Lebih banyak bandar mulai melepaskan diri dan menjadi otonom. Raja, adipati, atau penguasa lokal yang telah memeluk Islam kemudian mendirikan kerajaan Islam kecil-kecil. Beberapa Kerajaan Islam di Sumatera Utara pada akhirnya bergabung menjadi Kerajaan Aceh Darussalam.
Tahun 1494 Paus Alexander VI memberikan mandat resmi gereja kepada Kerajaan Katolik Portugis dan Spanyol melalui Perjanjian Tordesillas. [1] Dengan perwakilan perjanjian ini, Paus Alexander dengan melihat dunia terbagi di luar Eropa (Christendom atau Terra Biblica) menjadi dua kapling untuk dirampok sekaligus untuk tujuan misi, salib, satu untuk Portugis dan yang lain untuk Spanyol.
Kedua kerajaan itu, terutama Spanyol, dalam periode tersebut adalah bangsa penjelajah terkenal di Eropa (Congquestadores). Garis demarkasi dalam perjanjian Tordesilas melewati garis lintang pada 100 liga dari Tanjung Pulau Verde, melewati kedua kutub bumi.
Pembagian ini memberikan Dunia Baru kini disebut Benua Amerika ke Spanyol. Afrika dan India diberikan pada Portugal. Perjanjian yang disetujui di kota Tordesillas (Castile) pada 7 Juni menggeser garis demarkasinya Paus Alexander VI ke arah timur sejauh 1,170 kilometer dari Tanjung Pulau Verde. Brasil pun jatuh ke tangan Portugal. Jalur eksplorasi (baca: perampokan) bangsa Eropa ke arah timur jauh menuju kepulauan Nusantara pun terbagi dua. Katolik Spanyol berlayar ke Barat dan Katolik Portugis ke Timur. Akhirnya bertemu di Maluku, di Laut Banda.
Jika sebelumnya dua kekuatan yang tengah berlomba memperbanyak harta rampokan berjumpa tepat di satu titik maka mereka berkelahi, maka ketika mereka bertemu di Maluku, mereka mencoba untuk menahan diri. Pada 5 September 1494, Spanyol dan Portugal membuat perjanjian Saragossa yang menetapkan garis anti-meridian atau garis sambungan pada setengah lingkaran yang melanjutkan garis 1.170 kilometer dari Tanjung Verde. Garis itu berada di timur dari kepulauan Maluku, di sekitar Guam.
Menyaksikan Portugis dan Spanyol yang gemilang melakukan perampokan di berbagai wilayah dunia membuat bangsa-bangsa Eropa lainnya tergiur. Perancis, Inggris, dan Jerman kemudian juga mencoba untuk mengirimkan armadanya masing-masing untuk menemukan dunia baru yang kaya-raya. Ketika Eropa mengirim ekspedisi laut untuk menemukan dunia baru, pengertian antara perdagangan, peperangan, dan penyebaran agama Kristen nyaris tidak ada bedanya. Misi imperialisme Eropa ini sampai sekarang kita kenal dengan sebutan “Tiga G”: Gold, Glory, dan Gospel. Emas yang melambangkan Eropa tengah mencari daerah kaya untuk dirampok, Glory dan Gospel dinisbatkan untuk penyebaran dan kejayaan agama Kristen.
Di mana pun bangsa-bangsa Barat ini mendarat dan menjajah, maka mereka juga menyebarkan salib dan iman Kristiani dengan pedang berlumuran darah. Kenyataan ini terus dilakukan hingga sekarang, seperti yang terjadi ketika tentara Salib Amerika menginvasi Afghanistan dan Irak.
Salah satu bukti bahwa misi penyebaran salib senantiasa mengikuti misi imperialisme dan kolonialisme kaum penjajah, maka sejarahwan Belanda J. Wils menemukan bahwa pendirian pos-pos misionaris awal di Nusantara selalu mengikuti perkembangan gerak maju armada Portugis dan Spanyol. J. Wils menulis, “…pos-pos misi yang pertama-tama di Indonesia secara praktis jatuh bersamaan dengan garis-garis perantauan pencarian rempah-rempah dan ‘barang-barang kolonial’. Dimulai dari Malaka, yang ditaklukkan pada tahun 1511, perjalanan menuju ke Maluku (Ambon, Ternate, Halmahera), dan dari situ selanjutnya ke Timor (1520), Solor dan Flores, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara (1544, 1563), dan berakhir di paling Timur Pulau Jawa (1584-1599).”[2]
Setelah Sriwijaya mengalami kemunduran, perannya langsung digantikan oleh Kesultanan Aceh Darussalam. Sebelum besar, Kerajaan Islam Aceh Darussalam ini sebenarnya berasal dari penggabungan kerajaan-kerajaan Islam kecil seperti Kerajaan Islam Pereulak, Samudera Pase/Pasai, Benua, Lingga, Samainra, Jaya, dan Darussalam. Ketika Portugis merebut Goa di India, lalu Malaka pun akhirnya jatuh ke tangan Portugis, maka kerajaan-kerajaan Islam yang telah berdiri di pesisir utara Sumatera seperti kerajaan Aceh, Daya, Pidie, Pereulak (Perlak), Pase (Pasai), Teumieng, dan Aru dengan sendirinya merasa terancam oleh armada Salib Portugis.
Dalam salah satu bukunya, sejarahwan Aceh A. Hasjmi mengutip M. Said (Aceh Sepanjang Abad, hal.92-93) menulis, “Untuk mencapai nafsu jahatnya itu, dari Malaka yang telah dirampoknya, Portugis mengatur rencana perampokan tahap demi tahap. Langkah yang diambilnya, yaitu mengirim kaki tangan-kaki tangan mereka ke daerah-daerah pesisir utara Sumatera untuk menimbulkan kekacauan dan perpecahan dalam negeri yang akan dirampoknya itu, kalau mungkin menimbulkan perang saudara, seperti yang terjadi di Pase, sehingga ada pihak-pihak yang meminta bantuan kepada mereka, hal mana menjadi alasan bagi mereka untuk melakukan intervensi.”[3]
Strategi licik Portugis ini dikemudian hari diadopsi oleh Snouck Hurgronje untuk memecah belah Aceh dan daerah-daerah lainnya agar bisa dengan mudah dikuasai Belanda (Devide et impera). Politik pecah belah ini juga digunakan oleh Belanda dalam banyak peperangan, antara lain perang melawan Diponegoro dan Imam Bonjol.
Akibat strategi liciknya, Portugis menjelang akhir abad ke 15 dan awal abad ke 16 telah menguasai kerajaan Aru (Pulau Kampai), Pase, Pidie, dan Daya. Di wilayah yang didudukinya, Portugis mendirikan kantor-kantor dagang dengan pengawalan sejumlah pasukan.
Perkembangan yang kurang menguntungkan ini terus dipantau oleh Panglima Perang Kerajaan Islam Aceh, Ali Mughayat Syah. Panglima Perang yang juga putera mahkota Kerajaan Aceh ini pasti tidak tepat waktu, tidak lama Tentara Portugis pasti akan menyerang kerajaannya. Karena itu, Mughayat Syah mengemukakan hal yang dicemaskannya kepada Raja Kerajaan Islam Aceh, Sultan Alaiddin Syamsu Syah yang sudah uzur. Sultan yang sudah tua sadar ini untuk menghadapi Portugis yang licik dan memiliki kekuatan armada perangnya yang besar dan kuat, maka Kerajaan Aceh harus dipimpin oleh yang muda, cekatan, dan cakap.
Sebabnya, dengan segera Sultan Alaiddin Syamsu Syah melantik demi mendapatkan kedudukan dirinya. Sultan Alaiddin Syamsu Syah sangat merebut hakikat jabatan. Dalam Islam, amanah, sebab itu harus diri sendiri, tidak memanggul lagi memikul amanah, maka wajib diberikan kepada yang lebih kuat memikulnya. Maka Ali Mughayat Syah menjadi raja baru dengan gelar Sultan Alaiddin Mughayat Syah.
Setelah dilantik, Sultan Alaiddin Mughayat Syah bertekad akan mengusir Portugis dari seluruh daratan Sumatera utara, dari Daya hingga ke Pulau Kampai. Untuk melakukan tekadnya memang bukan pekerjaan yang mudah. Sultan yang masih muda menganggap ini adalah milik mengusir Portugis yang besar, jika kerajaan-kerajaan Islam yang kecil-kecil tetap berdiri sendiri-sendiri, tidak bersatu dalam kerajaan yang besar dan kuat.
Dengan berpikir seperti yang terjadi, maka begitu menjadi sultan, Alaiddin Mughayat segera mengumumkan berdirinya Kerajaan Aceh Darussalam yang wilayah kekuasaannya meliputi Aru hingga ke Pancu di pantai utara, dan dari Daya hingga ke Barus di pantai Barat dengan beribukota kerajaan di Banda Aceh Darussalam. Padahal waktu itu kerajaan-kerajaan Aru, Daya, Pase, Pidie, dan sebagainya masih diperintah oleh raja-raja lokal.
A. Hasjmi mencatat, dalam suatu pertempuran antara Aceh melawan Portugis di Teluk Aru, Laksamana Raja Ibrahim menemukan syahid pada tanggal 21 Muharram 930 H (Minggu, 29 November 1523). Laksamana Ibrahim digantikan oleh Laksamana Malik Uzair (Putera Sultan Salatin Meureuhom Daya, ipar Sultan Alaiddin Ali Mughayat Syah), yang kemudian juga diputar syahid dalam satu pertempuran pada bulan Jumadil Awal 931H. Jika laskar Islam Aceh hanya kehilangan dua laksamananya, maka di pihak tentara Portugis, mereka kehilangan banyak sekali perwiranya. Di memenangkan adalah Laksamana Jorge de Brito yang mati dalam pertempuran (927 H), Laksamana Simon de Souza (934 H), dan lain-lain.
————————–
[1] Ahmad Mansyur Suryanegara, Ulama dan Perkembangan Islam di Nusantara, Suara Hidayatullah, Juli, 2001.
[2] J. Wils, artikel berjudul "Kegiatan Penyiaran Agama Katolik", salah satu tulisan dalam buku "Politik Etis dan Revolusi Kemerdekaan"; Obor Indonesia; Jakarta; cet.1; 1987; hal 356.
[3] A. Hasjmi, 59 Tahun Aceh Merdeka Dibawah Pemerintahan Ratu, Bulan Bintang, cet.1, 1977, hal. 13-14.
Perjanjian Tordesilas, Saat Paus Restui Perampokan
Di saat hampir bersamaan, Perang Salib yang berkepanjangan dan persinggungannya dengan para pedagang dan orang Islam, Eropa mulai bernafsu untuk mencari emas, rempah-rempah, kain, dan segala macam kebutuhannya ke dunia lain yang selama ini belum pernah dijangkaunya. Orang Eropa mendengarkan keberadaan dunia baru yang sangat kaya dengan rempah-rempah, karet, dan kekayaan alam lainnya, termasuk emas permata. Dunia baru terletak di selatan.Tahun 1494 Paus Alexander VI memberikan mandat resmi gereja kepada Kerajaan Katolik Portugis dan Spanyol melalui Perjanjian Tordesillas. [1] Dengan perwakilan perjanjian ini, Paus Alexander dengan melihat dunia terbagi di luar Eropa (Christendom atau Terra Biblica) menjadi dua kapling untuk dirampok sekaligus untuk tujuan misi, salib, satu untuk Portugis dan yang lain untuk Spanyol.
Kedua kerajaan itu, terutama Spanyol, dalam periode tersebut adalah bangsa penjelajah terkenal di Eropa (Congquestadores). Garis demarkasi dalam perjanjian Tordesilas melewati garis lintang pada 100 liga dari Tanjung Pulau Verde, melewati kedua kutub bumi.
Pembagian ini memberikan Dunia Baru kini disebut Benua Amerika ke Spanyol. Afrika dan India diberikan pada Portugal. Perjanjian yang disetujui di kota Tordesillas (Castile) pada 7 Juni menggeser garis demarkasinya Paus Alexander VI ke arah timur sejauh 1,170 kilometer dari Tanjung Pulau Verde. Brasil pun jatuh ke tangan Portugal. Jalur eksplorasi (baca: perampokan) bangsa Eropa ke arah timur jauh menuju kepulauan Nusantara pun terbagi dua. Katolik Spanyol berlayar ke Barat dan Katolik Portugis ke Timur. Akhirnya bertemu di Maluku, di Laut Banda.
Jika sebelumnya dua kekuatan yang tengah berlomba memperbanyak harta rampokan berjumpa tepat di satu titik maka mereka berkelahi, maka ketika mereka bertemu di Maluku, mereka mencoba untuk menahan diri. Pada 5 September 1494, Spanyol dan Portugal membuat perjanjian Saragossa yang menetapkan garis anti-meridian atau garis sambungan pada setengah lingkaran yang melanjutkan garis 1.170 kilometer dari Tanjung Verde. Garis itu berada di timur dari kepulauan Maluku, di sekitar Guam.
Menyaksikan Portugis dan Spanyol yang gemilang melakukan perampokan di berbagai wilayah dunia membuat bangsa-bangsa Eropa lainnya tergiur. Perancis, Inggris, dan Jerman kemudian juga mencoba untuk mengirimkan armadanya masing-masing untuk menemukan dunia baru yang kaya-raya. Ketika Eropa mengirim ekspedisi laut untuk menemukan dunia baru, pengertian antara perdagangan, peperangan, dan penyebaran agama Kristen nyaris tidak ada bedanya. Misi imperialisme Eropa ini sampai sekarang kita kenal dengan sebutan “Tiga G”: Gold, Glory, dan Gospel. Emas yang melambangkan Eropa tengah mencari daerah kaya untuk dirampok, Glory dan Gospel dinisbatkan untuk penyebaran dan kejayaan agama Kristen.
Di mana pun bangsa-bangsa Barat ini mendarat dan menjajah, maka mereka juga menyebarkan salib dan iman Kristiani dengan pedang berlumuran darah. Kenyataan ini terus dilakukan hingga sekarang, seperti yang terjadi ketika tentara Salib Amerika menginvasi Afghanistan dan Irak.
Salah satu bukti bahwa misi penyebaran salib senantiasa mengikuti misi imperialisme dan kolonialisme kaum penjajah, maka sejarahwan Belanda J. Wils menemukan bahwa pendirian pos-pos misionaris awal di Nusantara selalu mengikuti perkembangan gerak maju armada Portugis dan Spanyol. J. Wils menulis, “…pos-pos misi yang pertama-tama di Indonesia secara praktis jatuh bersamaan dengan garis-garis perantauan pencarian rempah-rempah dan ‘barang-barang kolonial’. Dimulai dari Malaka, yang ditaklukkan pada tahun 1511, perjalanan menuju ke Maluku (Ambon, Ternate, Halmahera), dan dari situ selanjutnya ke Timor (1520), Solor dan Flores, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara (1544, 1563), dan berakhir di paling Timur Pulau Jawa (1584-1599).”[2]
Setelah Sriwijaya mengalami kemunduran, perannya langsung digantikan oleh Kesultanan Aceh Darussalam. Sebelum besar, Kerajaan Islam Aceh Darussalam ini sebenarnya berasal dari penggabungan kerajaan-kerajaan Islam kecil seperti Kerajaan Islam Pereulak, Samudera Pase/Pasai, Benua, Lingga, Samainra, Jaya, dan Darussalam. Ketika Portugis merebut Goa di India, lalu Malaka pun akhirnya jatuh ke tangan Portugis, maka kerajaan-kerajaan Islam yang telah berdiri di pesisir utara Sumatera seperti kerajaan Aceh, Daya, Pidie, Pereulak (Perlak), Pase (Pasai), Teumieng, dan Aru dengan sendirinya merasa terancam oleh armada Salib Portugis.
Dalam salah satu bukunya, sejarahwan Aceh A. Hasjmi mengutip M. Said (Aceh Sepanjang Abad, hal.92-93) menulis, “Untuk mencapai nafsu jahatnya itu, dari Malaka yang telah dirampoknya, Portugis mengatur rencana perampokan tahap demi tahap. Langkah yang diambilnya, yaitu mengirim kaki tangan-kaki tangan mereka ke daerah-daerah pesisir utara Sumatera untuk menimbulkan kekacauan dan perpecahan dalam negeri yang akan dirampoknya itu, kalau mungkin menimbulkan perang saudara, seperti yang terjadi di Pase, sehingga ada pihak-pihak yang meminta bantuan kepada mereka, hal mana menjadi alasan bagi mereka untuk melakukan intervensi.”[3]
Strategi licik Portugis ini dikemudian hari diadopsi oleh Snouck Hurgronje untuk memecah belah Aceh dan daerah-daerah lainnya agar bisa dengan mudah dikuasai Belanda (Devide et impera). Politik pecah belah ini juga digunakan oleh Belanda dalam banyak peperangan, antara lain perang melawan Diponegoro dan Imam Bonjol.
Akibat strategi liciknya, Portugis menjelang akhir abad ke 15 dan awal abad ke 16 telah menguasai kerajaan Aru (Pulau Kampai), Pase, Pidie, dan Daya. Di wilayah yang didudukinya, Portugis mendirikan kantor-kantor dagang dengan pengawalan sejumlah pasukan.
Perkembangan yang kurang menguntungkan ini terus dipantau oleh Panglima Perang Kerajaan Islam Aceh, Ali Mughayat Syah. Panglima Perang yang juga putera mahkota Kerajaan Aceh ini pasti tidak tepat waktu, tidak lama Tentara Portugis pasti akan menyerang kerajaannya. Karena itu, Mughayat Syah mengemukakan hal yang dicemaskannya kepada Raja Kerajaan Islam Aceh, Sultan Alaiddin Syamsu Syah yang sudah uzur. Sultan yang sudah tua sadar ini untuk menghadapi Portugis yang licik dan memiliki kekuatan armada perangnya yang besar dan kuat, maka Kerajaan Aceh harus dipimpin oleh yang muda, cekatan, dan cakap.
Sebabnya, dengan segera Sultan Alaiddin Syamsu Syah melantik demi mendapatkan kedudukan dirinya. Sultan Alaiddin Syamsu Syah sangat merebut hakikat jabatan. Dalam Islam, amanah, sebab itu harus diri sendiri, tidak memanggul lagi memikul amanah, maka wajib diberikan kepada yang lebih kuat memikulnya. Maka Ali Mughayat Syah menjadi raja baru dengan gelar Sultan Alaiddin Mughayat Syah.
Setelah dilantik, Sultan Alaiddin Mughayat Syah bertekad akan mengusir Portugis dari seluruh daratan Sumatera utara, dari Daya hingga ke Pulau Kampai. Untuk melakukan tekadnya memang bukan pekerjaan yang mudah. Sultan yang masih muda menganggap ini adalah milik mengusir Portugis yang besar, jika kerajaan-kerajaan Islam yang kecil-kecil tetap berdiri sendiri-sendiri, tidak bersatu dalam kerajaan yang besar dan kuat.
Dengan berpikir seperti yang terjadi, maka begitu menjadi sultan, Alaiddin Mughayat segera mengumumkan berdirinya Kerajaan Aceh Darussalam yang wilayah kekuasaannya meliputi Aru hingga ke Pancu di pantai utara, dan dari Daya hingga ke Barus di pantai Barat dengan beribukota kerajaan di Banda Aceh Darussalam. Padahal waktu itu kerajaan-kerajaan Aru, Daya, Pase, Pidie, dan sebagainya masih diperintah oleh raja-raja lokal.
Bersama Turki Utsmani Hancurkan Tentara Salib Portugis
Dalam waktu relatif singkat, kekuatan Portugis yang berpusat di Daya berhasil dihancurkan Raja Daya bersama Portugis melarikan diri ke Pidie. Laskar Islam kerajaan Aceh terus memburu mereka. Di Pidie, laskar Islam berhasil mengalahkan musuh hingga Raja Daya, Raja Pidie, dan Portugis kembali berjuang sendiri ke Pase. Di belakangnya, laskar Islam Aceh terus mengejar tanpa ampun. Di Pase, angkatan perang Portugis juga mengalami kerusakan total, sebagian besar serdadunya tengelam di Teluk Pase.A. Hasjmi mencatat, dalam suatu pertempuran antara Aceh melawan Portugis di Teluk Aru, Laksamana Raja Ibrahim menemukan syahid pada tanggal 21 Muharram 930 H (Minggu, 29 November 1523). Laksamana Ibrahim digantikan oleh Laksamana Malik Uzair (Putera Sultan Salatin Meureuhom Daya, ipar Sultan Alaiddin Ali Mughayat Syah), yang kemudian juga diputar syahid dalam satu pertempuran pada bulan Jumadil Awal 931H. Jika laskar Islam Aceh hanya kehilangan dua laksamananya, maka di pihak tentara Portugis, mereka kehilangan banyak sekali perwiranya. Di memenangkan adalah Laksamana Jorge de Brito yang mati dalam pertempuran (927 H), Laksamana Simon de Souza (934 H), dan lain-lain.
(Bersambung)
————————–
[1] Ahmad Mansyur Suryanegara, Ulama dan Perkembangan Islam di Nusantara, Suara Hidayatullah, Juli, 2001.
[2] J. Wils, artikel berjudul "Kegiatan Penyiaran Agama Katolik", salah satu tulisan dalam buku "Politik Etis dan Revolusi Kemerdekaan"; Obor Indonesia; Jakarta; cet.1; 1987; hal 356.
[3] A. Hasjmi, 59 Tahun Aceh Merdeka Dibawah Pemerintahan Ratu, Bulan Bintang, cet.1, 1977, hal. 13-14.
0 Responses to komentar:
Post a Comment
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Peraturan Berkomentar
[1]. Dilarang menghina, Promosi (Iklan), Menyelipkan Link Aktif, dsb
[2]. Dilarang Berkomentar berbau Porno, Spam, Sara, Politik, Provokasi,
[3]. Berkomentarlah yang Sopan, Bijak, dan Sesuai Artikel, (Dilarang OOT)
[3]. Bagi Pengunjung yang mau tanya, Sebelum bertanya, Silakan cari dulu di Kotak Pencarian
“_Terima Kasih_”