Sisi Lain Konflik Ukraina
Zaman Shinzo Abe menjadi PM Jepang, Putin hendak memilìh jalan damai serta siap berbagi/memberikan dua pulau di Kepulauan Kuril kepada Jepang. Win-win solution. Akan tetapi, di era PM Fumio Kishida sekarang, kebijakan Putin terhadap Jepang tiba-tiba berubah. Apa boleh buat, kerap perkembangan (geo) politik memang sulit ditebak serta bersifat turbulent.
Apa sebab?
Ternyata terkait konflik Ukraina. Bahwa PM Kishida memilih sikap memusuhi (kontra) Rusia, lalu pro-Barat. Inilah penyebab, kenapa sikap Putin drastis berubah serta tidak lagi bersahabat dengan Jepang.Secara geopolitik, pilihan sikap dan kebijakan PM Kisidha terkait konflik Ukraina yang pro-Barat dianggap kontra produktif bagi Kepentingan Nasionalnya. Kenapa? Karena konsekuensi atas keputusan Kishida berimplikasi buruk serta merugikan kepentingan Jepang sendiri.
Adapun implikasi dan kerugian tersebut ialah sebagai berikut:
1. Putin malah mencaplok seluruh Kepulauan Kuril dan menutup jalan damai. Sikap tegas Putin ini, di luar prakiraan Kishida. Jika seperti ini, Jepang bisa apa?
2. Beruang Merah sebutan lain Rusia langsung mensiagakan pasukan dan mesin perangnya di Kepulauan Kuril dan membatalkan secara sepihak perjanjian damai dengan Jepang. Artinya, setelah pembatalan perjanjian sepihak, secara teknis antara Rusia Jepang dalam situasi perang. Kapan saja Rusia bisa menyerang Jepang, atau sebaliknya. Nah, kalau sudah begini, Jepang mau ngomong apa?
3. Kendati secara teknis kembali pada situasi perang, posisi Rusia tetap mendikte karena dalam PD II dulu, Rusia berada di kubu pemenang perang.
Ini yang membuat Jepang tidak berkutik. Ia sangat khawatir atas keberadaan militer Rusia di Kuril. Kishida meminta bantuan Amerika (AS), lalu dianggarkan delapan miliar US Dollar untuk (rencana) men-deploy pasukan AS ke Kuril.
Pertanyaan selidik muncul, “Akankah Paman Sam memenuhi permintaan Jepang, sedang ia sendiri tengah diterpa berbagai persoalan terkait kebijakannya dalam konflik di Ukraina?”
Merujuk episode di atas, ada beberapa poin boleh dipetik learning points guna pembelajaran geopolitik bersama, antara lain:
Pertama, semua negara yang memusuhi Rusia, apalagi yang memberi sanksi terkait “invasi”-nya ke Ukraina bakal disikapi oleh Beruang Merah secara tegas serta gagah berani. Jepang dalam sengketa Kuril ialah contoh aktual atas sikap tegas Putin terhadap negara yang memusuhinya (kontra);
Kedua, kendati Rusia tengah berperang melawan Ukraina, namun ia siap berperang dengan siapa saja yang menantang hegemoninya. Sikap ini, selain dinilai sebagai keberanian Putin, juga tak lepas dari persiapan serta kesiapan yang sangat matang di pihak Rusia;
Ketiga, saat ini, tingkat sensivitas dan kesiagaan Rusia relatif tinggi karena merasa dikeroyok oleh AS dan sekutu baik secara militer maupun nirmiliter. Jadi, para pihak (negara) yang terlibat baik langsung maupun tidak langsung dan/atau yang memiliki kepentingan dengan Rusia seyogianya bersikap bijak, peka dan hati-hati dalam berhubungan dengan Rusia. India misalnya, karena sikap yang ditampilkan ia pun dianggap kawan padahal India anggota Commonwelth lalu India mendapat minyak murah dari Rusia. Indonesia pun menyiapkan proposal ke Rusia.
Namun sebaliknya, beberapa negara Eropa dilanda gejolak massa akibat kelangkaan pangan, minyak dan gas oleh sebab menghentikan impornya dari Rusia. Termasuk nasib Jepang perihal sengketa Kuril.
Oke, berhenti sejenak dari bahasan Kepulauan Kuril, kita meloncat ke Ukraina.
Ya. Jika Ukraina merupakan proxy war (medan tempur) secara militer antara Rusia versus AS dan NATO, tidak berlebihan bila Indonesia kini, sedang, dan akan menjadi “medan tempur” seperti halnya Ukraina, tapi secara nirmiliter alias asimetris.Lho, apa pasalnya?
Sidang G20 yang bakal digelar bulan Oktober 2022 di Bali dianggap sebagai medan kurusetra baru bagi peperangan (nirmiliter) antara Rusia melawan AS dan sekutu.Indikasinya apa?
Hampir semua sekutu AS yang menjadi anggota G20 memberi usulan ke Indonesia —selaku tuan rumah— untuk memboikot Rusia agar tidak boleh ikut sidang, sedang Putin memastikan hadir di Bali. Ini bakal seru. Selain gaduh perang diplomasi, terselip harapan publik pada Indonesia sebagai solusi konflik, juga model leadership dan politik bebas aktif Indonesia tengah diuji di forum global.Mampukah Indonesia laksana ‘air hujan’ dalam KTT G20 yang mampu membikin sejuk, mengayomi dan bersikap adil bagi para pihak yang bertikai? Sekali lagi, keliru bersikap akan bernasib seperti Jepang, contohnya, bijak bertindak bisa beruntung seperti India. Ini cuma gambaran simpel, tak bermaksud safety player alias mencari selamat. Bukan. Indonesia bukan bangsa pecundang. Mengapa? Karena, apapun kebijakan pemerintah manapun, sejatinya harus merujuk pada Kepentingan Nasional sebagai rujukan pokok dan faktor paling mendasar. Itu pakem global.
di Tulis Oleh: M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)
[Sumber: yang diambil oleh Admin Suriya-Aceh Info-Anak-Meulaboh Silahkan Lihat Di→ News theglobal-review]
0 Responses to komentar:
Post a Comment
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Peraturan Berkomentar
[1]. Dilarang menghina, Promosi (Iklan), Menyelipkan Link Aktif, dsb
[2]. Dilarang Berkomentar berbau Porno, Spam, Sara, Politik, Provokasi,
[3]. Berkomentarlah yang Sopan, Bijak, dan Sesuai Artikel, (Dilarang OOT)
[3]. Bagi Pengunjung yang mau tanya, Sebelum bertanya, Silakan cari dulu di Kotak Pencarian
“_Terima Kasih_”