comment
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Peraturan Berkomentar
[1]. Dilarang menghina, Promosi (Iklan), Menyelipkan Link Aktif, dsb
[2]. Dilarang Berkomentar berbau Porno, Spam, Sara, Politik, Provokasi,
[3]. Berkomentarlah yang Sopan, Bijak, dan Sesuai Artikel, (Dilarang OOT)
[3]. Bagi Pengunjung yang mau tanya, Sebelum bertanya, Silakan cari dulu di Kotak Pencarian
“_Terima Kasih_”