Aceh Darussalam Salah Satu Kekuatan Islam Dunia
Sejak masih menjadi Kerajaan Islam Peureulak, Kerajaan Islam Samudera Pase hingga Aceh Darusalam, Islam telah menjadi landasan dan konstitusi kerajaan tertinggi. Dari yang paling tinggi, struktur perundangan dan hukum yang berlaku adalah Al-Qur'an, Sunnah, Ijma Ulama, dan Qiyas. Ini dibahas jelas dalam Adat Meukuta Alam (Undang-Undang Dasar Kerajaan Aceh Darussalam).Adalah menarik untuk dilakukan pengkajian lebih mendalam, yaitu sejarah telah dirilis Kerajaan Aceh Darussalam yang mendasarkan diri pada Al-Qur'an dan Sunnah ini tampaknya pernah dipimpin oleh empat orang muslimah yang bergelar Sultanah dari 31 raja yang pernah dihubungi kerajaan ini.
Para muslimah ini berjuang dalam empat periode berkelanjutan.
Mereka adalah:
- Sri Ratu Tajul Alam Safiatuddin (Memerintah Tahun 1050-1086 H),
- Sri Ratu Nurul Alam Naqiatuddin (Memerintah Tahun 1086-1088 H),
- Sri Ratu Zakiatuddin Inayat Syah (Memerintah Tahun 1088-1098 H), dan
- Sri Ratu Kamalat Syah (Memerintah Tahun 1098-1109 H).
Mereka adalah:
- Laksamana Malahayati yang gagah berani dalam memimpin armada laut Kerajaan Aceh Darussalam melawan Portugis;
- Cut Nyak Din yang memimpin perang melawan Belanda setelah suaminya, Teuku Umar, syahid;
- Teungku Fakinah, seorang ustadzah yang memimpin resimen laskar perempuan dalam perang melawan Belanda, usai perang Fakinah mendirikan pusat pendidikan Islam bernama Dayah Lam Diran;
- Cut Meutia, selama 20 tahun memimpin perang gerilya dalam belukar hutan Pase yang akhirnya menemui syahid karena Meutia bersumpah tidak akan menyerah hidup-hidup kepada kape Belanda;
- Pocut Baren, seorang pemimpin gerilya yang sangat berani dalam perang melawan Belanda di tahun 1898-1906;
- Pocut Meurah Intan, juga serig disebut dengan nama Pocut Biheu, bersama anak-anaknya Tuanku Muhammad, Tuanku Budiman, dan Tuanku Nurdin berperang melawan Belanda di hutan belukar hingga tertawan setelah terluka parah di tahun 1904;
- Cutpo Fatimah, teman seperjuangan Cut Meutia, puteri ulama besar Teungku Chik Mata Ie yang bersama suaminya bernama Teungku Dibarat melanjutkan perang setelah Cut Meutia syahid, hingga dalam pertempuran tanggal 22 Februari 1912,
- Cutpo Fatimah dan suaminya syahid bertindih badan diterjang peluru Belanda.
(Catatan Penulis: coba bandingkan kiprah R.A. Kartini yang sesungguhnya adalah kisah perjuangan yang kalah, dengan perjuangan Srikandi-Srikandi Aceh Darussalam ini yang sangat hebat. Jika mau adil, seharusnyalah tokoh emansipasi Indonesia itu adalah Srikandi-Srikandi Aceh ini, bukan R. A. Kartini. Namun disebabkan intervensi “sejarawan kolonialis Belanda” maka fakta ini sengaja dihilangkan dan bangsa Indonesia disodori Tokoh Emansipasi yang dalam sejarahnya ternyata harus mengalah demi realitas. Sebab itu penulisan sejarah Indonesia harus diulang!)
Amat mungkin, karena ruang gerak perempuan-perempuan Aceh yang sangat luas, tidak berbeda dengan lelakinya, maka hal ini turut mempengaruhi cara mereka.
HAMKA menulis, “Di seluruh tanah air kita ini, hanya di Aceh pakaian asli perempuan. Sebab mereka pun turut aktif dalam perang. Mereka menyediakan perbekalan makanan, membantu di garis belakang dan pergi ke medan perang merawat yang luka. ” [1]
Hal itu pula yang menjadi sebabnya, mengingat sejarah Teuku Umar Johan Pahlawan tidak dapat dipertentangkan dari sejarah isterinya Teuku Cut Nyak Dien yang bertambah-tahun setelah dikumpulkan syahid diterjang peluru Belanda, isterinya itu masih berjuang keras, walau tinggal seorang diri.
Cut Nyak Dien tetap bertahan di dalam gua di tengah-tengah hutan belukar yang sangat menantang, walau itu sudah sangat besar dan hanya ditemani sisa laskarnya, para perempuan Aceh, yang dibutuhkan sekitar 4-5 orang.
Seorang pengawalnya tidak dapat menahan kesedihan karena menyaksikan dipikul Cut Nyak Dien yang sangat tegar dan tabah. Didorong oleh perasaan kasihan dan melihat pertanggungan sudah sulit dimenangkan karena sudah tidak seimbang, maka ia keluar dari hutan dan ditangani serdadu Marsose Belanda tempat persembunyian komandannya itu.
Seorang pengawalnya tidak dapat menahan kesedihan karena menyaksikan dipikul Cut Nyak Dien yang sangat tegar dan tabah. Didorong oleh perasaan kasihan dan melihat pertanggungan sudah sulit dimenangkan karena sudah tidak seimbang, maka ia keluar dari hutan dan ditangani serdadu Marsose Belanda tempat persembunyian komandannya itu.
Pasukan elit Belanda segera menghancurkan hutan belukar berhari-hari dan akhirnya menemukan sebuah gua yang digantikan oleh Cut Nyak Dien yang sudah tua, bingung, dan badannya sangat ringkih karena kurang makan.
Tatkala opsir Belanda memapah Cut Nyak Dien dengan memegang lengannya, Srikandi Aceh dengan tegas mengatakan, "Bek kamat ke, kapeh celaka!" (Jangan pegang tanganku, kafir celaka! ”). Dengan tertatih dan berkali-kali tertandung dan jatuh, Cut Nyak Dien disetujui berjalan sendiri tanpa dipegangi tangan si kafir keluar dari persembunyiannya.
Keteguhan Cut Nyak Dien ini membuat kagum seorang HAMKA yang menulis:
1. BAPAK. TH Moehammad Hasan, putera Aceh mantan anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), dalam biografinya [3] menerima pengakuan seorang perwira tentara kolonial Belanda yang meminta bantuan saat perang kolonial di Aceh bernama HC Zentgraaf.
Perwira Belanda menyatakan,
Rakyat Aceh sangat paham bahwa tiada hal yang patut dibanggakan di dunia ini selain menjadi seorang Muslim yang taat. Islam adalah harga diri yang tidak bisa ditukar dengan apa pun selama hayat dikandung badan. Ini membantu dalam-dalam di setiap dada orang Aceh. Kebanggaan mereka akan Islam mengurat-akar dalam-dalam dan memiliki catatan historis yang sangat panjang dan disetujui.
Di awal abad ke-16 saja, setelah lama jatuhnya kekuatan Islam di Baghdad dan Cordoba, dunia mengenal lima kekuatan besar Islam. Menurut Wilfred Cantwell Smith dalam Islam dalam Sejarah Modern, jumlah terbesar Islam dunia itu adalah: Kekhalifahan Turki Utsmaniyah di Asia Kecil yang berpusat di Istanbul, Kerajaan Maroko di Afrika Utara yang berpusat di Rabat, Kerajaan Isfahan di Timur Tengah yang berpusat di Persia, Kerajaan Islam Mughol di anak benua India yang berpusat di Acra, dan yang benua Kerajaan Aceh Darussalam di Asia Tenggara yang berpusat di Banda Aceh.
Sejarawan Aceh A. Hasjmi memaparkan, “Kemunculan lima kekuatan besar Islam di arena percaturan internasional dilihat dengan cemas oleh Dunia Barat Kristen, karena mungkin sekali sesuai dengan analisa mereka, maka kekuatan Islam yang baru ini akan membangun kembali Zaman Baghdad dan Zaman Cordova dengan gaya baru. ” Yang membuat Barat Kristen (maksudnya Eropa) cemas karena mereka melihat kekuatan Islam terus berkembang. Kerajaan Islam Maroko mengembangkan pengaruhnya dari Afrika Utara ke Afrika, bahkan ada yang menentang Thariq bin Ziyad yang baru akan menyeberangi Selat Gibraltar menuju Bumi Andalusia.
Kekhalifahan Turki Utsmaniyah setelah menyelesaikan seluruh Asia Kecil, mereka mulai membebaskan pulau-pulau di Lautan Tengah, melintasi Selat Dardanella ke Arah Balkan, hingga tentaranya yang ditingkatkan di bandara kota Wina dan sangat memungkinkan di Eropa, jantungnya Terra Biblica !.
Kerajaan Islam Isfahan yang juga kuat dilihatnya sedang mengambangkan kekuasaannya ke Barat dan Timur, menuju Tashkent Kazakhstan. Kerajaan Islam Acra akan melintasiangi Pegunungan Himalaya menuju Nepal dan Tibet. Lalu Kerajaan Aceh Darussalam yang berkembang pesat di Asia Tenggara, angkatan lautnya telah menguasai hampir seluruh pulau Sumatera dan Malaya.
Pengaruh dakwah Islam Kerajaan Aceh Darussalam juga telah mencerminkan gugusan kepulauan Nusantara. Inilah yang menyebabkan Barat Kristen bersatu untuk menyerang, menjauh, dan merampok kekayaan negara-negara Islam tersebut. Selain saja, nafsu imperialisme yang ingin mengeruk kekayaan sebanyak-banyaknya.
———————————
[1] Prof. Dr. HAMKA, ibid, hal.153
[2] Ibid, hal.155.
[3] DR. TH Mohamad Hassan: Salah Seorang Pendiri Republik Indonesia dan Pemimpin Bangsa; ditulis oleh Drs. Dwi Purwoko, Sinar Harapan, Jakarta, 1995.
[4] Ibid, hal.5.
Tatkala opsir Belanda memapah Cut Nyak Dien dengan memegang lengannya, Srikandi Aceh dengan tegas mengatakan, "Bek kamat ke, kapeh celaka!" (Jangan pegang tanganku, kafir celaka! ”). Dengan tertatih dan berkali-kali tertandung dan jatuh, Cut Nyak Dien disetujui berjalan sendiri tanpa dipegangi tangan si kafir keluar dari persembunyiannya.
(Catatan Penulis: Cut Nyak Dien merupakan seorang pejuang muslimah yang sangat taat pada Islam. Percayakah kita jika seorang Muslimah yang taat menggabungkan dalam foto-foto sekarang ini sama sekali tidak menutup rambutnya yang merupakan aurat? Para Srikandi-Srikandi Aceh dapat jilbab!)
Keteguhan Cut Nyak Dien ini membuat kagum seorang HAMKA yang menulis:
“ Pikirkanlah dengan dalam! Betapa jauh perbedaan latar belakang wanita Aceh 358 tahun yang lalu itu dengan perjuangan wanita zaman sekarang. Mereka didorong oleh semangat jihad dan syahid karena ingin bersama menegakkan agama Allah dengan kaum laki-laki, jauh dari makna yang dapat kita ambil dari gerakan emansipasi wanita atau feminisme zaman modern sekarang ini. ” [2]
1. BAPAK. TH Moehammad Hasan, putera Aceh mantan anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), dalam biografinya [3] menerima pengakuan seorang perwira tentara kolonial Belanda yang meminta bantuan saat perang kolonial di Aceh bernama HC Zentgraaf.
Perwira Belanda menyatakan,
“Orang Aceh, baik pria maupun wanita, pada umumnya telah berjuang dengan gigih sekali untuk sesuatu yang mereka pandang sebagai kepentingan nasional atau agama mereka. Di antara pejuang-pejuang itu ada banyak sekali pria dan wanita yang tidak kurang satrianya dari bangsa lain: mereka tidak kalah gagahnya dari tokoh-tokoh perang terkenal kita. ” [4]
Rakyat Aceh sangat paham bahwa tiada hal yang patut dibanggakan di dunia ini selain menjadi seorang Muslim yang taat. Islam adalah harga diri yang tidak bisa ditukar dengan apa pun selama hayat dikandung badan. Ini membantu dalam-dalam di setiap dada orang Aceh. Kebanggaan mereka akan Islam mengurat-akar dalam-dalam dan memiliki catatan historis yang sangat panjang dan disetujui.
Di awal abad ke-16 saja, setelah lama jatuhnya kekuatan Islam di Baghdad dan Cordoba, dunia mengenal lima kekuatan besar Islam. Menurut Wilfred Cantwell Smith dalam Islam dalam Sejarah Modern, jumlah terbesar Islam dunia itu adalah: Kekhalifahan Turki Utsmaniyah di Asia Kecil yang berpusat di Istanbul, Kerajaan Maroko di Afrika Utara yang berpusat di Rabat, Kerajaan Isfahan di Timur Tengah yang berpusat di Persia, Kerajaan Islam Mughol di anak benua India yang berpusat di Acra, dan yang benua Kerajaan Aceh Darussalam di Asia Tenggara yang berpusat di Banda Aceh.
Sejarawan Aceh A. Hasjmi memaparkan, “Kemunculan lima kekuatan besar Islam di arena percaturan internasional dilihat dengan cemas oleh Dunia Barat Kristen, karena mungkin sekali sesuai dengan analisa mereka, maka kekuatan Islam yang baru ini akan membangun kembali Zaman Baghdad dan Zaman Cordova dengan gaya baru. ” Yang membuat Barat Kristen (maksudnya Eropa) cemas karena mereka melihat kekuatan Islam terus berkembang. Kerajaan Islam Maroko mengembangkan pengaruhnya dari Afrika Utara ke Afrika, bahkan ada yang menentang Thariq bin Ziyad yang baru akan menyeberangi Selat Gibraltar menuju Bumi Andalusia.
Kekhalifahan Turki Utsmaniyah setelah menyelesaikan seluruh Asia Kecil, mereka mulai membebaskan pulau-pulau di Lautan Tengah, melintasi Selat Dardanella ke Arah Balkan, hingga tentaranya yang ditingkatkan di bandara kota Wina dan sangat memungkinkan di Eropa, jantungnya Terra Biblica !.
Kerajaan Islam Isfahan yang juga kuat dilihatnya sedang mengambangkan kekuasaannya ke Barat dan Timur, menuju Tashkent Kazakhstan. Kerajaan Islam Acra akan melintasiangi Pegunungan Himalaya menuju Nepal dan Tibet. Lalu Kerajaan Aceh Darussalam yang berkembang pesat di Asia Tenggara, angkatan lautnya telah menguasai hampir seluruh pulau Sumatera dan Malaya.
Pengaruh dakwah Islam Kerajaan Aceh Darussalam juga telah mencerminkan gugusan kepulauan Nusantara. Inilah yang menyebabkan Barat Kristen bersatu untuk menyerang, menjauh, dan merampok kekayaan negara-negara Islam tersebut. Selain saja, nafsu imperialisme yang ingin mengeruk kekayaan sebanyak-banyaknya.
(Bersambung)
———————————
[1] Prof. Dr. HAMKA, ibid, hal.153
[2] Ibid, hal.155.
[3] DR. TH Mohamad Hassan: Salah Seorang Pendiri Republik Indonesia dan Pemimpin Bangsa; ditulis oleh Drs. Dwi Purwoko, Sinar Harapan, Jakarta, 1995.
[4] Ibid, hal.5.
0 Responses to komentar:
Post a Comment
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Peraturan Berkomentar
[1]. Dilarang menghina, Promosi (Iklan), Menyelipkan Link Aktif, dsb
[2]. Dilarang Berkomentar berbau Porno, Spam, Sara, Politik, Provokasi,
[3]. Berkomentarlah yang Sopan, Bijak, dan Sesuai Artikel, (Dilarang OOT)
[3]. Bagi Pengunjung yang mau tanya, Sebelum bertanya, Silakan cari dulu di Kotak Pencarian
“_Terima Kasih_”